Dalam sejarah panjangnya, Muhammadiyah telah dikenal sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang berperan aktif dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, dan sosial. Namun, perkembangan zaman dan kebutuhan umat menuntut Muhammadiyah untuk terus beradaptasi dengan dinamika ekonomi dan politik yang ada.
Salah satu tantangan terbaru yang dihadapi adalah keterlibatan Muhammadiyah dalam pengelolaan tambang mineral dan batubara. Perubahan regulasi dalam sektor pertambangan di Indonesia telah membuka peluang baru bagi berbagai organisasi kemasyarakatan keagamaan seperti Muhammadiyah, untuk berpartisipasi dalam pengelolaan tambang.
Peraturan pemerintah terbaru memberikan wewenang kepada organisasi-organisasi masyarakat keaagamaan ini untuk tidak hanya terlibat dalam kegiatan keagamaan saja. Tetapi juga dalam pengelolaan sumber daya alam yang sebelumnya mungkin dianggap di luar jangkauan mereka. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki peran penting dalam pengembangan masyarakat dan negara.
Dengan basis anggota yang luas dan jaringan sosial yang kuat, Muhammadiyah memandang pengelolaan tambang sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan kontribusi sosial. Namun, penerimaan dan partisipasi dalam sektor ini memerlukan analisis mendalam, terutama dari sudut pandang fikih.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan justifikasi fikih mengenai penerimaan Muhammadiyah terhadap pengelolaan tambang. Dengan memahami dasar-dasar fikih yang mendasari keputusan ini, kita dapat mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan penting yang perlu diperhatikan dalam konteks maslahat dan mafsadat. Pentingnya tulisan ini terletak pada upaya untuk memahami bagaimana Muhammadiyah menyeimbangkan antara manfaat ekonomi dan dampak negatif potensial yang mungkin timbul dari kegiatan tambang.
Tulisan ini akan mengulas bagaimana putusan tarjih berfungsi sebagai pondasi fikih dalam menentukan sikap Muhammadiyah terhadap tambang. Serta menimbang berbagai aspek maslahat dan mafsadat terkait dengan pengelolaan tambang. Dengan demikian, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai justifikasi fikih di balik penerimaan Muhammadiyah terhadap kegiatan pertambangan ini.
Putusan Tarjih Menjadi Pondasi Fikih Tambang
Menurut Ulil Abshar Abdalla, dalam persoalan muamalah mempunyai dua pertimbangan, yaitu; Pertama, dalil al-istishab, yakni kebolehan sesuatu sebagai hukum asal. Kedua, kemaslahatan (al-maslahah al-mursalah). Dalam konteks fikih pertambangan, Muhammadiyah merujuk pada Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengenai Pengelolaan Pertambangan dan Urgensi Transisi Energi Berkeadilan.
Fatwa ini menetapkan bahwa kegiatan pertambangan dapat dianggap sah dalam perspektif fikih. Dengan dasar hukum al-ibahah, yaitu hukum asal dalam muamalah adalah boleh (al-aṣl fi al-mu’āmalah al-ibāḥah). Kecuali jika ada bukti syar’i yang jelas yang melarangnya (ḥatta yadulla ad-dalīl ‘alā taḥrīmih).
Dengan kata lain, fatwa ini menggarisbawahi bahwa selama tidak ada dalil yang tegas melarang, kegiatan pertambangan dianggap diperbolehkan dalam fikih Islam. Keputusan ini memberikan dasar hukum yang solid bagi Muhammadiyah. Khususnya untuk terlibat dalam pengelolaan tambang. Sekaligus menandakan bahwa langkah tersebut diambil setelah pertimbangan yang matang dan sesuai dengan prinsip syar’i.
Dengan kata lain, meski fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menjadi salah satu pondasi Muhammadiyah dalam pengelolaan tambang, penting untuk terus menerus mengevaluasi dan memastikan bahwa aktivitas tersebut dilakukan dengan cara yang sejalan dengan ajaran Islam dan mempertimbangkan keseimbangan antara manfaat dan dampak yang mungkin timbul. Setelah kita membahas tentang kebolehan untuk melakukan tambang menurut hukum asal, mari kita coba menimbang maslahat dan mafsadat tambang!
Menimbang Tambang: Antara Maslahat vs Mafsadat
Dalam menilai apakah kegiatan pertambangan layak diterima atau ditolak, prinsip fikih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menghindari kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan) sangat relevan. Kaidah ini menggarisbawahi bahwa menghindari kerusakan harus didahulukan dibandingkan dengan mengejar kemaslahatan.
Dengan kata lain, potensi dampak negatif dari suatu kegiatan harus diperhitungkan dan diminimalkan sebelum manfaatnya dipertimbangkan. Namun muncul pertanyaan bahwa, bagaimana menimbang maslahat dan mafsadat dalam penerimaan dan penolakan tambang oleh Muhammadiyah?
Di dalam ilmu logika, terdapat kesalahan logika yang dikenal sebagai “dilema palsu” atau “either/or fallacy“. Di mana hanya dua pilihan disajikan seolah-olah itu adalah satu-satunya opsi yang mungkin. Dalam konteks Muhammadiyah dan tambang, falasi ini muncul ketika Muhammadiyah menolak tambang dianggap sebagai satu-satunya solusi yang baik. Sementara ketika Muhammadiyah menerima tambang dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang buruk.
