Kemajuan teknologi digital telah membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan hingga hiburan. Namun, di balik manfaat tersebut, ruang digital juga menghadirkan ancaman serius bagi kelompok rentan seperti anak-anak. Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah maraknya eksploitasi digital dalam bentuk pelecehan daring, manipulasi sosial, hingga penyalahgunaan data pribadi.[1] Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lonjakan kasus kejahatan siber terhadap anak dalam lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa kemajuan teknologi belum sejalan dengan kesiapan etis dan perlindungan hukum yang memadai.[2] Dalam perspektif Islam, perlindungan terhadap anak merupakan amanah moral dan spiritual, menjadikannya isu yang perlu dijawab tidak hanya dengan regulasi, tetapi juga dengan nilai-nilai Qur’ani.
Ketimpangan Etika dan Teknologi
Anak-anak kini menjadi partisipan aktif dalam dunia digital, mulai dari media sosial, gim daring, hingga konten video. Data APJII 2023 menunjukkan bahwa 62% anak dan remaja Indonesia mengakses internet lewat perangkat pribadi. Sayangnya, tanpa pendampingan orang tua, anak-anak rentan terpapar predator siber, konten kekerasan, hingga manipulasi informasi yang berbahaya secara psikologis dan moral.
Lebih dari itu, mereka juga menjadi target pasar algoritma digital. Fenomena sharenting, yaitu membagikan kehidupan anak secara berlebihan di media sosial, menjadi bentuk eksploitasi baru yang kerap kali terjadi. Konten anak untuk keperluan komersial, bahkan oleh orang tua sendiri, tanpa memperhatikan hak privasi dan dampaknya terhadap kesehatan mental anak di masa depan.
Dalam Islam, hal ini bertentangan dengan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, terutama ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa) dan ḥifẓ al-‘irḍ (menjaga kehormatan). Eksploitasi digital terhadap anak adalah pelanggaran etika yang tidak hanya merusak individu, tapi juga menggerus nilai moral masyarakat. Maka, perlindungan terhadap anak di ruang digital menjadi bagian dari amanah agama yang tak boleh diabaikan.
Al-Qur’an dan Spirit Perlindungan Anak
Surat At-Tahrim ayat 6 memberikan perintah yang tegas: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” Ayat ini bukan hanya peringatan spiritual, melainkan juga instruksi sosial dan moral untuk mengawal keselamatan generasi.
Menurut tafsir al-Qurṭubī, frasa quu anfusakum menunjukkan bahwa orang tua wajib membimbing dan mendidik anak-anak dengan nilai Islam, termasuk menanamkan etika penggunaan teknologi.[3] Dalam konteks digital, pengawasan ini sangat krusial agar anak tidak terjerumus ke konten yang merusak.
Al-Qur’an juga memberikan prinsip-prinsip adab sosial yang melindungi anak. Dalam QS. An-Nur ayat 58, anak-anak diperintahkan meminta izin pada waktu-waktu privasi. Tafsir Ibnu Kaṯsīr menekankan bahwa aturan ini mengajarkan pentingnya menjaga batas, adab, dan sopan santun dalam ruang pribadi.[4]
Prinsip ini sangat relevan di zaman sekarang, ketika banyak orang tua justru secara tidak sadar mengekspos anaknya di media sosial tanpa mempertimbangkan hak privasi mereka. Aktivitas seperti sharenting (sharing parenting moments) bisa menjadi bentuk eksploitasi jika tidak etis dan tanpa persetujuan anak. Selain itu, ini menjadi dasar bagi pendidikan etika digital sejak dini, agar anak memahami batasan privasi dalam ruang daring maupun nyata.
Menjauh dari Perilaku Zina
Salah satu ayat penting dalam membentuk kesadaran digital adalah QS. Al-Isra: 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina…”
Tafsir Al-Miṣbāḥ menjelaskan bahwa larangan “mendekati” zina mengandung makna komprehensif, tidak hanya menjauhi perbuatan zina secara langsung, tetapi juga segala bentuk perantara, niat, dan sarana yang mengarah kepadanya.[5] Maka, larangan ini mencakup segala bentuk pendekatan, termasuk paparan terhadap konten seksual di internet yang kini bisa diakses siapa saja tanpa batas.
Konten seperti itu sangat mudah muncul di platform video, gim daring, hingga media sosial. Anak-anak yang belum matang secara psikis menjadi sasaran empuk konten berbahaya ini. Jika tidak dibentengi dengan kontrol moral dan pengawasan orang tua, efeknya bisa jangka panjang.
