Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Menyoal Tren Hijrah: Menilik Hakikat Hijrah dalam Al-Qur’an

Al-Qur'an
Sumber: kompasiana.com

Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk sadar akan posisi dirinya. Karena Islam selalu mengajak umatnya kepada jalan kebenaran dan tidak pernah memaksa pemeluk agama lain untuk mengakui kebenarannya. Kebenaran itu relatif dan setiap pemeluk agama tentu akan menganggap benar agama yang mereka anut.

Kebenaran Islam itu lahir dari al-Qur’an dan hadis. Keduanya menjadi sumber utama ajaran Islam serta acuan bagi umatnya dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Melalui dua sumber tersebut, Islam hadir dengan ajaran yang komprehensif dan menyentuh berbagai sisi kehidupan manusia. Dari hal yang bersifat eksakta, eskatologi hingga hal yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Dan tidak luput jua sesuatu yang menghubungkan manusia dengan lingkungannya.

Ketika Islam sudah menyentuh ruang lingkup sosial, maka tidak bisa dihindari bahwa Islam akan berbicara mengenai fenomena antar sesama manusia. Serta segala hal yang berkaitan dengannya. Salah satu perbincangan menarik dari fenomena sosial saat ini adalah fenomena hijrah. Sebuah fenomena yang sudah menjadi trend di kalangan masyarakat umum. Di mana ketika seseorang yang semula hidupnya penuh dengan prilaku kemaksiatan lalu kembali kepada ketaatan, kemudian mengubah segala penampilannya dengan penampilan yang lebih Islami.

Hijrah dalam Al-Qur’an

Kemudian yang menjadi pertanyaan benarkah hijrah yang dimaksudkan oleh agama Islam adalah yang demikian? Atau itu hanya sebuah istilah yang berupaya menarik massa atau masyarakat umum untuk masuk dalam komunitas tertentu.

Dalam kamus Lisanul ‘Arab kata “hijrah” memiliki beberapa makna. Di antaranya “kembali kepada jalan yang benar” (taubat) atau “berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain”. Al-Qur’an menyebutkan kata “hijrah” sebanyak 32 kali dengan berbagai macam derivasinya. Pengertian ini menunjukkan bahwa “hijrah” adalah sebuah usaha untuk berubah ke arah yang lebih baik atau kembali kepada jalur yang benar. Di sisi lain juga bisa diartikan dengan berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Dalam surah Al-Baqarah ayat 218 Allah berfirman:

Baca Juga  Menelisik Etika Berbisnis dalam Al-Qur’an

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Mereka itulah orang yang mengharapkan rahmat Allah, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Al-Sa’di dalam kitab tafsirnya Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan. Menafsirkan kata hajaru pada ayat di atas dengan pergi meninggalkan orang-orang tercinta guna menggapai ridha Allah. Orang yang hijrah akan meninggalkan negeri, harta, keluarga dan sahabatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam rangka menolong agamanya.

Jika melihat tafsiran al-Sa’di ini secara tekstual, maka untuk zaman sekarang hijrah tidak bisa di realisasikan secara utuh. Karena zaman kini masyarakat Islam telah tersebar di seantero dunia. Lalu tekhnologi sudah canggih dan sarana transportasi juga mudah untuk diakses.

Hijrah dalam Sunnah Nabi

Kondisi ini berbanding terbalik dengan zaman Rasulullah Saw yang kala itu orang-orang masih menggunakan onta dan kuda sebagai sarana transportasi. Hijrah yang dilakukan di masa itu semata-mata bukan hanya untuk berpindah tempat. Tetapi ada tujuan suci lagi mulia yaitu mempertahankan aqidah dan menjaga diri dari serangan kaum musyrikin. Sehingga banyak hal yang mereka korbankan.

Maka tidak heran jika Allah memberikan ganjaran besar bagi mereka yang berhijrah. Oleh karena itu hijrah yang demikian tidak lagi berlaku. Karena Nabi Muhammad Saw dalam beberapa hadis nya menjelaskan bahwa hijrah tidak lagi berlaku setelah dirinya wafat, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab:

“Telah mengabarkan kepada kami Amru bin Ali dari Abdur Rahman, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Yahya bin Hani dari Nuaim bin Dajajah dia berkata: aku mendengar Umar bin Khattab R.a berkata: Tidak ada hijrah setelah wafatnya Rasulullah Saw.” (H.R. Al-Nasa’i)

Baca Juga  Tanasub dalam Penafsiran Ibn 'Arafah Al-Tunisi

Maka dari hadis ini bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa hijrah tidak berlaku lagi setelah Rasulullah Saw wafat, meskipun di dalam beberapa hadis masih menjelaskan pandangan yang berbeda terkait hijrah ini.

Tren Hijrah

Tetapi satu hal yang patut disoroti hari ini adalah maraknya fenomena hijrah yang terjadi di kalangan masyarakat umum. Masyarakat yang menganggap diri mereka hijrah itu seperti orang-orang yang mengubah penampilan mereka menjadi kearab-araban lalu sapaan kamu, saya dan sebagainya diubah ke antum, ana.

Jika mereka mengatakan hijrah seperti itu maka jujur saya katakan bahwa mereka salah kaprah dalam memahami makna hijrah. Hijrah dalam al-Qur’an dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya baik secara tekstual ataupun kontekstual sama-sama menuju kepada arah yang satu. Yaitu perubahan ke arah yang lebih baik atau kembali menjadi manusia yang taat kepada aturan Tuhan.

Ketika seseorang yang dulunya sering berbuat dosa dan kemudian secara perlahan dia mulai mengurangi perbuatan dosanya maka bisa dikatakan orang tersebut telah hijrah. Hijrah dari perbuatan dosa menuju ketaatan. Itulah yang dikehendaki al-Qur’an. Sebagai ilustrasi adalah orang-orang yang dulunya suka mabuk-mabukkan, main judi dan jarang shalat kemudian dia berupaya mengubah kebiasaan itu menuju arah yang lebih baik karena beberapa faktor sehingga dia melakukan shalat berjamaah di masjid dan meninggalkan minuman keras.

Hijrah tidak hanya dalam satu kali kesempatan saya kira. Karena manusia selalu berbuat dosa dan dosa ini pula yang menjadi penyebab orang-orang itu hijrah serta mengakui segala dosa-dosanya dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Adapun tren hijrah yang digaungkan oleh orang-orang yang menganggap dirinya hijrah, itu sebagian besar hanya terkait dengan simbol seperti penampilan, sapaan, pergaulan dan lainnya.

Baca Juga  Ahlan wa Sahlan: Antara Filosofi dan Basa-Basi

Hal ini tentunya bertolak belakang dengan ajaran Islam yang berlaku bagi seluruh kalangan tidak hanya golongan-golongan tertentu. Oleh karena itu saya kira tidak pantas sekiranya istilah “hijrah” yang mulia ini dipolitisasi oleh beberapa kelompok sehingga terjadi kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Karena setiap orang berhak untuk hijrah dan setiap orang punya kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar atau berjuang untuk menjadi lebih baik lagi dalam kehidupan beragama mereka.

Editor: M. Bukhari Muslim