Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Merawat Moderasi Islam, Menjaga Indonesia

Bangsa
Gambar: harianaceh.co.id

Indonesia adalah “kode” kebangsaan bagi bangsa Indonesia. Dalam tradisi semiotika, “kode” berarti sesuatu yang muncul karena narasi-narasi biasa tidak mampu mengungkapkan/menjelaskan realitas yang sebenarnya. Kurang lebih seperti itu penegasan Muhammad Sabri (Direktur Pengkajian Materi BPIP RI).

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Secara geografis, letaknya sangat strategis. Begitu pun demografisnya sangat potensial menjadi bangsa dan negara besar dan maju. Hari ini, di balik potensi itu masih terdapat hal paradoks. Kebesaran dan kemajuan bangsa dan negara, lebih banyak masih memenuhi ruang imajinasi. Belum sepenuhnya aktual dalam realitas empiris.

Oleh karenanya dibutuhkan suatu konsepsi, paradigma, basis filosofis, atau ideologi untuk memantik spirit dan kesadaran melakukan hal terbaik bagi bangsa ini. Termasuk untuk menjadi seperangkat pengetahuan dan alat interpretasi dalam memahami realitas yang ada serta menjadi pedoman aksi dalam tata kelola berbangsa dan bernegara.

Berbicara tentang konsepsi atau sejenisnya, bangsa ini sebenarnya telah memilikinya dan bahkan bisa dinilai sebagai sesuatu yang par excellence. Itu adalah Pancasila. Pancasila adalah merupakan “kode” dari berbagai fundamen yang di dalamnya terwakili berbagai genius nusantara yang kaya akan konsepsi, paradigma, basis filosofis dan ideologi.

Genius nusantara telah terbukti pula menjadi etos bagi dinamika kehidupan dan pembangunan peradabannya masing-masing. Pancasila pun sebagai “titik temu”, selain “titik tumpu” dan “titik tuju”.

Berdasarkan pemahaman saya, begitu pun pembaca mungkin setuju, Pancasila atau nilai-nilai yang terkandung di dalammya belum sepenuhnya menjadi etos yang menggerakkan elemen bangsa untuk membangun peradaban dan mencapai kemajuan dalam mengejar ketertinggalannya dengan bangsa lain. Pancasila belum mampu terwujud dalam ujung akhir daripada demokrasi, yaitu “kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Relevan dengan perspektif Yudi Latif, ada yang menjadi faktor kesulitan mencapai kemajuan dan mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Yudi Latif (2020) menegaskan “Nilai-nilai Pancasila sulit tumbuh subur dalam lahan keadaban yang tandus, tatkala kebanyakan warga lebih terobsesi ‘cinta kekuasaan’ (the love of power) ketimbang ‘kekuatan cinta’ (the power of love).

Baca Juga  Memurnikan Makna Jihad dan Terorisme

Saya yakin dan pembaca minimal dalam hati kecilnya bersepakat, bahwa betul dalam dinamika kehidupan ini, kita lebih banyak menemukan orang-orang yang terobsesi dengan the love of power daripada the power of love. Apa yang harus dilakukan, agar the love of power tidak menjadi penghalang?

Dibutuhkan sebuah mekanisme yang bisa melakukan transformasi dari the love of power ke (minimal) the power of love. Untuk hal ini, saya menemukan jawabannya dari karya Ahmad Norma Permata, Institusional vs Rasionalisasi: Dialektika Agama dan Peradaban (2020). Norma Permata menegaskan, “Agama dalam sejarah manusia merupakan mekanisme institusional atau jalan untuk membangun kehidupan,…”.

Selain itu menurutnya, “Agama sebagai nilai, tidak pernah semata konseptual. Melainkan agama selalu merupakan upaya untuk mengubah kondisi”. Dan ini relevan dengan yang dikutip oleh Norma Permata dari Max Weber (Sosiolog Jerman), “Meskipun ajaran setiap agama penuh dengan hal-hal yang bersifat gaib (yang tidak terjangkau dengan indra), magis (tidak mengikuti logika hukum alam) dan eskatologis (terkait kehidupan setelah mati). Namun semua agama itu memiliki tujuan pokok yang sama, yaitu meneguhkan dan menata kehidupan manusia di dunia ini”.

Apakah saya sedang menarik kesimpulan atau ada pembaca terinspirasi untuk menyimpulkan lebih baik Pancasila sebagai dasar negara digantikan saja dengan berdasar atas agama tertentu. Atau dengan Islam saja, yang mayoritas dianut di Indonesia? Jika seperti itu kesimpulannya, sangat keliru.

Indonesia sebagai “kode” kebangsaan, identitas utamanya adalah keanekaragaman. Pancasila sudah tepat sebagai “titik temu” dari yang serba aneka tersebut. Lalu bagaimana relevansinya dan makna fungsionalnya dari perspektif Norma Permata dan Weber di atas dalam konteks Indonesia yang berasaskan Pancasila.

Baca Juga  Ibnu Haitham: Pencetus Kamera Obscura dan Ilmu Optik

Ketika disadari agama mempunyai peran penting, kita tidak harus menggantikan Pancasila sebagai dasar negara dengan agama tertentu. Terutama dalam konteks Indonesia yang plural. Membuka lembaran sejarah perjalanan Indonesia, kita telah menemukan mekanisme institusional (jalan untuk membangun kehidupan) yang diperankan oleh agama Islam sebagai agama mayoritas untuk mengantarkan Indonesia sampai ke pintu gerbang kemerdekaan, bahkan sampai hari ini.

Spirit tersebut, setelah mencapai kemerdekaan, Islam belum menampakkan secara merata dimensi fungsionalnya sebagai mekanisme institusional terutama dalam konteks tata kelola Indonesia sebagai negara demokrasi dan hukum. Selain sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Islam sebagai agama mayoritas, termasuk yang melahirkan Indonesia, punya tanggung jawab besar mengubah kehidupan dari “negara berkembang” menjadi “negara maju”. Memiliki kedaulatan dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Islam punya tanggung jawab besar menjaga Indonesia tanpa perlu ada niat sedikit pun untuk menjadikannya sebagai “negara Islam”. Untuk konteks Indonesia, kita harus sepakat dengan Buya Syafii, bahwa Islam harus memerankan “ilmu garam” bukan “ilmu gincu”.

Seiring dengan perkembangan zaman, pemikiran atau pandangan keagamaan Islam pun berkembang pesat. Ditunjang pula dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi membuka ruang dan kesempatan akses seluas-luasnya untuk memahami berbagai pemikiran Islam dan pandangan keagamaan.  

Enam kecenderungan pemikiran Islam kontemporer yang dipahami oleh M. Amin Abdullah dari Abdullah Saeed dan Jasser Auda, itu pun berkembang dalam konteks kehidupan Indonesia. Dan saya merasa ini saling melakukan pergulatan, dan menabur benih pengaruh kepada umat Islam Indonesia.

Seringkali, atas pergulatan pemikiran ini, terjadi benturan dalam tubuh umat Islam sendiri, atau relevan dengan riset bahwa intoleransi intra-agama lebih besar daripada inter-agama, menjadi entropi budaya. Umat Islam menghabiskan energi pada hal-hal yang justru bermuara pada kondisi kehidupan yang “berjalan di tempat”, jika tidak mau mengatakan “berjalan mundur”.

Baca Juga  Kebohongan Nabi Ibrahim dalam Al-Qur'an dan Hadist

Enam kecenderungan pemikiran Islam kontemporer menurut Abdullah Saeed tersebut adalah: (1) The Legalist-tradisionalist, corak keberagamaan Islam yang berpedoman pada hukum-hukum, cara berpikir sosial-keagamaan yang ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama pra modern; (2) The Theological Puritans, fokus pemikirannya pada dimensi etika dan doktrin; (3) The Political Islamist, pemikirannya lebih cenderung pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam.

Berikutnya yang ke- (4) The Islamist Extremists, yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan, baik Muslim ataupun non-Muslim; (5) The Secular Muslims, pemikiran yang beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter); dan (6) The Progressive Ijtihadists, yaitu para pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat modern.

Memperhatikan harapan dan kondisi di atas, tanpa kecuali corak pemikiran Islam sendiri di era kontemporer ini, diperkuat lagi kemajemukan Indonesia termasuk dalam hal agama-agama yang hidup dan berkembang di dalamnya, maka dibutuhkan moderasi Islam. Moderasi Islam akan memperkuat Pancasila sebagai “titik temu”, “titik tumpu” dan “titik tuju”.

Moderasi Islam akan sejalan dengan corak pemikiran the progressive ijtihadists, berupaya memfilter nilai positif dari the legalist-tradisionalist. Dan dalam pandangan saya, karena empat corak lainnya sulit dihindarkan dan dimiliki sesama anak bangsa akibat penetrasi ideologi dan pemikiran yang sangat massif akibat globalisasi, maka hadirnya moderasi Islam akan senantiasa mendorong dialog.

Membangun dialog menjadi urgen agar sesama anak bangsa tidak vis a vis. Moderasi Islam bisa diistilahkan lain dengan “Islam Wasathiyah”. Bagi Azyumardi Azra, Islam Wasathiyah yang merujuk pada QS. Al-Baqarah [2]:143 lebih diterima dan lazim digunakan.

Penyunting: M. Bukhari Muslim

Eks Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023