Al-Qur’an merupakan pedoman pertama umat Islam dalam menjalankan agamanya. Seluruh ayatnya berstatus qath’i al-wurud yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah swt. Dengan demikian, autentitas serta orsanilitas Al-Qur’an benar-benar dapat di pertanggung jawabkan. Karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafaz maupun dari segi maknanya. Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Qur’an telah ditulis dan di dokumentasikan oleh para juru tulis wahyu yang ditunjuk oleh rasulullah saw.
Di samping itu seluruh ayat-ayat al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawatir baik secara hafalan maupun tulisan. Dalam pada itu, al-Qur’an sebagai yang dimiliki umat Islam sekarang, ternyata telah mengalami proses sejarah yang cukup unik dalam upaya penulisan dan pembukuannya. Pada masa Nabi Saw., Al-Qur’an belum ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf.
Ia baru ditulis pada kepingan-kepingan tulang pelepah-pelepah kurma, dan batu-batu sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat tulis menulis seperti kertas. Tetapi, dalam khazanah keilmuan Islam pada saat ini, mulai banyak para cendekiawan yang mulai mempelajari al-Qur’an hingga muncul pertanyaan: “Mungkinkah ada kesalahan juru tulis di dalam Al-Qur’an?”. Untuk lebih lengkapnya, silahkan dibaca penjelasan dibawah ini.
Kontroversi An-Nur Ayat 27
Apabila diteliti dan dipahami lebih lanjut isi yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka dapat ditemukan bahwa ada satu ayat yang menimbulkan sedikit kontoversi sejak Al-Quran pertama kali dibentuk menjadi salinan fisik. Coba buka ke mushaf yang ada saat ini dan ihat surah An-Nur ayat 27 yang berbunyi;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا۟ وَتُسَلِّمُوا۟ عَلَىٰٓ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum mencari keakraban dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
Jika dilihat dari luarnya saja, nampak bahwa tidak ada permasalahan serta kontroversi dari ayat yang menjelaskan adab dalam bertamu ini. Namun, ayat ini sebenarnya menimbulkan cukup banyak kontroversi di antara para sarjana Al-Qur’an abad pertama serta para ahli al-Qur’an terkemuka dan murid-muridnya.
Para cendekiawan abad pertama mengusulkan bacaan lain dari bacaan yang terdapat di mushaf ini. Sehingga pernyataan tentang hal tersebut dapat ditemukan di berbagai sumber serta kajian ilmiah tentang keberadaan kontroversi di dalam para sarjana abad pertama di banyak sumber lainnya. Semua pernyataan itu bermula dari pendapat seorang ulama tafsir pada abad pertama hijriyah yakni Abdullah Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas seperti dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Allah telah memberikan pemahaman, pengetahuan dan intrepetasi terhadap Al-Qur’an. Bahkan Nabi Muhammad pun mendoakan Ibnu Abbas agar diberikan pengetahuan tentang penafsiran Al-Qur’an. Banyak para sahabat yang tidak meragukan kecerdasan Ibnu Abbas.
Thalhah bin Ubaidillah mengatakan bahwa Ibnu Abbas diberikan pemaham, kecerdasan dan pengetahuan. Hingga Umar bin Khattab pun memuliakan dia. Ibnu Umar pun berkata juga mengenai Ibnu Abbas bahwa dialah orang yang paling berilmu di antara orang-orang yang tersisa dari apa yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Muhammad.
Kesalahan Juru Tulis Menurut Ibnu Abbas
Kembali ke pembahasan awal bahwa Ibnu Abbas mempunyai pandangan berbeda mengenai surah An-Nur ayat 27. Dari sumber-sumber tafsir maupun hadis, maka dapat ditemukan pernyataan-pernyataan beliau yang mengungkapkan bahwa bacaan “tasta’nisu” adalah kesalahan yang dilakukan oleh juru tulis, dan bahwa bacaan yang benar adalah “tasta’dzinu”. Seperti dalam tafsir Ath-Thabari yakni;
Dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini “Hai orang-orang beriman. Janganlah memasuki rumah selain rumah sendiri tanpa terlebih dahulu mencari keakraban dan memberi salam kepada penghuninya”. Ibnu Abbas berkata, “Ini adalah kesalahan dari juru tulis. (Tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada penghuninya)”.
Dari riwayat lain yang disampaikan oleh Al-Baihaqi mengatakan hal yang sama.
وأخبرنا أبو نصر ، قال : أنا أبو منصور ، قال : نا أحمد ، نا سعيد ، قال : نا أبو عوانة ، عن أبي بشر ، عن سعيد بن جبير ، عن ابن عباس قوله : حتى تستأنسوا وتسلموا على أهلها، قال ابن عباس : « الاستئناس : الاستئذان » هذا فيما أحسب مما أخطأت به الكتاب
Artinya: Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Sampai kamu mencari keakraban dan memberi salam penghuninya” Ibnu Abbas berkata, “Mencari keakraban ke meminta izin. Ini adalah kesalahan yang dibuat dalam buku.
Pendapat Ibnu Abbas di atas juga ada dishahihkan oleh Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak dan Imam Adh-Dhahabi pun sama. Menurutnya, pendapat Ibnu Abbas juga dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim meskipun mereka berdua tidak mencatatnya. Imam Sufyan Ats-Tsauri pun mencatat pendapat Ibnu Abbas.
Mungkinkah Ada Kesalahan Juru Tulis Al-Qur’an?
Laporan-laporan dari Ibnu Abbas ini memperjelas bahwa dia tidak menerima tasta’nisu sebagai bacaan yang sah dan fakta bahwa tiga ulama (Ath-Thabari, Al-Hakim dan Al-Baihaqi) melaporkan ini dengan sebagian besar sanad yang bagus. Sehingga membuat laporan ini dapat diyakini. Pertanyaannya sekarang adalah: kapan pendapat Ibnu Abbas ini dimulai?
Nah, petunjuk utama yang dia berikan adalah ketika dia menyebutkan bacaan yang “dihilangkan dari buku” dan “adalah kesalahan penulisan”. Ada dua contoh utama dalam sejarah Islam di mana juru tulis akan menuliskan teks Al-Qur’an ke dalam sebuah buku. Pertama adalah setelah perang Yamamah pada tahun 12 H. Ketika Abu Bakar membuat kodeks al-Qur’an dan Zaid bin Tsabit ditunjuk untuk menyusunnya.
Kedua adalah sekitar 30 H, di mana Utsman menghancurkan semua varian bacaan Al-Qur’an lainnya dalam proyek standardisasi, membuat kodeks dari apa yang awalnya disusun oleh Zaid bin Tsabit. Kemudian memberikannya ke kota-kota besar di mana orang-orang akan mendapatkan Al-Qur’an yang sudah di standarisasi.
Tampaknya lebih mungkin bagi penulis bahwa Ibnu Abbas berbicara tentang kesalahan juru tulis ini mengacu pada proyek standarisasi Utsman. Alasan sederhananya adalah karena versi Abu Bakar dirancang lebih sebagai brankas yang gagal jika orang meninggal dan lupa Al-Qur’an dalam bentuk lisan hilang.
Proyek Ustman
Sedangkan Utsman, menghancurkan setiap varian bacaan setelah membuat salinan dan ini menurut pendapat penulis akan memberi Ibn Abbas alasan yang lebih besar untuk mengeluh tentang kesalahan juru tulis. Hanya karena bacaan yang benar hilang karena kesalahan itu. Ibnu Abbas saat itu akan berusia awal tiga puluhan.
Mengenai gagasan bahwa ini mungkin kesalahan juru tulis, Hythem Sidky, Direktur Eksekutif International Qur’anic Studies Association mencatat bahwa ini sebenarnya bukan proposisi yang absurd. Siapapun yang telah mengedit teks Arab pra-modern pasti telah menemukan korupsi tekstual serupa, atau taṣḥīf. Kedua kata tersebut memiliki banyak kesamaan seperti (تَسْتَأْنِسُوا dan تستأذنوا).
Jika diperhatikan lebih lanjut, kedua kata tersebut hampir mirip dari susunan katanya. Tapi yang pasti, di sini penulis hanya memberikan sebuah pernyataan bahwa ada kemungkinan dari juru tulis melakukan kesalahan mengenai Al-Qur’an terutama dalam Surat An-Nur ayat 27. Untuk benar dan salahnya, semua kembali kepada Yang Maha Benar, yakni Allah. Wallahu ‘Alam.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply