Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup beragam. Yaitu terkait metodologi dan corak dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Perbedaan terssebut disebabkan adanya perbedaan latar belakang pendidikan, keilmuwan, dan minat yang dimiliki oleh para mufassir serta metode dan corak tafsirnya. Salah satu kitab tafsir di zaman modern ini dan mendapat respon baik dikalangan masyarakat adalah tafsir al-Wasith karya Syeikh Dr. Muhammad Sayyid Thantawy yang diterbitkan pertama kali di Kairo tahun 1997 M.
Profil Mufassir
Nama lengkapnya adalah Muhammad Sayyid ‘Atiyyah Thantawi. Nama akhirnya Thantawi dinisbahkan kepada kota Thanta sebuah provinsi di Mesir. Beliau lahir pada tanggal 14 Jumadil Ula 1347 H atau 28 Oktober 1928 M di desa Sulaim Syarqiyah, Thoma propinsi Sohag, Mesir. Beliau berkuliah di Universitas al-Azhar Kairo fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits dan lulus pada tahun 1958. Setelahnya ia melanjutkan hingga mendapatkan gelar doktoralnya di tahun 1966 M dengan predikat camlaude.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, beliau kemudian berkarier diberbagai akademi. Salah satunya sebagai beliau ditunjuk sebagai Grand Syeikh al-Azhar oleh presiden Hosni Mubarak.
Pada 10 Maret 2010, di usia beliau yang ke 81 tahun, beliau menghembuskan nafas terakhirnya; karena serangan jantung di Riyadh Madinah dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ Madinah. Bersandingan dengan makam sahabat Nabi serta berdekatan dengan makam Nabi Muhammad SAW setelah beberapa hari dari selesainya muktamar al-Majlis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah dan Majma al-Buhuth.
Tafsir Al-Wasith
Adapun profil dari kitab tafsir ini, Kitab Tafsir al-Wasith li Al-Qur’an Al-Karim ini terdapat 15 jilid dengan metodologi tafsir tahlili tertib ayat dari surah al-Fatihah hingga surat An-Nas. Kitab ini memuat kurang lebih sekisar 7000 halaman lebih pembahasan al-Qur’an. Sebuah karya dari Grand Syeikh Al-Azhar ke-45 bernama Muhammad Sayyid Athiyyah Thantawy. Kitab ini ditulis dimulai sejak tahun 1965 hingga 1975. Pembuatan tafsir ini adalah semata-mata karena usahanya yang kuat, jeli, dan teliti agar tafsir al-Wasit ini menjadi sebuah tafsir al-Qur’an yang di dalamnya tidak terdapat perkataan-perkataan yang dha’if, statement-statement yang bathil, makna-makna yang salah, serta agar tidak terdapat di dalamnya sanad-sanad, kecuali sanad yang di nuqil kan dengan sahih dan akal yang sehat (Salim).
Metodologi dan Sumber yang digunakan
Metode yang digunakan oleh tafsir al-Wasith adalah tafsir tahlili dikarenakan dalam menafsirkan ayat-ayat dan surah-surah dalam al-Qur’an tersusun sesuai tertib mushaf dari awal mushaf surah al-Fatihah hingga surah an-Nas. Dengan menggunakan metode tafsir analitis ini dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an.
Adapun dalam tafsir al-Wasith Langkah-langkah yang digunakan Muhammad Sayyid Thantawy dalam menafsirkan tafsirnya. Langkah pertama dengan menjelaskan lafaz ayat secara bahasa dan menerangkan makna lebih mendetail jika diperlukan (seperti tambahan dari segi balaghahnya atau segi ahkamnya, atau dari i’rab ayatnya, dll). Langkah berikutnya dengan menjelaskan asbabun nuzul ayat. Kemudian menerangkan kandungan atau makna dari ayat secara umum dan disertai dengan kolerasi antar ayat lain dengan pembahasan yang sama, Adapun disertai penjelasan atau pendapat dari hadist nabi dan argument dari para mufassir dan ulama salafi. Di samping itu, corak yang digunakan yaitu lebih kepada pemahaman Islam secara sosiologis atau bisa disebut dengan adabi wa al-ijtima’i.
Sedangkan corak penafsiran yang digunakan oleh Muhammad Sayyid Tantawi adalah menggunakan corak adabi wa al-ijtima’i. Seperti yang diutarakan oleh Muhammad Ridha bahwa dalam cirak ini menitik beratkan pemahaman terhadap sosiologis Islam; bukan terhadap aspek balaghah, nahwu, bahasa, atau perbedaan madzhab. Dan pemahaman dalam kitab tafsir ini sederhana dan mudah dipahami serta disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi, baik berupa kemasyarakatan atau tatanan peradaban.
Sumber penafsiran yang digunakan Syeikh Muhammad Sayyid Taantawi dalam tafsirnya adalah gabungan antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bil ra’yi. Atau bisa juga disebut dengan istilah tafsir bi al-iqtirani, yaitu cara menafsirkan al-Qur’an dengan didasarkan pada perpaduan antara sumber tafsir riwayah yang kuat; dan sahih dengan ijtihad hasil pemikiran para mufasir, ulama, atau sahabat nabi dengan pemikiran yang sehat. Akan tetapi tafsir ini cenderunng lebih banyak sisi dari tafsir bil ra’yi dibandingkan antara tafsir bil ma’tsur
***
Dalam hal ini kecenderungan tafsir bil ma’tsur dalam tafsir al-Wasith terlihat di mukaddimah pada kitabnya. Ketika beliau mengutip pendapat dari salah satu imam terkemuka yaitu Imam Ibnu Katsir pendapatnya sama seperti mayoritas ulama dan mufassir lainnya “tafsir yang paling baik adalah ketika menafsirkan ayat al-Qur’an dan menjawab tafsiran tersebut dengan al-Qur’an yang terdapat pada ayat lain atau surah lainnya”. Adakala makna yang terkandung dalam suatu ayat menjadi jawaban atau penjelasan mendetail dari ayat lainnya. Jika tidak terdapat pada ayat lain maka dapat menggunakan hadits nabi, karena otoritatif dalam menjadikan penjelas bagi ayat al-Qur’an. Jika tidak memungkinkan juga, dapat menggunakan pendapatnya para sahabat dan para tabi’in.
Tafsir bil ra’yi yang terdapat dalam tafsir al-Wasith. Seperti makna penjelas mufrodat, terdapat I’rab, makna ayat secara global, balaghahnya, pembahasan ahkam dan akidah. Adapun hikmah dan naseh-nasehat dan terdapat penukilan dari pendapat ulama mufasir sebelumnya. Tafsir bil ma’tsur sendiri berisikan pembahasan asbabun nuzul, kandungan ayat, dan menuangkan hukum dari ayat tersebut dengan menggunakan ayat lain dan pendapat ulama atau mufasir salaf.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply