Salah satu yang menjadi jargon fenomenal dalam Islam ialah bahwa al-Qur’an, kitab suci umat Islam, adalah kitab yang nilai dan ajaran-ajarannya akan selalu relevan bagi setiap zaman dan tempat. Al-Quran adalah kitab yang akan selalu dapat digunakan baik mereka yang hidup di masa silam ataupun masa sekarang. Kitab al-Quran dapat memberikan manfaat dan dampak positif bukan hanya bagi masyarakat Arab tempat ia turun, namun juga bagi setiap tempat yang umat Islam berada di dalamnya.
Problemnya kemudian, harapan yang terkandung dalam jargon tersebut sering kali bertabrakan dengan perilaku sebagian umat Islam. Banyak dari umat Islam yang masih memperlakukan al-Quran secara kaku dan seolah-olah menempatkannya sebagai “museum sejarah” yang digantung pada kerangkeng pemahaman intelektual Islam awal. Padahal al-Quran merupakan kitab yang universal, menyejarah, tidak ahistoris, dan nilai-nilainya dapat diejawantahkan dalam berbagai zaman.
Al-Quran adalah kitab yang selalu maju meski banyak dari umat Islam yang masih berpikiran mundur. Al-Quran adalah kitab yang selalu dinamis meski banyak dari umat Islam yang masih bersikap statis. Lantas, siapakah orang-orang yang dapat menangkap sisi maju dan dinamis dari al-Quran? Mereka adalah orang-orang yang berpikiran maju, terbuka, dan orang-orang yang telah bergumul dengan zamannya serta mampu membaca kebutuhannya. Orang-orang itu kita sebut sebagai mufasir progresif.
Al-Quran Itu Bisu
Imam Ali bin Abi Thalib punya suatu ungkapan yang penulis kira menarik untuk kita tayangkan di sini. Ia mengatakan, “Al-Quran adalah bisu, manusialah yang kemudian mendendangkannya” (Musbikin: 2016). Artinya ialah al-Quran mengikuti siapa yang mengendalikannya. Jika yang mengendalikannya adalah orang yang berpikiran kaku dan tertutup, maka al-Quran juga akan menjadi kaku dan tertutup. Akan tetapi jika yang mengendalikannya adalah orang yang berpikiran maju dan terbuka, maka al-Quran juga akan menjadi maju dan terbuka. Singkatnya, al-Quran tergantung siapa yang menafsirkannya.
Di sinilah orang-orang yang akan atau hendak berinteraksi dan menafsirkan al-Quran penting untuk memerhatikan dan memeriksa pemikiran bawaannya. Atau yang dalam bahasa Heidegger disebut sebagai “pra-pemahaman”. Sebab pra-pemahaman itulah yang nantinya akan menuntun, memandu dan menentukan bagaimana corak dari produk penafsiran yang dihasilkan. Faktor yang menentukan produk penafsiran itu maju atau tidak adalah seorang mufasir. Karena itulah kita membutuhkan mufasir yang progresif agar produk penafsiran yang dihasilkannya juga progresif.
Mufasir Progresif
Istilah “mufasir progresif” pada tulisan ini mengambil akar dan formulanya pada gagasan Islam progresif yang digagas oleh Abdullah Saeed, seorang sarjana Islam terkemuka asal Asutralia. “Islam progresif”, jelas Saeed, “adalah merupakan upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi progresifitas Islam melalui fresh ijtihad yang dalam kurun waktu yang cukup lama mati suri ditindas oleh dominasi teks”.
Perbedaannya adalah hanya pada nama. Namun subtansinya tetap sama. Bahkan bisa dikatakan, potret mufasir progresif ini hanya meminjam dari gagasan muslim progresif Abdullah Saeed. Jika Saeed menggunakan term “muslim progresif”, maka di sini kata “muslim” itu diubah menjadi “mufasir”.
Secara sederhana, mufasir progresif adalah mereka yang sadar bahwa zaman terus berganti dan sejarah umat manusia terus-menerus mengalami perubahan yang luar biasa, khususnya pada 150 dan 200 tahun belakangan. Baik perubahan dalam bidang ilmu pengetahuan, tatanan sosial-politik dan sosial-ekonomi, demografi, hukum, tata kola, lingkungan hidup dan begitu seterusnya. Seluruh perubahan itu pada akhirnya memberi dampak yang luar biasa terhadap pola keberagamaan dan cara pandang keagamaan umat Islam ataupun umat agama lain. (Fresh Ijtihad, hal. 45)
Menyikapi perubahan itu, maka dibutuhkan suatu penafsiran yang maju dan mampu menjawab semua perubahan di atas. Sehingga agama Islam tetap dan selalu menjadi agama yang shalihun li kulli zaman wa makan (bisa berlaku di segala tempat dan zaman).
Karakteristik Mufasir Progresif
Ciri atau karakteristik mufasir progresif dapat kita lihat pada karakteristik muslim progresif yang diberikan oleh Abdullah Saeed. Di antara karakteristik itu ialah:
Pertama, mereka mengadopsi pemahaman bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi subtansial dalam rangka menyesuaikan kebutuhan muslim zaman ini. Kedua, mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer. Ketiga, beberapa di antara mereka ada yang mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional dan pendidikan Barat modern.
Keempat, mereka punya keyakinan teguh bahwa perubahan sosial, baik dalam intelektual, moral, hukum, ekonomi, atau teknologi, harus direfleksikan dalam penafsiran hukum Islam. Kelima, mereka tidak menjatuhkan dirinya dan mengikatkan dirinya pada dogmatisme atau mazhab hukum atau teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya. Keenam, mereka lebih menitikberatkan perhatian pada permasalahan keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang harmonis antara muslim dan non-muslim. (Amin Abdullah: 2020)
***
Perlunya reformasi hukum Islam dan ijtihad baru itu sebenarnya sudah didengungkan dan disuarakan oleh banyak pemikir Islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, Mohammed Abid Al-Jabiri, Mohammad Arkoun dan kawan-kawan. Arkoun misalnya mengkritik umat Islam yang menjadikan sebagian dari kitab-kitab klasik sebagai sumber primer dalam ber-Islam. Baginya, tidak ada kitab primer dalam Islam kecuali al-Quran dan sunnah (Epitimologi Kiri: 2014). Karena ketika seseorang menganggap ada satu kitab yang dianggap “primer”, maka ia akan cenderung memandang salah jika ada kitab baru setelahnya yang bertolak-belakangan dengan isi kitab “primer” tersebut.
Inilah yang kental dari karakteristik mufasir progresif. Mereka menolak glorifikasi terhadap suatu pemikiran dan sangat mengapresiasi temuan-temuan dan metode-metode baru. Bagi mereka, sehebat apa pun pemikiran, ia tetaplah sesuatu yang lahir dari seorang manusia biasa yang bisa saja salah. Di samping selain itu, pemikiran manusia juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan zamannya. Karenanya bisa saja ada pemikiran yang diagung-agungkan pada masa tertentu, tapi tidak pada masa berikutnya. Sebab konteks zamannya sudah berbeda.
Metode Penafsiran
Ada banyak metode penafsiran yang dapat digunakan seorang mufasir untuk dapat menghasilkan produk penafsiran yang progresif. Di antaranya ialah; teori double movement (gerakan ganda) Fazlur Rahman, teori maqashid syariah Jasser Auda, dan metode pembacaan integratif-interkonektif Amin Abdullah. Kesemua teori itu dapat digunakan saat hendak berinteraksi dengan al-Quran.
Dengan teori Fazlur Rahman, seorang penafsir akan terselamatkan dari pemahaman yang tekstual. Ia mampu menangkap spirit dan semangat dari sebuah ayat, terutama pada ayat-ayat hukum. Pada ayat potong tangan misalnya, ia tidak semata-mata melihatnya sebagai perintah untuk memotong tangan para pencuri. Ditemani teori gerakan ganda Rahman, ia melakukan perjalanan ke masa lalu untuk melihat konteks perintah itu turun.
Apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan lewat perintah tersebut? Ternyata yang diinginkan Tuhan ialah memberikan efek jerah bagi mereka yang mencuri. Karena itu, ketika kembali ke masa kini, ia tidak serta merta mewajibkan hukum potong tangan. Tapi dapat menggantinya dengan hukuman lain yang sama-sama memberikan efek jerah, seperti hukuman penjara yang berlaku di Indonesia.
Dengan teori Jasser Auda, seorang penafsir tidak lagi memahami variabel-variabel dalam maqashid syariah sebagai hal yang bersifat ke dalam, tapi juga keluar. Dalam memahami hifz al-‘aql misalnya. Ia tidaksebatas mengartikannya sebagai perintah untuk menjaga akal, namun juga perintah untuk mengasah pola pikir, mengembangkan risetilmiah, mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan berupaya untuk tidak meremehkan kerja-kerja akal.
Dengan metode pembacaan Amin Abdullah, seorang penafsir tidak akan miskin dan sempit perspeketif ketika berhadapan dengan ayat al-Quran. Ia akan memilik perspektif yang kaya. Dalam membaca dan memahami ayat-ayat al-Quran, ia tidak hanya membatasi diri perspektif ilmu agama, namun juga memperkayanya dengan perspektif lain seperti perspektif ilmu sosial, humaniora, eksak dan sebagainya.
Metode dan teori-teori di atas dapat menjadi tawaran bagi seorang mufasir untuk memahami dan menafsirkan al-Quran. Sehingga penafsiran yang dihasilkan bersifat progresif, kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan praksis muslim kontemporer!
Leave a Reply