Pada dasarnya feminisme merupakan gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender. Gerakan ini muncul di Barat pada sekitar abad 19 dan awal abad 20, yang dilatar belakangi oleh banyaknya diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan pada masa itu. Feminisme kemudian berupaya untuk menghapuskan diskriminasi tersebut.
Perlu dicatat bahwa feminisme bukanlah pemberontakan perempuan terhadap laki-laki ataupun pengingkaran kodrat atau ketentuan agama yang bersifat kodrati, melainkan perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial dan penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Semangat inilah yang juga dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW pada masa kerasulan beliau. Sehingga bisa dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah tokoh feminis pertama dalam sejarah walaupun feminisme baru tercetus beratus-ratus tahun setelah wafatnya beliau.
Kondisi Perempuan Pra-Islam
Sebelum menilik sifat-sifat feminis yang terdapat dalam diri Nabi SAW, kita flashback terlebih dahulu bagaimana eksistensi perempuan pada masa pra-Islam. Pada masa itu, Jazirah Arab merupakan tempat yang sangat tidak ramah terhadap kaum perempuan. Ideologi yang sangat patriarkal ini mengamini penindasan dan pelecehan terhadap perempuan. Bahkan kronisnya, perempuan dibenci olseh orang tuanya sendiri karena dianggap aib keluarga dan merusak kehormatan. Kelahiran bayi perempuan direspon oleh orang tuanya dengan kebencian dan rasa malu. Mereka kemudian memilih untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan mereka bersamaan dengan aib keluarga yang mereka yakini juga terkubur.
Wildana Wargadinata, seorang Doktor Bahasa Arab dan Studi Islam, menyimpulkan beberapa hal yang menjadi penyebab dibunuhnya bayi-bayi perempuan, antara lain: 1) Karena cara hidup yang nomaden (berpindah-pindah tempat), wanita dianggap membuat gerakan rombongan menjadi tidak lincah, bahkan mereka harus sering dibantu karena dianggap tidak bisa menolong dirinya sendiri. Mereka berpandangan bahwa fisik wanita terlalu lemah untuk menghadapi kejamnya kehidupan. 2) Terbatasnya bahan makanan yang tersedia, sehingga laju penduduk harus dihambat. Mereka meyakini bahwa perempuan lah yang membuat lajunya peningkatan populasi manusia, karena perempuan yang melahirkan. Oleh karenanya, jumlah perempuan harus dikurangi. 3) Dalam peperangan, perempuan dan anak-anak menjadi semacam harta ghanimah yang diberikan dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang. Tentunya hal ini akan menjatuhkan martabat pihak yang kalah. Penguburan bayi-bayi perempuan kemudian dilakukan untuk menghindari terjadinya hal tersebut.
Selain itu, perempuan juga menjadi korban subordinasi dan marginalisasi. Perempuan seolah tidak mendapat hak-hak sebagai manusia seutuhnya, sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tidak berhak mendapatkan warisan dan bahkan perempuan diwariskan setelah suaminya meninggal. Tak hanya diwariskan, perempuan juga menjadi objek perdagangan untuk dijadikan budak atau pemuas nafsu laki-laki. Praktik poligami pada masa itu juga sangat marak bahkan tidak membatasi berapa jumlah istri. Tentunya kita sangat bersyukur Islam dan Muhammad hadir pada saat itu mengusir kebejatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat jahiliyah ini.
Nabi SAW adalah Seorang Feminis!
Berbeda dengan ajaran-ajaran para Nabi sebelumnya, Nabi Muhammad SAW secara eksplisit mengajarkan keadilan sosial antara perempuan dan laki-laki. Menjadi yatim bahkan sejak dalam kandungan, dan hanya tinggal dengan seorang ibu yang miskin kiranya yang membuat Muhammad lebih peka terhadap penderitaan perempuan pada masa itu. Kedatangan Islam tentu tidak hanya sekedar gerakan keagamaan, namun juga sebagai spirit kemanusiaan. Banyak budaya bias gender yang didekonstruksi setelah Islam datang. Selain penghapusan budaya penguburan bayi perempuan hidup-hidup, perempuan juga mulai mendapat hak waris alih-alih diwariskan. Bahkan dalam hubungan pernikahan, poligami yang dulunya tidak membatasi jumlah istri, dibatasi menjadi maksimal 4 orang istri. FYI, pernikahan pertama Muhammad bersifat monogami selama 15 tahun dengan Khadijah, suatu hal yang sangat langka terjadi pada masa itu.
Sikap feminisme juga sering ditunjukkan oleh Muhammad dalam kehidupan rumah tangganya. Muhammad tidak segan-segan melakukan pekerjaan rumah yang dianggap hanya pekerjaan seorang istri atau perempuan, seperti mencuci baju, menyapu, menjahit baju yang robek, mengasuh anak, dan sebagainya. Muhammad juga merupakan sosok kepala keluarga yang open-minded. Kepada istrinya dan anak perempuannya, beliau memberikan kebebasan untuk berpendapat dan bertumbuh sesuai potensinya. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi relasi yang setara antara Muhammad dan kerabat perempuannya.
Sikap-sikap inilah yang tentunya harus diteladani dari Nabi Muhammad SAW. Karena hakikatnya, perempuan tidak berbeda dengan laki-laki. Perempuan juga adalah manusia yang utuh dan memiliki hak-hak sebagai manusia sama halnya dengan laki-laki. Perempuan bukan makhluk kelas dua yang hanya menjadi pelengkap bagi penghuni bumi. Kehadiran perempuan juga berpengaruh besar pada kualitas generasi. Perempuan dan laki-laki adalah partner yang setara yang saling menguatkan dan saling melengkapi.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply