Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mufasir Progresif (2): Isu-Isu yang Menjadi Perhatian

Isu
Sumber: dutaislam.com

Pada tulisan sebelumnya, telah didiskusikan apa-apa saja yang menjadi karakteristik mufasir progresif serta metode yang digunakannya dalam melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya. Tulisan ini hendak dan membatasi pembahasannya pada apa saja yang menjadi konsen atau wilayah utama kajian mufasir progresif.

Wilayah kajian ini penting untuk diketengahkan agar jelas mana hal yang menjadi prioritas perhatian mufasir progresif dan yang tidak. Jangan sampai ada yang mengaku sebagai mufasir progresif, tapi malah membahas hal-hal yang tidak perlu untuk dibahas dan lebih baik untuk ditinggalkan.

Sekedar contoh, banyak dari umat Islam saat ini yang masih sibuk bertengkar masalah bid’ah, musyrik, kafir dan hal-hal sektarian lainnya. Mufasir progresif tidak boleh lagi larut dan hanyut dalam keributan semacam itu. Ia harus memiliki agenda utama dan mampu memetakan isu-isu prioritas yang harus mendapat perhatian lebih darinya, terutama isu-isu yang tengah dihadapi oleh muslim kontemporer.

Omid Shafi dalam bukunya “Progressive Muslim” penulis kira menguraikan isu-isu mana saja yang harus menjadi konsen kajian mufasir progresif. Hal itu antara lain adalah tentang keadilan sosial, kesetaraan gender, dan pluralisme keagamaan. Ketiga hal tersebut adalah isu yang krusial saat ini. Kajian mengenai keadilan, kesetaraan, dan keragaman cukup banyak digelar dalam forum-forum ilmiah-akademis.

Isu Keragaman

Dalam konteks Indonesia misalnya, isu mengenai keragaman cukup ramai dibicarakan. Sebab kini keragaman Indonesia mengalami tantangan yang cukup berat. Ada beberapa kalangan yang berkehendak untuk menghapus keragaman masyarakat Indonesia dan ingin menjadikan Indonesia seragam seperti yang ia kehendaki. Mereka tampak resah dan terkesan anti pada kebinekaan. Padahal kebinekaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Ia adalah denyut nadi bangsa Indonesia. Tanpa kebinekaan, Indonesia bukanlah Indonesia.

Kita melihat dalam beberapa waktu belakangan cukup sering terjadi peristiwa-peristiwa yang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia masih belum siap menerima perbedaan. Contohnya adalah pengrusakan rumah ibadah umat agama lain. Ini tentu tindakan yang miris dan menggelisahkan. Di mana jika tidak segera diatasi maka akan melahirkan disintegrasi (perpecahan) yang besar. Belum lagi, hubungan antara Islam-Kristen dalam momen-momen tertentu juga sering tegang.

Baca Juga  Goldziher dan Daya Dobrak di Dunia Arab

Fenomena itu tentu menjadi “alarm” bagi para mufasir, akademisi tafsir atau penggiat kajian tafsir untuk mengerahkan segala daya, kemampuan dan wawasan yang ia punya untuk memberi pencerahan dan solusi atas masalah keragaman di atas. Apalagi hubungan-hubungan konfliktual seperti yang disebutkan di atas sering kali menggunakan dalil-dalil agama. Di sinilah pentingnya kehadiran mufasir progresif. Ia dibutuhkan untuk mengoreksi dan mengkritik pemahaman-pemahaman yang keliru mengenai Islam, yakni dengan memberi tafsir-tafsir keagamaan yang ramah terhadap keragaman dan kemajemukan.

Isu Kesetaraan

Tak pelak, isu kesetaraan juga tidak kalah penting untuk menjadi perhatian dan fokus utama mufasir-mufasir progresif. Sebab kesetaraan yang kita inginkan masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Sebagian masyarakat muslim masih banyak yang memandang perempuan sebagai manusia kelas dua (the second sex). Mereka umumnya berpendapat bahwa perempuan itu sebaiknya berada di rumah saja dan tidak usah keluar. Kegiatan perempuan disederhanakan hanya sebatas dapur, sumur dan kasur.

Bahkan yang agak mengerikan ialah, hal-hal semacam itu dianggap bagian dari kodrat perempuan. Sehingga ketika ada perempuan yang melakukan kegiatan di luar pakem tersebut, maka ia dianggap “durhaka” dan telah menyalahi kodrat. Ini jelas pemahaman keliru yang perlu direvisi dan ditata kembali. Sebab “dapur, sumur dan kasur” bukanlah kodrat. Itu hanyalah bagian dari bangunan pemahaman yang dibangun oleh masyarakat dan kemudian ”dibakukan” dengan cara sering diulang-ulang sehingga secara tidak sadar telah membekas dan dipercayai oleh masyarakat luas.

Dapatkah kita mendobrak bangunan pemahaman tersebut? Jawabannya adalah tentu. Kita dapat merevisi pandangan tersebut, menggantikannya dengan pemahaman baru yang segar dan lebih kompatibel dengan perkembangan zaman. Kita harus menyadarkan umat bahwa kodrat perempuan bukan itu. Kodrat perempuan hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat biologis, seperti melahirkan, haid, menyusui, dan melahirkan. Di luar itu bukanlah kodrat.

Baca Juga  Belajar dari 3 Hewan Dalam Al-Qur'an, Begini Hikmahnya!

Dalam melanggengkan pemahaman yang anti-kesetaraan tersebut, umat juga cukup banyak memakai dalil-dalil agama. Maka peran mufasir menjadi sangat diperlukan untuk menghadirkan tafsir-tafsir agama yang tidak bias gender dan patriarkal. Ayat-ayat yang selama ini digunakan untuk melegitimasi tindakan-tindakan patriarkis harus dikritik dan diganti dengan pemahaman yang selaras dengan misi yang dibawa oleh agama Islam; yakni membawa misi kesetaraan, pembebasan dan pembelaan terhadap mereka yang lemah.

Isu Keadilan

Selain kedua hal di atas (keragaman dan kesetaraan), isu mengenai keadilan juga adalah isu yang harus menjadi perhatian kalangan mufasir, akademisi tafsir dan penggiat kajian-kajian tafsir. Keadilan saat ini menjadi barang mahal. Mereka yang tertindas dan dizalimi kurang tersentuh dan jarang mendapatkan keadilan. Dalam posisi yang tidak berdaya, mereka tidak dikuatkan dan diselamatkan oleh hukum. Malah yang sering terjadi ialah pembiaran dan bermasa bodoh terhadapnya.

Memori kita tentu tidak lupa dan masih ingat dengan peristiwa penyerangan terhadap kalangan Syi’ah di Sampang, Madura. Mereka tertindas dan dizolimi. Namun mereka bingung mengadu kepada siapa. Sebab hukum pada akhirnya tidak berpihak mereka. Bahkan ceramah-ceramah agama yang ada cenderung mendukung perilaku dan tindakan intimidatif tersebut. Hanya karena alasan mereka Syi’ah, lalu dianggap sesat dan karena itu harus diberantas. Mereka tidak lagi memandang kalangan Syi’ah sebagai manusia dan mahluk Tuhan yang harus dijaga, dihormati, dikasihi dan dimanusiakan.

Kasus ketidakadilan juga cukup sering menimpa perempuan. Dalam beberapa daerah, perempuan dipaksa untuk mengenakan untuk jilbab, sedangkan pada saat yang bersamaan di daerah lain perempuan dilarang mengenakan jilbab. Padahal itu adalah bagian dari hak perempuan, baik yang memilih berjilbab ataupun tidak berjilbab. Orang lain tidak boleh ikut campur, mengaturnya dan memangkas hak-haknya.

Baca Juga  Kewajiban Berdakwah: Tafsir QS. Ali ‘Imran Ayat 110

Membutuhkan Mufasir Progresif

Pada menghadapi isu-isu seperti itulah kehadiran mufasir progresif menjadi yang sangat dibutuhkan. Ia diminta untuk turut aktif menyuarakan dan mengadvokasi isu-isu keadilan, kesetaraan, dan keragaman dengan pemahaman al-Qur’an yang dimilikinya. Karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, mereka yang berlaku tidak adil, diskriminatif, anti kesetaraan dan keragaman juga menggunakan doktrin-doktrin agama.

Hanya saja yang membedakan antara mufasir progresif dengan kalangan itu ialah dalam cara dan metode pembacaan al-Qurannya. Mufasir progresif tidak akan menggunakan pemahaman yang tekstual. Ia bisa menangkap maksud dan konteks ayat. Sehingga sangat tidak mungkin lahir tafsir-tafsir keagamaan yang diskriminatif, anti kesetaraan dan anti keragaman.

Mufasir progresif menyadari betul bahwa ada banyak ayat-ayat al-Quran yang menentang tindakan dan perilaku tersebut. Seperti surah al-Maidah ayat 8 yang berisi perintah untuk tidak menggunakan kebencian kita terhadap suatu kaum sebagai alasan untuk berlaku tidak adil; surah al-Hujurat ayat 13 yang menyebutkan bahwa keragaman adalah kehendak Tuhan, menolaknya sama saja dengan menolak kehendak Tuhan. Ayat ini juga mengisyaratkan adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Di mana seseorang dianggap mulia bukan berdasar jenis kelaminnya, melainkan dari sifat takwa-nya kepada Tuhan.

Sebenarnya ada satu isu yang belum tersentuh dan terjamah oleh wilayah kajian mufasir progresif yang dibuat oleh Omid Shafi, yakni isu lingkungan. Padahal isu ini juga isu yang penting, terutama melihat maraknya kerusakan lingkungan akhir-akhir ini. Sebab ia berkaitan dengan keberlangsungan hidup manusia dan alam. Maka dari itu mufasir progresif juga dituntut untuk mengadvokasi isu ini. Ada banyak ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang anjuran menjaga alam, tidak berlaku serakah terhadap alam dll, itu semua perlu untuk diperhatikan. Sebab hanya dengan cara seperti itulah seorang mufasir dapat dianggap menjadi solusi atas permasalahan zamannya.

Muhamad Bukhari Muslim
Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kabid RPK PC IMM Ciputat. Banyak menulis tentang tafsir, isu keislaman aktual dan pemikiran-pemikiran intelektual muslim kontemporer.