Namun, dengan menghindari dilema palsu, kita dapat melihat bahwa menolak tambang tidak selalu tanpa mafsadat (kerugian). Begitupun menerima tambang juga tidak selalu sepenuhnya buruk. Muhammadiyah mungkin menghadapi dilema ini. Di mana menolak tambang bisa melindungi lingkungan tetapi menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial. Sementara menerima tambang dapat menawarkan manfaat ekonomi tetapi juga dapat berdampak negatif pada lingkungan dan masyarakat.
Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi berbagai alternatif dan dampaknya secara menyeluruh untuk membuat keputusan yang lebih bijaksana. Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dan tujuan persyarikatan.
Jika keputusan Muhammadiyah untuk menolak atau menerima tambang dianggap memiliki aspek maslahat (manfaat) dan mafsadat (kerugian) yang sama-sama signifikan, langkah selanjutnya adalah memilih opsi yang menghasilkan mafsadat paling ringan. Dalam hal ini, Muhammadiyah perlu melakukan evaluasi mendalam untuk menimbang dampak dari setiap pilihan secara menyeluruh.
Dengan fokus pada meminimalkan kerugian yang mungkin timbul sambil tetap mengupayakan manfaat yang optimal. Pendekatan ini memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah yang paling bijaksana dan bertanggung jawab. Mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat dan prinsip-prinsip etika dalam jangka panjang.
Upaya dalam Mencari Mafsadat Paling Ringan
Dalam upaya mencari mafsadat paling ringan itu didasarkan pada kaidah fikih, idza ta’aradlat al-mafsadatani ru’iya akhaffuhuma (jika ada dua kerusakan yang saling bertentangan, maka dipilih yang lebih ringan di antara keduanya). Prinsip ini menegaskan bahwa dalam situasi di mana dua potensi kerusakan harus dihadapi. Keputusan harus dibuat dengan memilih yang dampaknya lebih ringan.
Bagi saya, penerimaan Muhammadiyah dalam kegiatan pertambangan dapat dianggap sebagai pilihan mafsadat yang lebih ringan jika dibandingkan dengan dampak negatif lainnya yang mungkin timbul dari penolakan tambang. Misalnya, meskipun pertambangan membawa risiko kerusakan lingkungan, dampak ekonomi dari penolakan tambang juga signifikan. Dengan menerapkan prinsip ini, Muhammadiyah dapat memilih untuk menerima pertambangan dengan syarat-syarat ketat. Untuk meminimalkan kerusakan sambil memanfaatkan manfaat ekonomi yang ada.
Penerimaan tambang sebagai opsi mafsadat paling ringan memungkinkan Muhammadiyah untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang substansial. Seperti peningkatan pendapatan yang dapat digunakan untuk mendanai berbagai program sosial dan pembangunan infrastruktur. Selain itu, pendapatan dari tambang dapat mendukung berbagai inisiatif sosial yang bermanfaat. Seperti pendidikan dan kesehatan, yang sejalan dengan tujuan organisasi.
Namun, penerimaan ini harus disertai dengan syarat-syarat ketat untuk mengatasi dampak ekologis dari pertambangan. Muhammadiyah harus memastikan bahwa kegiatan pertambangan dilakukan dengan praktik ramah lingkungan, seperti penggunaan teknologi yang mengurangi pencemaran dan pemantauan dampak lingkungan secara berkala. Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah dapat mengelola potensi kerusakan lingkungan dengan cara yang lebih efektif. Dengan demikian, penerimaan tambang oleh
Muhammadiyah sebagai pilihan mafsadat paling ringan merupakan langkah yang bijaksana jika dilakukan dengan pengawasan dan regulasi yang ketat. Pendekatan ini memungkinkan Muhammadiyah untuk menyeimbangkan antara manfaat ekonomi dan dampak negatif, serta memastikan bahwa prinsip syar’i tetap terjaga sambil memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Kesimpulan
Kesimpulannya, berdasarkan rangkaian penalaran fikih yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa pilihan terbaik adalah penerimaan Muhammadiyah terhadap kegiatan pertambangan dengan syarat-syarat ketat. Justifikasi fikih ini mendukung keputusan resmi Muhammadiyah karena pendekatan ini memungkinkan pemanfaatan keuntungan ekonomi sambil meminimalkan dampak negatif. Dengan penerapan prinsip, idza ta’aradlat al-mafsadatani ru’iya akhaffuhuma, Muhammadiyah dapat memilih opsi yang memberikan dampak mafsadat lebih ringan dengan menjaga keseimbangan antara kemaslahatan dan kerusakan.
Dalam Konsolidasi Nasional, Muhammadiyah menegaskan komitmennya untuk mengelola tambang secara bertanggung jawab dengan melibatkan profesional dari kader dan warga persyarikatan, serta berkolaborasi dengan masyarakat lokal dan perguruan tinggi. Dengan sumber daya manusia yang kompeten dan fasilitas pendidikan yang mendukung, Muhammadiyah bertujuan untuk memastikan praktik pertambangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Pendekatan ini juga berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pengembangan keahlian yang relevan. Muhammadiyah berkomitmen untuk menerapkan model “not for profit” dan bekerja sama dengan mitra berintegritas untuk memaksimalkan manfaat sosial dan lingkungan. Melalui transparansi, evaluasi terus-menerus, dan dukungan terhadap energi terbarukan, Muhammadiyah berusaha untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan bersama. Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah tidak hanya berpegang pada prinsip syar’i, tetapi juga berkontribusi pada upaya pengelolaan sumber daya yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Tabik!
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply