Sebagaimana di tulisan sebelumnya, Al-Qur’an merupakan kitab dialog. Selain itu, ia juga memuat beragam dialog yang menarik untuk dikaji. Dialog di dalam kitab Al-Qur’an ini bukan sekedar percakapan belaka, melainkan terdapat pesan-pesan tersirat di dalamnya.
Pada artikel ini, penulis akan mencoba menggali pesan dan model dialog di dalam surat Al-Fatihah. Mengingat, surat ini adalah surat pembuka Al-Qur’an dan selalu dibaca di setiap salat. Sehingga, penting untuk memperhatikan dan menghayati surat ini.
Berikut beberapa pesan yang coba diambil dan dihayati dalam surat Al-Fatihah. Pesan yang diharapkan dapat membuat kita semakin tertarik, sadar dan cenderung kepada surat-surat dalam Al-Qur’an sebagai kitab dialog.
Redaksi Surat Al-Fatihah
Satu dari keistimewaan surat Al-Fatihah adalah gaya dan susunan kalimatnya. Hal ini yang membedakannya dengan surat-surat lainnya. Jika surat lain memuat firman Allah, maka surat ini mewakili perkataan hamba Allah.
Hal ini bisa dilihat dari redaksi ayat-ayat surat ini. Apabila kita perhatikan, maka keseluruhan ayatnya berupa pujian, pengakuan dan permohonan hamba kepada Allah. Empat ayat pertama berisi pujian kepada Allah. Bahwa Allah pengasih dan penyayang, seta pemilik hari kebangkitan.
Adapun ayat kelima berisi pengakuan dan kesaksian hamba. Kesaksian bahwa hanya Allah yang pantas disembah dan dimintai pertolongan. Sementara ayat selanjutnya sampai akhir, berisi permohonan hamba. Yaitu permohonan untuk ditunjuki jalan yang luas dan lurus.
Dengan demikian, redaksi surat ini seluruhnya dari hamba kepada Tuhannya. Sehingga, apabila kita menghayati dengan baik, maka saat membacanya kita harus penuh tunduk dan khusyuk. Seolah kita sedang berhadapan langsung dengan Tuhan dan terbang bersama para malaikat.
Dari “Dia” Menuju “Engkau”
Satu hal lagi yang menarik dalam surat ini adalah perputaran kata ganti (dhamir). Yaitu dari kata ganti orang ketiga (ghaib) menuju kata ganti orang kedua (khitab). Coba kita perhatikan perubahan antara ayat keempat dan kelima. Tentu, kita akan mendapati perubahan kata ganti yang jelas.
Ayat pertama sampai keempat memuji Allah sebagai orang ketiga. Hal ini bisa dilihat dari penyebutan kata Allah. Namun, menariknya, di ayat kelima hingga akhir kata gantinya berubah menjadi orang kedua. Hal ini dapat dilihat dari huruf kaf (ك), sebagai orang kedua; Engkau.
Dalam ilmu Bayan, perputaran kata ganti ini disebut dengan al-iltifāt. Perputaran redaksi semacam ini merupakan metode yang baik untuk menarik perhatian pendengar. Selain itu, ia juga bertujuan untuk membuat pendengar menjadi fokus untuk menyimak sebuah perkataan.
Sementara dalam ilmu Filsafat dan Tasawuf, perputaran kata ganti ini memiliki makna yang lebih dalam. Yaitu setelah memuji dan mengakui Allah sebagai Yang Esa; bentuk Tauhid. Kemudian seorang hamba menjadi hadir di hadapan Allah sebagai yang lemah dan fakir. Lalu menyampaikan permohonan.
Dengan kata lain, dari melihat Tuhan sebagai yang gaib, berubah menjadi melihat Tuhan yang hadir. Tuhan tidak lagi sebagai orang ketiga (dia), melainkan hadir sebagai orang kedua (Engkau). Artinya, Tuhan selalu hadir, melihat dan mengawasi kita secara berhadap-hadapan.
Antara Hamba dan Tuhannya
Dari penjelasan di atas, surat Al-Fatihah menggambarkan dialog yang “mesra” antara hamba dan Tuhannya. “Kemesraan” ini adalah cara Allah mengajarkan hamba-Nya bagaimana adab berkomunikasi kepada-Nya. Bahwa permohonan harus diawali dengan pujian. Lalu, hak untuk ditolong dan diberi petunjuk harus didahului dengan penghambaan yang tulus kepada-Nya.
Yang menarik, dialog antara hamba dan Tuhannya diletakkan di awal kitab Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan pentingnya dialog dan komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Karena seorang hamba harus selalu “terkoneksi” dan “online” dengan Tuhannya. Jika tidak, maka ia tidak ada artinya dan tidak layak disebut sebagai hamba.
Hal menarik lainnya, surat terakhir dari susunan Al-Qur’an juga berkaitan dengan manusia dan Tuhannya; surat An-Nas. Di dalamnya terdapat relasi antara hamba dan Tuhannya. Yaitu Tuhan manusia dalam bentuk rab, mālik dan ilāh. Fakta ini bisa direnungkan lebih jauh selanjutnya.
Alhasil, surat Al-Fatihah mengandung unsur dialog yang dipenuhi pesan tersirat. Beragam pesan dapat dipetik dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, Al-Qur’an selalu menyapa dan menegur kita untuk terus menyempurna; selaras dengan nilai Al-Qur’an.
Sampai jumpa kembali di seri selanjutnya dari artikel ini. Semoga kita bisa terus mengkaji pesan dan nilai tersirat melalui rangkaian dialog dalam Al-Qur’an.
Wallahua’lam Bishawab.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.