Maka dalam konteks perlindungan digital, larangan Al-Qur’an untuk tidak mendekati zina harus diterjemahkan sebagai upaya sistematis untuk membatasi akses anak terhadap situs dewasa, melatih literasi seksual berbasis agama, dan mengajarkan adab menjaga pandangan sejak dini.
Strategi Parenting Digital Islami dalam Menjaga Anak
Upaya menghadirkan perlindungan anak dalam konteks digital tidak bisa lepas dari peran keluarga. Najwa Aulia Syihab dalam Islamic Parenting melalui Literasi Digital menyebutkan empat pilar: responding, monitoring, mentoring, dan modelling.[6]
Pilar responding mendorong orang tua untuk merespons kebutuhan digital anak dengan empati, bukan dengan larangan semata. Ini sebagaimana contoh dari oleh Luqman dalam QS. Luqman ayat 13–19, yang mendidik anaknya dengan kelembutan dan nasihat yang bernas.[7]
Monitoring bukan berarti represif, melainkan pendampingan secara aktif. Orang tua sebaiknya memeriksa aplikasi apa yang diunduh anak, siapa saja yang menjadi teman daringnya, dan situs apa yang dikunjungi, semua dilakukan dengan pendekatan dialog dan kepercayaan.
Mentoring atau pembimbingan adalah proses yang memerlukan kesabaran dan konsistensi, yang membiasakan anak dengan nilai-nilai seperti tanggung jawab, batasan waktu, dan adab bersosial di internet. Sedangkan modelling menuntut orang tua menjadi teladan etis dalam penggunaan digital.
Keempat pilar ini bukan sekadar strategi pengasuhan, melainkan manifestasi nilai-nilai Qur’ani dalam konteks modern. Jika orang tua sudah mampu menjalankan prinsip-prinsip ini, maka anak akan tumbuh dengan filter moral yang kuat meskipun hidup di tengah derasnya arus digital.
Refleksi Akhir: Membangun Ruang Digital yang Qur’ani
Eksploitasi digital terhadap anak bukan lagi potensi bahaya, melainkan realitas yang harus dihadapi secara serius. Dalam menghadapi tantangan ini, umat Islam tidak hanya membutuhkan perlindungan hukum dan teknologi, tetapi juga pembentukan kesadaran moral berbasis nilai-nilai al-Qur’an.
Kitab suci al-Qur’an telah menyediakan kerangka etis dan spiritual yang kuat untuk membina generasi yang cakap digital dan kokoh secara ruhani. Tugas kita bersama adalah menghidupkan kembali semangat ayat-ayat tersebut dalam praktik keluarga, pendidikan, dan masyarakat, agar ruang digital menjadi tempat yang aman, manusiawi, dan penuh hikmah bagi anak-anak kita.
“Anak-anak kita adalah amanah, dan dunia digital adalah ladang ujian. Bimbinglah mereka dengan cahaya Al-Qur’an agar mereka tumbuh kuat, cerdas, dan bermartabat.”
[1]Fihra Rizqi, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Ekspoitasi di Ruang Digital”, Jurnal Kajian Kontemporer Hukum dan Masyarakat, Juli 2023, 6. https://journal.forikami.com/index.php/dassollen/article/view/302/180
[2]Humas KPAI, “Laporan Tahunan KPAI, Jalan Terjal Perlindungan Anak: Ancaman Serius Generasi Emas Indonesia”, dalam https://www.kpai.go.id/publikasi/laporan-tahunan-kpai-jalan-terjal-perlindungan-anak-ancaman-serius-generasi-emas-indonesia, minggu 1 Juni 2025.
[3]Al-Qurtubi, Al-Jami’ li-Ahkam al-Qur`an, Juz 18, 194.
[4]Ibn Kaṯsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 18, 123
[5]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Miṣbāḥ, Jilid 6, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 511.
[6]Annisa Oktarina & Haris Hakam, Pendidikan Anak di Era Digital Dalam Kajian Al-Qur`an (Studi Ilmiah Tafsir Al-Munir), Nida Al-Qur`an, Vol. 21, No.1, 2023, 59. https://ejurnal.iiq.ac.id/index.php/nidaquran/article/view/1449
[7]Hafizhah Nuri Rahma Mufidah, Najwa Aulia Syihab, Rizqi Maulida Nafisah, Rio Kurniawan, “Islamic Parenting Melalui Literasi Digital Dalam Membangun Karakter Anak”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 03, No. 02, 2024, 255-256. https://journal.uniga.ac.id/index.php/JPAI/article/view/4148/2029
Editor: Trisna Yudistira
























Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.