Agama Islam adalah agama yang sangat terbuka, serta menjadi penerang bagi ajaran-ajaran sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa apa-apa yang tidak dijelaskan ataupun keumuman ajaran yang terdapat pada agama para nabi sebelumnya, itu semua dijelaskan dan disempurnakan dalam agama yang diamanahkan kepada Muhammad ini.
Secara fungsional, agama-agama yang dibawa oleh para nabi sebelumnya bisa katakan sebagai Islam. Kenapa demikian? Sebab terdapat ajaran keselamatan di dalamnya. Jika kita berkaca pada kondisi sosial pra-Islam yang mana begitu banyak kebiasaan yang mereka lakukan sehingga menjadi pengetahuan tetap lalu kemudian dijadikan sebagai pedoman untuk melangsungkan kehidupan. Atau saat ini biasa kita sebut sebagai kearifan lokal.
Salah satu unsur pembentuk kearifan lokal adalah adat istiadat. Apa itu adat? Secara sederhana, adat bisa kita artikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang sebab diterima oleh logika sehingga membuat manusia ingin dan mau untuk melakukannya secara berkelanjutan. Dengan demikian, adat akan berubah menjadi ‘urf , ketika adat sudah tertanam dalam tiap individu manusia. ‘Urf adalah suatu perbuatan atau perkataan yang orang akan merasa nyaman jika melakukannya karena sudah sejalan dengan logika.
Kedatangan Nabi Muhammad Saw, dalam berdakwah seringkali dipandang oleh sebagian orang untuk menghapuskan adat-adat terdahulu. Sehingga dalam hal ini penulis agak sedikit berbeda pandangan mengenai hal itu. Hemat penulis, Nabi Muhammad tidak menghapus adat-adat sebelumnya, melainkan mengadopsi adat-adat tersebut yang kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan syariat Islam.
Akulturasi dan Inkulturasi Sebagai Dakwah
Pandangan penulis ini kemudian diafirmasi oleh Khalil Abdul Karim, pemikir asal Mesir yang menyatakan bahwa banyak yang terkait adat atau tradisi kultural arab pra-Islam diadopsi dan diakomodir oleh Nabi Muhammad yang kemudian dijadikan sebagai doktrin keagamaan Islam. Hal yang sama diutarakan oleh Hasanudin Hasymi bahwa nabi melakukan akulturasi dan inkulturasi sebagai bagian dari strategi dakwah agar Islam diterima secara inklusif oleh masyarakat arab pada saat itu.
Kebanyakan hukum-hukum Islam yang menyangkut perdata dan pidana merupakan keberlanjutan dari hukum-hukum yang telah ada sebelum Islam. Ada yang diterima secara total, ada yang diterima dengan modifikasi dan ada pula yang ditolak.
Bisa kita ambil contoh tradisi haji sebagai sebuah aktivitas yang menjadi kewajiban bagi umat Islam ketika sudah mampu menjalankannya. Aktivitas ini sudah dilakukan pada masa pra-Islam setiap tahunnya. Ritus Islam lain yang juga bermula dari tradisi masyarakat arab sebelum Islam yaitu penghormatan terhadap bulan-bulan tertentu yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai arba’atu hurum.
Bulan-bulan yang dimaksud adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. Tiga bulan pertama, masyarakat arab pra-Islam melakukan Haji dan di bulan Rajab, meraka manfaatkan untuk Umrah. Karena itulah mereka mendeklarasikan bahwa bulan-bulan tersebut tidak boleh ada perang. Ketika Islam datang, pensucian keempat bulan tersebut dilanjutkan sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, surah At-Taubah ayat 36.
Agama dan Kearifan Lokal
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk kebudayaan lokal yang produktif agar tetap ada dan menetap dalam kehidupan masyarakat selagi tidak mengotori aqidah. Apabila terjadi penyimpangan kebudayaan lokal yang bisa mengikis kekuatan aqidah; maka agama ada sebagai narasi terbesar untuk perlahan menyelinap masuk ke dalam dunia lokal yang bisa dibilang unik itu.
Tidak semua tradisi berlawanan berlawanan dengan aqidah dan kemudian kontra produktif. Begitu banyak tradisi yang bisa kita gunakan untuk menegakkan syiar Islam. Di era globalisasi seperti ini yang mana orang-orang hanya mau mementingkan dirinya sendiri, tidak mau membuka ruang komunikasi secara langsung, kita butuh yang namanya tradisi atau budaya lokal.
Siapa yang menyangkal tradisi lebaran tidak menegakkan syiar Islam? Lebaran menjadi momentum yang mulia serta mengharukan untuk sebuah kegiatan yang bernama silaturahmi. Agama dan kebudayaan secara ontologis memang berbeda. Agama diyakini bersumber dari tuhan, sedangkan budaya bersumber dan berpangkal pada manusia.
Terlepas dari sisi ontologis tersebut, agama dan budaya tidak bisa dilepaskan dari manusia. Agama diturunkan sebagai pedoman untuk manusia. Untuk memahami pedoman tersebut, manusia dituntut untuk belajar dengan caranya masing-masing sehingga menimbulkan rasa nyaman dalam dirinya yang kemudian disebut sebagai kebudayaan dalam lingkup kecil disebut sebagai Kearifan Lokal.
Editor: Ananul Nahari Hayunah
Leave a Reply