Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Minuman Keras di Malam Lebaran dan Pudarnya Makna Takbiran

Festival takbiran di beberapa lokasi di Indonesia merupakan budaya Islam khas tanah air yang unik. Dimana asma Allah digaungkan oleh sekelompok anak-anak dan remaja dengan berkeliling membawa obor atau lampion. Sehingga menjadi syi’ar yang baik untuk merayakan dua hari raya yang biasa diadakan di dalamnya festival takbiran, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Akan tetapi budaya yang dikembangkan seiring berjalannya waktu ini seolah berkembang tanpa arah. Lafadz takbir yang diucapkan seolah tidak didasari keimanan yang benar oleh pengucapnya. Begitupun shalat ‘id yang diadakan pagi hari dan serangkaian kegiatan lainnya seperti sebatas budaya yang telah pudar nilai kebaikannya.

Di Yogyakarta pada malam takbiran 1 Syawwal 1445 H atau pada 9 April 2024 terjadi beberapa kericuhan di beberapa titik ketika festival takbiran berlangsung. Video dokumentasi ini kemudian viral di media sosial Instagram maupun Twitter. Berbagai respon dan reaksi akan berita ini juga beragam. Akan tetapi dari banyaknya berita itu, pada pembahasan ini setidaknya ada dua kericuhan yang menjadi sorotan, yaitu yang terjadi di depan pom bensin Jogokaryan sekitar jam 21.30 WIB dan depan swalayan Purnama Karangkajen sekitar jam 22.00 WIB.

Berdasarkan keterangan yang berhasil dihimpun, kedua kericuhan itu disebabkan oleh sekelompok orang yang sedang berada di bawah pengaruh minuman keras. Sebagian menyebutkan bahwa mereka adalah penonton, sebagian mengatakan bahwa mereka termasuk kontingen salah satu masjid, sebagian menyebut bahwa keberadaan mereka memang disengaja.

Keterangan lain menyebut bahwa yang disebabkan karena minuman keras hanyalah yang terjadi di depan pom bensin Jogokaryan, sedangkan yang terjadi di depan swalayan Purnama sebatas salah paham. Walaupun begitu, kericuhan di festival takbir seperti ini perlu disorot dan dievaluasi dengan serius, agar tidak terjadi di kemudian hari.

Baca Juga  Hermeneutika Schleiermacher: Teks Itu Berbicara Sendiri

Minuman keras dan mabuk di malam lebaran tidak hanya terjadi saat itu saja. Di tahun-tahun berikutnya hal seperti ini juga ada di beberapa lokasi lain, tetapi umumnya dilakukan setelah festival takbir selesai setelah jam 12 malam. Seolah menjadi “tren” bahwa malam lebaran “dirayakan” dengan hal seperti ini.

Apakah kemudian hal ini menunjukkan bahwa tren mabuk dan minuman keras serta yang serupa dengannya menjadi tren umum yang sudah tidak dianggap kemaksiatan atau aib lagi ? Mengingat minuman keras menjadi suatu konsumsi legal di tengah masyarakat dan bahkan menjadi tren populer di kalangan anak muda, bahkan dengan harga yang terjangkau pula.

Perlu diketahui bahwa di kawasan ini terdapat setidaknya tiga icon dakwah Islam di Kota Yogyakarta yang cukup dikenal masyarakat luas, yaitu Masjid Jogokaryan, Makam Kyai Haji Ahmad Dahlan dan beberapa ulama lain, dan kawasan pesantren Krapyak. Perlu diketahui juga bahwa tidak jauh dari kawasan ini juga terdapat kawasan turis Prawirotaman yang di dalamnya banyak terdapat hotel dan diskotik.  Dinamika dakwah di kawasan ini juga perlu mendapat sorotan penting.

Tentu saja banyak pihak yang spontan memberi respon bahwa hal seperti ini mencoreng tradisi Islam secara luas. Karena di Ramadan tahun ini, seperti menjadi Ramadan yang menghadirkan Islam Indonesia dengan wajah yang ramah dimana di negara ini, umat selain Islam saja menyambutnya dengan suka cita, mulai dari saling mencari takjil hingga coba-coba ikut i’tikaf, misalnya.

Hingga hasil diskusi ringan dengan beberapa pemerhati dakwah Islam lintas latar belakang : Muhammadiyah, NU, Salafi dan kelompok lain disimpulkan beberapa pendapat sebagai respon terkait kasus kericuhan ini yaitu : (1) Takbiran diadakan sebatas di masjid musholla saja, (2) Jikapun perlu diadakan sebagai festival di jalanan, diadakan sederhana saja seperti dulu : cukup adanya obor atau lampion, tidak memakai display dan kostum berlebihan, pengamanan yang cukup dan selesai sebelum jam 11 malam, (3) Kasus seperti ini tidak perlu menjadi evaluasi, namanya juga “anak muda”.

Baca Juga  Berguru Pada Farid Esack: Pluralisme dan Hermeneutika

Pendapat pertama dan kedua perlu mendapat perhatian, pendapat ketiga sepertinya didasari ketidaktahuan pada masalah yang dibahas, terlebih dengan dalih bahwa festival takbir yang sangat mewah adalah media kaderisasi yang (dianggap) efektif. Pasalnya hal itu terbantahkan dengan sendirinya ketika memperhatikan realita jumlah peserta festival takbiran di shaf-shaf shalat Subuh esok harinya.

Sebagai umat Islam yang memiliki kejernihan akal yang sehat dan tidak sedang di bawah pengaruh minuman keras, kasus seperti ini perlu diperhatikan. Merayakan hari raya selayaknya dilakukan dengan sederhana dan bergembira. Ungkapan kegembiraan tidak perlu sampai melanggar nilai-nilai Islam itu sendiri, apalagi jika sampai menimbulkan kericuhan yang tidak perlu dan tidak selayaknya ada.

Muhammad Utama Al Faruqi
Seorang yang memiliki minat di bidang sejarah, dakwah dan pendidikan Islam. Memiliki keseharian sebagai peneliti dan penulis di ketiga bidang yang menjadi minatnya. Monggo, silaturrahmi di media sosialnya.