Tanwir.ID – Sejarah kekerasan seksual di Indonesia begitu panjang sejak dahulu sampai sekarang; dengan kejadian yang bermacam-macam dan hampir terjadi di semua daerah. Korban kekerasan seksual juga tidak sedikit, dan paling banyak yang menjadi korban adalah perempuan.
Maraknya kekerasan seksual yang terjadi setiap harinya, menjadi fenomena yang luar biasa yang perlu ditanggapi dan dibicarakan secara serius. Undang-undang hari ini tidak bisa menjangkau kasus-kasus yang terjadi. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dapat memayungi korban untuk mendapatkan keadilan belum kunjung disahkan bahkan dicoret dari prolegnas prioritas tahun 2020.
Pada kesempatan ini, Bidang IMMawati Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mengadakan pelatihan daring yang bekerja sama dengan Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan Institute Ahmad Dahlan (PSIPP ITB-AD) Jakarta dan The Asia Foundation. Acara ini bertajuk “Dari Kita untuk Mereka” dengan mengangkat tema “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; Kekosongan Hukum Nasional dan Tanggapan Hukum Internasional”.
Kegiatan yang dilaksanakan pada Hari Selasa (22/9) melalui Zoom ini, disiarkan langsung di Kanal YouTube PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta. Sebagai pengisi acara, dihadirkan Yulianti Muthmainnah, Ketua PSIPP ITB-AD Jakarta dan Sri Wiyanti Eddyono, Asisten Professor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Adanya kekosongan hukum nasional dibarengi dengan korban yang terus bertambah, menurut Yulianti Muthmainnah, perlu dibicarakan untuk kebaikan semua.
“Maka ketika kita membicarakan tentang kekerasan seksual maka kita membutuhkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, itu bukan untuk diri kita, tapi untuk orang lain diluar sana yang tidak seberuntung kita” ungkapnya. “Dan ini artinya kita sedang melakukan nahi mungkar” tambahnya.
Dalam pelatihan ini, ditayangkan video berjudul “The Imposible Dream?” yang menggambarkan kehidupan seorang perempuan yang menjadi seorang istri. Video itu memperlihatkan beban ganda yang dilimpahkan kepada perempuan dan bermacam persoalan lain yang dihadapi.
Budaya patriarki yang masih banyak ditengah masyarakat menumbuhsuburkan ketidakadilan bagi perempuan. Perlakuan yang tidak pantas kepada perempuan tentu tidak dicontohkan Nabi. Pesan Nabi menyebutkan bahwa laki-laki yang baik adalah laki-laki yang menghormati perempuan; yang tidak merendahkan perempuan, yang tidak melukai perempuan dan tidak berkata kasar kepada perempuan.
Sri Wiyanti Eddyono menjelaskan bahwa prinsip non-diskriminasi serta prinsip persamaan didalam hukum sudah sangat kuat di hampir seluruh undang-undang nasional. “Karena memang itu sudah ada didalam UUD 1945. Jadi prinsip persamaan di dalam hukum, keadilan, perlindungan, itu adalah bagian yang tidak bisa tidak menjadi dasar dari ketatanegaraan Indonesia” jelasnya.
Secara Internasional, Sri menjelaskan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; atau yang dikenal dengan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women, disingkat CEDAW, dalam UU no 7 tahun 1984. Jauh sebelum reformasi, konvensi ini sudah diratifikasi di Indonesia.
“Undang-undang ini menjadi kerangka perlindungan hak asasi perempuan; untuk tidak didiskriminasi, untuk bebas dari kekerasan, untuk perempuan yang mengalami diskriminasi maka mereka bisa memperjuangkan haknya untuk mendapatkan mekanisme penyelesaian yang adil; sehingga mereka yang menjadi korban dilindungi oleh Indonesia” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, CEDAW mengalami banyak perkembangan. Dalam CEDAW dan general recomendation-nya dijelaskan bahwa kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja, baik itu laki-laki maupun perempuan,dari anak anak sampai orang tua. Adanya relasi kuasa yang timpang, termasuk didalamnya relasi gender, itu menjadi dasar mengapa terjadi kekerasan seksual.
Negara yang sudah meratifikasi CEDAW diwajibkan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di negaranya kepada internasional. Indonesia yang termasuk negara yang meratifikasi telah melaporkan secara rutin selama 10 tahun terakhir melalui Komnas Perempuan, artinya Indonesia telah menjalankan kewajibannya. Tapi sudahkah Indonesia memiliki kebijakan yang melindungi perempuan dari kekerasan?
“Kita sudah punya UU Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Perlindungan Saksi dan Korban; sekitar 12 undang-undang yang Indonesia miliki” paparnya.”Hanya saja, UU itu belum secara khusus membahas tentang kekerasan seksual” tambahnya.
Menurut Sri, ketiadaan kebijakan hukum yang memayungi kasus kekerasan seksual belum tersedia, ini menyebabkan susahnya menangani dan melawan sekaligus menekan kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi.
Reporter: Ananul Nahari Hayunah
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.