Kita telah memasuki era disrupsi. Era di mana seluruh lapisan masyarakat memiliki akses yang sama terhadap ilmu pengetahuan berkat keberadaan internet. Keberadaan internet telah membuat kita banjir akan informasi.
Sejatinya ini adalah kabar yang menggembirakan. Namun yang disayangkan ialah kemudahan akses terhadap informasi tersebut tidak ditopang oleh tingkat literasi yang memadai dari masyarakat. Akibatnya kita cenderung tidak cerdas dalam menerima dan memilah beragam informasi.
Mereka memiliki minat yang tinggi dalam berburu informasi. Namun minat yang tinggi tersebut tidak diiringi dengan semangat untuk memahami. Memahami bahwa informasi yang diakses itu benar, valid, dan otoritatif atau tidak.
Pada era ini, keberadaan para pakar dan kepakaran menjadi hal yang terancam. Kepakaran tidak lagi begitu dilirik. Bahkan dalam beberapa kasus, pemikiran mereka justru banyak mengundang kagaduhan dan melahirkan penolakan dari masyarakat. Era ini telah menumbuhkan semacam keyakinan di kalangan masyarakat bahwa semua orang sama pintarnya dan atas hal itu juga setiap orang bebas berbicara apa saja.
Lantas, bagaimana respon al-Quran terhadap femonena yang demikian? Adakah al-Quran memberikan kita peringatan kepada kita bagaimana merespon dan mengantisipasi matinya kepakaran? Jawabannya adalah ada. Al-Quran sejak 14 abad yang lalu telah mengingatkan kita dalam saduran firman-Nya surah an-Nahl ayat 43:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada ahl adz-zikr jika kamu tidak mengetahui.
Makna Ahl Adz-Zikir
Dalam pandangan mufassir klasik kenamaan, Imam Al-Qurtubi, term ‘ahl adz-zikr‘ pada ayat tersebut memiliki tiga makna. Satunya dapat kita sebut sebagai makna temporal dan dua makna lainnya adalah makna yang universal. Makna yang akan selalu relevan bagi zaman kapan saja dan tempat di mana saja.
Makna temporal dari ahl adz-zikr dari ayat tersebut, sebagaimana dinukil Al-Qurtubi dari perkataan Sufyan, adalah orang-orang ahli kitab. Sedangkan makna universalnya ada dua. Pertama, ahl adz-zikr di situ adalah ahli al-Quran. Pendapat ini diambil Al-Qurtubi dari Ibnu Abbas dan Mujahid. Adapun kedua, ahl adz-zikr di situ berarti ahli ilmu. (Tafsir Al-Qurtubi, hal. 269)
Simpul Al-Qurtubi, kedua makna itu, walaupun terlihat berbeda tapi hakikatnya saling berdekatan. Cuma agaknya, menurut penulis, kita akan lebih condong pada makna yang kedua. Yakni ahli ilmu. Sebab ilmu adalah terma yang luas. Tidak terbatas pada ilmu al-Quran dan agama itu itu sendiri. Namun juga pada ilmu-ilmu lain. Sehingga kita dapat katakan, makna dari ayat tersebut adalah bertanya sesuatu kepada ahli atau pakarnya. Tentang agama tanyalah pada ulama. Tentang ekonomi tanyalah pada ekonom. Begitu seterusnya.
Adapun menurut M. Quraish Shihab dengan merujuk pendapat para ulama, kata ahl adz-zikr pada ayat tersebut, memiliki arti para pemuka agama dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Tidak jauh berbeda dengan Al-Qurtubi. Pasalnya, jika melihat sababun nuzul-nya, ayat itu secara khusus membincangkan tentang orang-orang yang meragukan dan menolak ajaran Nabi Muhammad.
Untuk menghilangkan keraguan tersebut, Allah memerintahkan Rasul agar menyeru kepada kaum musyrik itu agar bertanya kepada para ahli kitab tentang kebenaran ajaran Nabi Muhammad. Karena mereka (ahli kitab) pasti mengetahui akan hal itu jika mereka benar-benar berpegang pada ajaran Yahudi dan Nasrani yang otentik.
Bertanyalah Pada Pakar!
Menurut ahli tafsir asal Sulawesi Selatan itu, kendati ayat ini membincangkan persoalan tertentu serta orang-orang tertentu, redaksinya bersifat umum. Makanya dengan merujuk kaidah tafsir yang berbunyi al-ibrah bi umum al-lafadz lã bi khusus as-sabab (ibrah ayat ditarik dari keumuman lafaz, bukan dari kekhususan sebab), ayat di atas juga dapat dimaknai sebagai perintah Tuhan kepada manusia untuk selalu bertanya sesuatu kepada para ahli atau pakar yang memiliki pengetahuan yang luas, mumpuni, jujur dan objektif. Hal itu tidak lain untuk menjaga kebenaran dan keakuratan informasi.
Selain memaknainya sebagai perintah untuk bertanya para pakar, Quraish juga menandaskan bahwa ayat ini menunjukan bahwa Islam sangat terbuka dalam hal perolehan ilmu pengetahuan. Buktinya adalah pada ayat itu kaum musyrik disuruh bertanya kepada ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
Pada ayat itu al-Quran tidak mengajarkan kita (umat Islam) untuk menerima ilmu pengetahuan dari orang Islam saja. Tetapi boleh dari mana saja. Selama pengetahuannya benar-benar bersifat jujur dan objektif. (Tafsir Al-Misbah, hal. 591)
Rasulullah mengingatkan, “Hikmah adalah barang yang hilang dari orang beriman. Maka di mana pun mereka mendapatkannya, hendaklah mereka memungutnya.”
Buya Hamka pun demikian. Selain memaknainya dalam kerangka makna yang sesuai dengan konteks ayat diturunkan, ia juga menjelaskan bahwa kalimat “fas’alu ahl adz-zikr” juga harus dipahami sebagai perintah untuk menanyakan sesuatu kepada orang yang berpengetahuan luas tentang apa-apa yang mereka tidak ketahui.
Dengan sedikit penegasan, Hamka menyatakan kalau mencari ilmu boleh di mana saja dan kepada siapa saja. Sebab yang kita cari adalah kebenaran. Dan kebenaran itu dapat bertengger pada siapa saja.
Mengutip perkataan Ja’far Shodik, ulama besar Syi’ah, Hamka menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ahl adz-zikr pada ayat itu juga adalah ulama dari umat Islam itu sendiri. Alasannya ialah karena sebutan lain dari al-Quran adalah adz-zikr. Dan orang yang paling mengetahui al-Quran adalah para ulama. (Tafsir Al-Azhar, hal. 3917)
Merawat Kepakaran Perspektif Al-Quran
Selayang dengan penjelasan itu, ulama Muhammadiyah asal Minangkabau tersebut menganjurkan dan memerintahkan kepada umat Islam untuk bertanya soal agama kepada para pemangku otoritas keagamaan yang absah. Bertanya kepada orang-orang yang betul-betul paham agama. Bukan kepada mereka yang terlihat seakan-akan paham agama berkat atribut-atribut keagamaan yang mereka kenakan.
Sebab bertanya kepada mereka adalah jalan pintas menuju kesesatan dan kekeliruan dalam memahami agama. Tidak hanya dalam bidang agama. Tapi juga pada bidang-bidang pengetahuan yang lain. Bertanyalah kepada mereka yang otoritatif, mumpuni dan punya pengetahuan yang luas.
Dari penjelasan para mufassir di atas, dapat kita katakan bahwa untuk merawat kepakaran agar tidak mati, al-Quran melibatkan dua elemen: para pakar dan masyarakat. Para pakar dalam hal ini harus diketahui dan dikenal kepakarannya. Makanya, meminjam usulan Gus Baha’, para ahli ilmu itu harus mendeklarasikan diri. Biar masyarakat tahu dan tidak bingung untuk bertanya kepada siapa.
Adapun tugas masyarakat dalam merawat kepakaran ialah senantiasa menahan diri dan selektif dalam mengajukan pertanyaan kepada orang. Demikianlah kiranya cara menjaga dan merawat kepakaran dalam perspektif al-Quran.
Leave a Reply