Pertanyaan teologis yang menempati posisi sentral dalam perjumpaan Muslim dengan Kristen ialah “apakah kedua agama ini menyembah Tuhan yang sama?” Penulis tidak akan menguraikan bagaimana kompleksitas konten ketuhanan dari formulasi teologis kedua agama ini (tauhid dan trinitas). Karena hal tersebut telah dielaborasi dengan baik dalam berbagai kesempatan oleh Mun’im Sirry (2018, 2022).
Poin penting yang perlu kembali ditekankan dari argumen-argumen Sirry adalah bahwa menyatakan Islam dan Kristen menyembah Tuhan yang sama tidaklah berarti penyamaan terhadap keduanya. Dalam hal ini, Islam dan Kristen jelas sangat berbeda dalam mengekspresikan keesaan Tuhan. Jika dalam Kristen Tuhan menjelmakan firman-Nya melalui diri Yesus (inkarnasi), maka dalam Islam Tuhan mengejewantahkan kehendak-Nya dalam teks Al-Qur’an (inlibrasi). Sekalipun berbeda, bukan berarti keduanya bertentangan, sehingga tidak mesti dipertentangkan. Yang diperlukan adalah penekanan pada persamaan sekaligus penghargaan terhadap perbedaan yang nyata di antara keduanya.
Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengeksplorasi pergumulan hermeneutis para reformis Muslim terhadap QS. al-‘Ankabūt [29]:46, terutama pada frasa wa ilāhunā wa ilāhukum wāḥid. Hal demikian dilatari oleh minimnya perhatian para peneliti dan aktivis lintas iman terkait potensi makna yang terkandung dalam ayat ini. Padahal, ayat ini secara eksplisit mengakui keabsahan ragam keyakinan dan hukum keagamaan (El Fadl, 2014). Selain berupaya untuk menunjukkan polivalensi makna dari ayat tersebut, penulis juga akan berargumen bahwa interpretasi Muslim memiliki potensi untuk memberikan kontribusi penting bagi pengayaan materi wacana ketuhanan dalam dialog antar agama. Sehingga, kesepahaman antara Islam dan Kristen semakin dapat ditingkatkan.
Tafsir Klasik: Pengembangan Gagasan Eksklusivisme Islam
Pertama-tama, kita akan mengamati bagaimana ulama klasik menafsirkan ayat ini. al-Ṭabarī dalam Jāmi’ al-Bayān (2001, pp. 421–422) memahami wa ilāhunā wa ilāhukum wāḥid sebagai “objek sembahan kita (umat Muslim) dengan objek sembahan kalian (ahl al-kitāb) itu satu.” Dalam konteks ini, umat Muslim dilarang untuk membenarkan maupun menyalahkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh ahl al-kitāb terkait kitab suci mereka. Sebab, boleh jadi pernyataan mereka mengandung kebenaran atau justru hanya berisi kebohongan belaka.
Mengingat bahwa umat Muslim belum tentu megetahui secara mendalam perkara dan kondisi ahl al-kitab sekaitan dengan Taurat dan Injil, sikap menarik diri semacam ini bermanfaat bagi umat Muslim. Karena, seperti yang dikomentari oleh al-Zamakhsyari (1998, p. 553) dengan merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah. Jika yang dikatakan oleh ahl al-kitāb itu batil, maka umat Muslim tidak membenarkannya, dan jika yang dikatakan ahl al-kitāb itu benar, maka umat Muslim tidak menyalahkannya.
Memperluas signifikansi makna ayat, al-Baiḍāwī (n.d., p. 196) dalam Anwār al-Tanzīl secara polemis menyatakan bahwa frasa wa ilāhunā merupakan eksposisi kritis atas praktik orang-orang Yahudi dan Kristen yang dianggap berpaling dari kemurnian ajaran Tuhan. Karena, mereka lebih mengutamakan tafsir-tafsir eksklusif dari para rabi dan pendeta mereka ketimbang ajaran Tuhan. Melangkah lebih jauh dari al-Baiḍāwī, Ibn Katsīr (2000, p. 518), dengan mengutip hadis dari Ahmad ibn Hanbal, menulis bahwa apa yang dibicarakan oleh ahl al-kitāb hanya dipenuhi oleh kebohongan. Disebabkan interpretasi mereka atas agama yang telah membawa penyimpangan, perubahan, bahkan penggantian ajaran Tuhan yang sejati.
Ulasan di atas menunjukkan bahwa sebagian besar tafsir klasik tidak begitu memberikan perhatian pada frasa wa ilāhunā. Sekalipun terdapat materi tafsir yang bernada inklusif, seperti dalam al-Ṭabarī, pemaknaan mufasir pada periode ini didominasi oleh tendensi polemis terhadap agama-agama Kristen dan Yahudi yang ingin menunjukkan superioritas Islam.
***
Menurut penulis, hal ini setidaknya dilatari oleh tiga pengandaian implisit: kedatangan Islam mengganti dan membatalkan kebenaran agama-agama sebelumnya; pengikut Yahudi dan Kristen telah mendistorsi kemurnian ajaran-ajaran monoteis yang dibawakan oleh nabi mereka; dan kewajiban bagi ahl al-kitab untuk mengikuti ajaran Al-Qur’an agar dapat meraih keselamatan.
Dalam rangka merealisasikan pengandaian-pengandaian tersebut, sebagian besar ulama klasik lantas mengembangkan strategi hermeneutis, metodologis, dan terminologis. Seperti yang diamati dengan cermat oleh Abdulaziz Sachedina (1994), tujuan dari pengembangan skema hermeneutis, seperti naskh dan asbāb nuzūl, tidak lain adalah untuk mengondisikan pesan universal Al-Qur’an agar menyempit menjadi paham keagamaan yang eksklusif.
Bergulat dengan Konteks: Tafsir Modern dan Pengembangan Wacana Pluralisme Agama
Memasuki era modern, skema interpretatif dalam memahami ayat ini mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan horizon intelektual Islam yang dituntut untuk menjadikan tafsir Al-Qur’an sebagai responsif dan fungsional terhadap realitas aktual di mana umat Muslim hidup (Nayfar, 2000). Oleh karenanya, seperti yang dikemukakan oleh Sirry (2016), yang menjadikan tafsir modern itu “modern” adalah ketika tafsir Al-Qur’an merefleksikan pergumulan dan keterlibatan langsung seorang mufasir dengan konteks konkret di mana ia hidup.
Dalam karya monumentalnya, Tafsir al-Azhar (2001, p. 5446), HAMKA menafsirkan penghujung QS. al-‘Ankabūt [29]:46 sebagai seruan terbuka bagi ahl al-kitāb yang mau berunding secara konstruktif dengan umat Islam untuk menemukan kesamaan mendasar. Menurut HAMKA, baik Islam maupun Kristen sejatinya merupakan agama yang benar. Sehingga, kedua agama ini menawarkan jalan keselamatan yang setara bagi para pemeluknya. Sebab, keduanya sama-sama bersumber dari Tuhan. Dari sini dapat ditegaskan bahwa tidak ada perbedaan referensi atau objek sembahan di antara umat Muslim dengan Kristen—suatu proposisi yang bagi HAMKA mesti menjadi pendirian umat Islam sekaligus menjadi titik temu Islam dan Kristen.
Seorang reformis Muslim asal Tunis, Tahir ibn ‘Asyur (1984, pp. 6–8), mengajukan pemaknaan yang cukup menarik terkait ayat ini. Di awal tafsirnya, Ibn ‘Asyur menegaskan bahwa pengikut Yahudi dan Kristen bukanlah kelompok musyrik, melainkan orang-orang yang beriman kepada keesaan Allah. Pada frasa wa ilāhunā, Ibn ‘Asyur memahami kata ini sebagai pengingat (tażkīr) bagi orang-orang beriman (baik dari pengikut Nabi Muhammad) dan Yahudi (serta Kristen) bahwa Tuhan mereka adalah satu dan sama. Pengakuan bahwa Islam dan ahl al-kitāb sama-sama merupakan agama monteisme yang berbeda dalam memahami misteri keesaan Tuhan juga dapat ditemukan dalam Tafsir al-Misbah (2000, p. 514), karya Quraish Shihab.
***
Ibn ‘Asyur lalu menutup komentarnya dengan mengidentifikasi kata Muslim pada akhir ayat dalam pengertiannya yang genuine. Yakni, suatu sikap ketundukan dan kepasrahan total kepada keesaan Tuhan, bukan sebagai identitas keagamaan-konfesional yang hanya merujuk kepada pengikut Nabi Muhammad. Satu hal yang perlu penulis tegaskan adalah bahwa meski Ibn ‘Asyur mengemukakan dimensi kritis-korektif Al-Qur’an terhadap ahl al-kitāb, hal demikian sebenarnya ditujukan kepada (sebagian) ahl al-kitāb yang berpandangan eksklusif. Mereka inilah yang mengingkari bahwa Tuhan juga menurunkan wahyu dan membentangkan jalan keselamatan di luar dari agama mereka, yaitu dalam Islam.
Sejalan dengan itu, Naser Makarem Shirazi dalam al-Amtsal-nya (2013, p. 415) menulis bahwa ayat ini merupakan seruan persatuan dan keimanan kepada seluruh wahyu yang diturunkan Tuhan. Tidak hanya itu, ayat ini juga mendorong penghapusan fanatisme kelompok (‘aṣabiyyāt), baik itu agama maupun mazhab. Karena, umat beriman yang sejati adalah mereka yang sepenuhnya mengesakan Tuhan dan berserah diri kepada-Nya.
Tatkala menafsirkan ayat ini, Mohsen Qera’ati (2014, p. 132) menyatakan syarat utama sebelum melangsungkan dialog dan menjelaskan ragam gagasan teologis, umat Islam dan ahl al-kitāb mesti mencari, mengidentifikasi, dan menjelaskan titik kesamaan (nuqāṭ al-ittifāq) di antara keduanya. Qera’ati, seperti Ibn ‘Asyur, juga memaknai term Islam secara universal sebagai ketundukan mutlak kepada Tuhan dalam bentuk perilaku konkret, bukan sekadar keyakinan semata.
Senada dengan Qera’ati, penulis al-Mīzān, M. H. Tabataba’i (1997, p. 142) menyatakan bahwa penghujung QS. al-‘Ankabūt [29]:46 menjelaskan tata cara berinteraksi dengan ahl al-kitāb dan bagaimana berdebat bersama mereka berlandaskan suatu konsensus. Yaitu komitmen untuk terus mendekatkan diri kepada keakraban dan persahabatan dan saling bahu-membahu untuk mengeksplisitkan kebenaran (Tuhan).
***
Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa properti makna yang melekat pada QS. al-‘Ankabūt [29]:46 sangatlah beragam. Memang, makna teks Al-Qur’an, sebagaimana yang diterangkan oleh Khaled Abou El Fadl (2001, 2005), sangat ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara teks, pengarang, dengan pembaca berikut komitmen moral dan prisma hermeneutika yang ia pilih. Bahkan, di era modern, pemaknaan eksklusif dan abrogasionis yang mempreservasi warisan tafsir klasik masih dapat ditemukan, seperti dalam Tafsīr al-Marāghī (al-Maraghi, 1946, pp. 4–6), Maḥāsin al-Ta’wīl (al-Qasimi, 1957, pp. 4754–4756), dan Tafsīr al-Kāsyif (Mughniyyah, n.d., pp. 117–118).
Menyelaraskan diri dengan konteks modern, para mufasir yang telah kita diskusikan menunjukkan bagaimana mereka bergumul secara serius dengan persoalan aktual terkait keragaman agama dan menawarkan solusi interpretatif bagi pluralisme yang telah menjadi norma modern. Mereka menekankan bahwa dimensi keesaan Tuhan adalah titik kesamaan di balik pluralitas dan diversitas agama-agama. Dalam hal ini, setiap agama menawarkan jalan keselamatan yang setara karena sama-sama bersumber dari Tuhan.
Terlepas dari perbedaan itu, mereka menekankan bahwa yang terpenting bagi setiap penganut agama adalah ketundukan dan kepasrahan yang tulus (muslim) dalam pengabdian terhadap Tuhan yang esa. Hal ini tentu saja dapat diperoleh jika mereka menumbuhkan sifat rendah hati dan bersungguh-sungguh untuk berdialog dengan penganut agama yang berbeda guna memeroleh kesepahaman lintas iman.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply