Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Menyelami Paradigma Sufistik Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

Sumber: http://www.sufinews.com

Sebagai kitab suci, Al-Qur’an tidaklah diwahyukan tanpa maksud dan makna, layaknya kertas kosong tanpa pesan menyertainya. Tetapi Al-Qur’an diturunkan sebagai sumber-pedoman bagi kehidupan umat manusia. Kandungan makna petunjuknya begitu luas dan mendalam, sehingga memunculkan berbagai macam corak penafsiran. Seperti corak penafsiran falsafi, teologi, fiqh, linguistik maupun sufistik. Termasuk akan diuraikan sufistik Hamka.

Keragaman corak tersebut, bisa karena kecenderungan, interest dan motivasi penafsir. Ditambah perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai. Selain itu keragaman masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi. Sehingga perbedaan ini menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir.

Dua Pendekatan Tafsir

Dalam catatan sejarah, terdapat dua pendekatan umum yang digunakan oleh para mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pertama, pendekatan eksoterik (zahir) merupakan salah satu corak tafsir yang cenderung memahami sisi teks-teks Al-Qur’an secara literer-tekstual. Kedua, pendekatan esoterik (batin). Yaitu tafsir yang lebih menekankan pada pemaknaan batin yang secara implisit terkandung di balik teks-teks lahiriah Al-Qur’an.

Dua pendekatan di atas, yang paling masyur di telinga kita adalah pendekatan eksoterik (zahir). Beberapa karya para ulama seperti, Ibn Jarir at-Tabari (w. 310) dengan judul al-Tafsir Jami al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an al-Azim, kemudian Ma’alim al-Tanzil ditulis oleh al-Baghawi (w.516 H). Selanjutnya karya Ibn Katsir (w. 774 H) dengan judul Tafsir Al-Qur’an al-Azim, Karya Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) Mafatih al-Ghaib, al-Baidawi menulis tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (w. 691 H), al-Khazin (w. 741 H), Lubab al-Ta’wil fi Ma’na al-Tanzil, terakhir al-Suyuti (w. 911 H) al-Durr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma’thur dan lain sebagainya.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 7 (1): Azab Bagi Orang Kafir

Lain dengan pendekatan esoterik yang rasanya masih terasa asing. Walau Al-Dhahabi menulis metodologi tafsir sufi dalam kitabnya berjudul al-Tafsir Wa al-Mufassirun, hanya pada sub bagian kecil yang tidak lebih dari dua puluh halaman.

Kelangkaan ini, menurut Habibi al-Amin, selain minimnya kajian pendekatan esoterik dalam literatur kajian Al-Qur’an. Juga para tokoh pencetus tafsir sufi tidak memberikan pembatasan yang detail tentang kaidah penafsiran sufi. Melainkan hanya pembatasan yang bersifat menghakimi tafsir dalam kategori terpuji/diterima, buruk/ditolak.

Tokoh Muhammadiyah Berpaham Sufi

Jika dilacak dari sisi epistemologis, penafsiran sufi lahir dari semangat sufisme. Buya Hamka adalah segelintir orang yang berusaha menyelami Al-Qur’an dengan menggunakan kaca mata tasawuf.

Menurut Dawam Rahardjo, Buya Hamka telah meletakan tasawuf secara proposional, dengan meneguhkan kembali tujuan inti dari ajaran tasawuf. Tasawuf yang berorientasi pada penyucian jiwa, melembutkan rasa, memperbaiki hati, serta menjunjung tinggi nilai ketuhanan untuk membentuk akhlak yang baik. Sedangkan Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Hamka mampu memposisikan kajian ilmiah yang sempat hilang dari perhatian umat Islam.

Karel Steenberink, menilai sosok Hamka sebagai tokoh sufi modern. Lalu Cak Nur berpendapat bahwa Hamka termasuk tokoh sufisme filosofis. Sufisme popular yang kemudian ia menyepakati sufisme filosofis lalu mengkritik sufisme popular yang kebanyakan orang mengamalnya di berbagai macam aliran tarekat.

Menyelami Tafsir Sufistik Hamka

Pengakuan Karel atas kesufian Hamka tidak mucul begitu saja. Ketokohan dan kepakaran Hamka dalam dunia tasawuf tidak hanya berkutat dalam dunia teoritis. Tetapi telah mewujud dalam diri pribadi Hamka sendiri. Ketika Hamka menafsirkan Al-Qur’an surat As-Syams 9-10:

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.

Menurut Hamka, mensucikan diri dalam ayat di atas adalah upaya keluar dari keterpurukan hidup menuju penyucian jiwa dari masalah keduniawian. Dengan harapan mencapai keridhoan Allah SWT., semangat penyucian diri tidak harus senantiasa duduk menyendiri untuk menghindar dari dunia sosial agar mendapatkan pahala. Melalui penafsiran ini tampak corak sufistik Hamka.

Baca Juga  Tafsir al-Jalalayn: Populer di Pesantren

Apalagi sampai meninggalkan syariat menikah, memiliki keturunan, hingga bersosial. Penyucian diri seperti ini bagi Hamka termasuk egois, mementingkan dirinya sendiri. Masih menurut Hamka, kotoran terbesar yang ada dalam diri manusia adalah ketika ia menduakan Allah dengan sesembahan lainya. Apalagi menolak kebenaran yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Di antara sifat yang dapat mengotori jiwa manusia adalah hasad, benci, sombong, angkuh, pendendam, membenci, dan lain sebagainya.

Makna Ikhas dalam Sufistik Hamka

Ikhlas yang dimaksudkan oleh Hamka adalah orang yang senantiasa membersihkan dirinya dari syahwat pujian, sanjungan, dan riya. Serta menyucikan dirinya dari syahwat mengejar dunia semata, sehingga membuatnya lalai terhadap kehidupan akhirat yang kekal. Maka, dalam hal ini perlu ada keseimbangan agar tidak terjebak pada satu kepentingan.

Singkat kata, menempatkan dunia pada proposional dan mengejar akhirat tanpa meninggalkan dunia. Ikhlas adalah mereka yang melakukan sesuatu tanpa ada rasa pengharapan pada selain didorong oleh rasa ingin dekat dengan Allah. Ikhlas untuk menjalankan syariat atau menyembah Allah dengan menjauhkan diri dari kesesatan. Maka proses menyucikan niat, membersihkan niat, dari kesyirikan sehingga tertuju hanya kepada Allah semata baik dari segi keyakinan, ucapan, hingga perbuatan.

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho

Fahrudin
Mahasiswa UIN Mataran Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) pada Tahun 2018. Melanjutkan Magister di kampus UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam konsentrasi Studi Al-Qur’an Hadist.