Sujud menandakan dua hal; pertama ketundukan dan kepasrahan. Kedua, kesejajaran dan sama rata. Sebagai seorang hamba, sudah tentu kewajiban kita adalah mengabdi dan menyembah Sang Pencipta. Aktifitas kita sebagai manusia dalam keseharian kita tidak lain dihaturkan kepada Rabb. Orang sering lupa bahwa segala tindak tanduk kita tidak lain hanya untuk-Nya. Karena itulah, orang diingatkan oleh panggilan adzan. Orang yang menyambut panggilan itu dinilai sebagai orang yang menang: Hayya alas sholaah.
Sementara sujud dimaknai pula sebagai kesetaraan. Sama rata. Tuan dan puan tidak boleh membedakan peranan tangan dan kaki, kepala dan juga mulut. Kita dilarang menafikkan peranan telapak kaki, kita juga tidak diperkenankan menganggap kepala sebagai yang lebih dari segala. Semua sama dihadapan Tuhan. Semua harus tunduk dan menghadap pada-Nya.
Tamsil ini benar-benar indah. Pada hakikatnya manusia akan kembali ke tanah, bumi yang dipijaknya. Sujud dengan begitu mengingatkan mati, mengingatkan tempat kesejatian kita. Sujud memberi kita seruan lirih, kita bukan apa-apa, dan tak kan menjadi siapa-siapa selain hamba.
Dalam sehari, nabi kita yang mulia menunjukkan teladan yang baik dalam praktek bersujud. Rasul adalah hamba yang sering bersujud. Telapak kakinya bengkak. Dalam wajahnya, bekas cahaya itu nampak. Seorang yang rajin sujud tidak menampakkan kesombongan. Ia menampilkan wajah rendah hati dan juga cahaya. Rasul pernah bersabda :” Sedekat-dekat hamba kepada Rabb-Nya adalah saat ia sedang sujud. Karena itu perbanyaklah kalian berdoa”.
Sujud yang Melenceng
Dalam keseharian kita, banyak manusia telah mengubah makna sujud. Mereka begitu hina dina menghamba pada manusia. Orang sampai begitu hormatnya pada manusia sampai ia menuruti apa-apa yang diperintahkannya. Mereka menganggap sesama manusia sebagai dewa penyelamat hidupnya. Mereka bisa sedemikian tunduk dan teramat patuh. Sebaliknya, mereka justru jarang sujud kepada Tuhan. Mereka menganggap Tuhan justru sebaliknya.
Kecintaan kita pada anak, istri dan keluarga pada akhirnya terbatas, kalau tidak kita sujudkan cinta kita pada Yang Maha Segala-Nya.
Walaupun fitrah kita sebagai hamba adalah menyembah dan sujud pada pencipta, namun manusia tidak selalu sama. Ada yang memiliki sifat seperti Iblis. Menolak sujud dan menolak patuh. Dalam kondisi carut marut itulah kita saat ini hidup. Kita membutuhkan doa, kita membutuhkan sujud. Dengan sujud itulah doa kita tidak tertolak.
Danarto dalam bukunya Cahaya Rasul (1999) sujud merupakan kegiatan manusia yang menyeimbangkan alam. Dari sujud alam bergetar, malaikat bergetar. Dengan sujud kita jadi ingat bahwa sebenarnya kita adalah khalifah yang menerima amanah di muka bumi.
Manusia dan Sujud
Seseorang menjadi pejabat, menjadi konglomerat, menjadi ahli hukum, guru, kaya, miskin seperti tidak ada artinya saat bersujud. Di saat sujud itulah sejatinya kita menyadari, kita mengikrarkan “Engkaulah Tuhan Dzat Yang Maha Tinggi”. Sebab manusia sekali lagi bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi apa-apa pada akhirnya. Sering kita mendengar seorang mubaligh memberi kita nasihat.
Sejatinya, hamba yang paling sejati ialah hamba yang paling taat, paling taqwa. Dan salah satu tanda ketaqwaan adalah seberapa sering seorang hamba sujud pada Rabb-Nya.
Alangkah sombongnya kita ketika kita tidak mau bersujud pada-Nya. Seberapa hina kita, seberapa rendah kita, sungguh tidak layak kita untuk mendangakkan kepala kita ke langit. Padahal Rabb sudah menyeru pada surat ar-Ra’du ayat 15 yang maknanya:
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.”
Pada akhirnya kekuasaan-Nya pula yang menjadikan kita sebagai manusia dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.
Namun pembangkangan, kesombongan dan juga tabiat kita yang memuja pada dosa dan kenikmatan semua itulah yang mengubah derajat kita di mata Tuhan. Bahkan kita ditamsilkan lebih rendah dan hina dari seekor hewan.
Dan kita tahu, sujud tidak merubah kita menjadi rendah bukan?. Justru dengan sujud kita semakin menyadari siapa kita, dan ke mana kita menuju.
Editor: M. Bukhari Muslim
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.