Dalam diskursus wacana ilmu pengetahuan, sering dikaitkan dengan dikotomi ilmu pengetahuan antara Ilmu agama dan ilmu umum. Polemik yang terjadi menyebabkan apakah ada pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Kalaupun tidak terjadi dikotomi dan pertentangan semacam ini di Eropa khususnya pasca renaisance, barangkali kita di dunia Islam pun tidak akan meributkan soal ini. Lebih-lebih pada pasca kolonialisme meninggalkan persoalan dikotomi dengan pertentangan ini yang dilembagakan, kalau kita mengenal ada lembaga pendidikan agama (pesantren) dan ada lembaga pendidikan umum.
Dalam dunia Islam sendiri, sesungguhnya kita tidak mengenal adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Kita bersepakat bahwa al-Qur’an memberikan apresiasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Wahyu yang turun pertama kita ketahui memerintahkan kita untuk iqra’ (membaca). Namun obyek perintah untuk membaca tersebut tidak disebutkan secara khusus, melainkan ditujukan secara umum. Oleh karena itu, Ini menunjukan ilmu pengetahuan yang dibaca itu bersifat umum apapun. Sehingga termasuk ilmu alam semesta sesungguhnya kita wajib juga untuk membacanya.
Materi ini disampaikan oleh Dr. Muchlis M. Hanafi, MA (Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kemenag RI), dalam kuliah Umum IAT Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta tentang integrasi ilmu pengetahuan dalam penafsiran (23/1).
Tafsir Ilmi sebagai Upaya Integrasi Ilmu Pengetahuan
Al-Qur’an petunjuk tidak hanya berisi ketentuan hukum dalam agama (syari’at). Hampir 750 ayat al-Qur’an yang bersinggungan, secara langsung atau tidak dengan berbagai keilmuan. Karena itu tidak ada satu ayat pun yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam dunia penafsiran, sebagai bentuk integrasi antara ilmu pengetahuan dengan penafsiran al-Qur’an, para mufasir mencoba mengembangkan tafsir ilmi sebagai salah satu bentuk implementasi paling awal dari konsep integrasi ilmu pengetahuan dengan agama. Hal ini pula yang menurut Muchlis Hanafi dikembangkan juga oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama dengan menyusun beberapa ensiklopedia tafsir al-Qur’an yang sifatnya tematik tetapi dalam perspektif ilmu pengetahuan.
“Tafsir ilmi ini adalah saya kira salah bentuk implementasi konsep intergasi ilmu, tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Memang kita tau tafsir ilmi ini pro-kontra di kalangan para ulama”, imbuhnya.
Mengutip dari Fahd ar-Rumi, tafsir ilmi adalah upaya seorang mufasir untuk mengungkap hubungan antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung isyarat-isyarat ilmiah (kauniyah), dengan penemuan-penemuan modern yang dengan itu kita dapat mengenal mukjizat al-Qur’an dan kita juga yakin bahwa al-Qur’an adalah kitab abadi sepanjang waktu dan tempat (zaman wa makan). Sehingga kalau bisa kita defenisikan terhadap intergasi ilmu pengetahuan dalam penafsiran, dapat kita maknai sebagai penggunaan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam satu kesatuan yang saling melengkapi dalam menafsirkan al-Qur’an.
Tafsir Al-Qur’an Terbarukan
Al-Qur’an sebagaimana yang kita yakini merupakan kitab petunjuk yang komprehensif bagi umat manusia. Komprehensif dalam artian kandungan al-Qur’an banyak mengandung dan banyak bersinggungan dengan ilmu pengetahuan lainnya dan itu berlaku sepanjang zaman. Oleh karena itu al-Qur’an itu bersifat dinamis, karena penafsir adalah anak zamannya (ibnu ‘ashirihi). Sehingga kita tidak boleh terkungkung dan berpegang pada hanya penafsiran pada masa lalu.
“Oleh karena itu diperlukan, saya menyebut istilahnya tafsir terbarukan (al-tafsir al-mutajaddid), jadi kalau kita mengenal adanya energi terbarukan, maka tafsir pun juga memerlukan tafsir terbarukan, yaitu tafsir hasil interaksi yang berkelanjutan dengan al-Qur’an, dengan memperhatikan kondisi masyarakat di setiap zaman”, tuturnya.
Tafsir terbarukan bertolak dari pemahaman penafsir (fiqhul waaqi’) dan keniscayaan berinteraksi dengan realitas, untuk memecahkan berbagai persoalan sosial, ekonomi, budaya dan lainnya.
“Oleh karena itu disini diperlukan adanya keterbukaan terhadap berbagai pendekatan/ metode dalam menafsirkan al-Qur’an”, ungkapnya.
Keterbukaan dan pembaharuan (tajdid) dalam menafsirkan al-Qur’an menjadi sebuah keharusan jika dilihat dari tiga hal: Pertama, karakter pikiran manusia yang selalu menginginkan perubahan. Kedua, karakteristik ajaran Islam yang dikatakan sebagai penutup semua agama (ar-risalah al-kharija) dan bersifat universal (ar-risalah al-‘alamiyah), sehingga kemudian dalam ajaran Islam itu ada murunah (elastis) dan tsabat (akomodatif) terhadap segala perkembangan tanpa harus kehilangan jati diri.
Dan terakhir yang ketiga, keterbukaan dan pembaruan sebuah keharusan karena kita lihat kemajuan pesat di bidang industri, teknologi dan informasi menuntut apresiasi umat Islam sebagai bagian dari masyarakat dunia.
Reporter: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply