Kita tentu sering mendengar kalimat bahwa sebagai umat Islam, kita wajib melakukan amar makruf nahi munkar. Kalimat tersebut diambil dari Al-Qur’an, salah satunya terdapat dalam Surah Ali Imran Ayat 104. Selain itu, juga tersebar dalam 7 ayat lain di berbagai surat. Konsep amar makruf nahi munkar ini adalah salah satu petunjuk teknis dalam mengemban amanah umat yang moderat. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Hendaklah di antara kamu (atau setiap orang di antara kamu) menjadi bagian dari sekelompok umat yang mengajak pada kebajikan, menyuruh pada yang makruf dan melarang yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Para ulama sepakat bahwa surat Ali Imran ayat 104 diwahyukan ketika Nabi Muhammad saw berada di Madinah. Artinya, ayat ini termasuk dalam ayat yang turun ketika Nabi saw bersama para sahabat fokus pada penerapan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan Nabi saw. ketika di Mekah yang berfokus pada memperkenalkan tauhid dan memperkuat akhlak.
Makna Al-Khair
Terdapat banyak ragam riwayat yang menyebutkan makna kata al-khayr pada ayat ini. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari kata al-khayr pada ayat adalah Islam. Begitu pun dalam Tafsir al-Baghawy dan Tafsir Jalalayn. Di kedua tafsir tersebut diterangkan bahwa yang dimaksud dengan al-khayr adalah agama Islam. Artinya, ajakan kepada kebajikan pada ayat ini adalah ajakan kepada agama Islam.
Berbeda dengan tiga mufasir di atas, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim mengutip sebuah riwayat hadis ketika menjelaskan tentang “kebaikan”:
Artinya: “al-khayr adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.” (H.R Ibnu Mardawaih)
Sama dengan apa yang diungkapkan Ibnu Katsir, Quraish Shihab juga mengatakan bahwa al-khayr pada ayat ini berarti nilai universal yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Secara pribadi, penulis sepakat dengan pemaknaan al-khayr sebagai nilai universal, yang berbeda dengan makna al-ma’ruf pada kelanjutan ayat.
Makna Al-Makruf
Bila al-khayr adalah nilai kebajikan universal, maka makruf adalah nilai kebaikan yang hidup dan berkembang di masyarakat terbatas ruang dan waktu. Yang tidak bertentangan dengan nilai kebajikan universal (al-khayr). Dalam bahasanya Quraish Shihab, makruf merupakan adat istiadat satu masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama.
Pada ayat di atas jelas dibedakan antara al-khayr dan makruf. Kata pertama menggunakan kalimat ajakan (yad’una) sedang kedua memakai perintah (ya’muruna). Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada nilai-nilai kebajikan universal. Kita tidak boleh memaksakan tetapi disampaikan secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik.
Bahkan ajakannya pun harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam Surat An-Nahl ayat 125:
Artinya: “Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan cara bijaksana, nasihat (yang menyentuh hati) serta berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.”
Ayat ini mengajarkan bahwa ajakan yang baik adalah suatu keharusan. Bila ada pilihan atara yang baik dan yang lebih baik dalam hal mengajak kepada kebajikan, maka yang dipilih haruslah yang lebih baik. Praktiknya bisa dilakukan dengan cara diskusi dan dialog dari titik temu, tidak hanya antar agama, tetapi juga antar madzhab, antar suku, antar bangsa, dan sebagainya. Dari titik temu kemudian secara tahap demi tahap menuju kepada hal-hal yang diperdebatkan dan diperselisihkan.
Makna al-Munkar
Lalu bagaimana dengan al-munkar? Penulis ingin mengutip hadis populer yang banyak tersebar di berbagai kitab hadis. Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Siapa pun di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya (menjadikannya ma’ruf) dengan tangan/wewenangnya, kalau tidak mampu maka dengan lidah/ucapannya, kalau tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang itu (dzalika) adalah selemah-lemahnya iman.”
Kita tentu sering mendengar penjelasan bahwa meskipun melarang kemungkaran sebagaimana hadis di atas, tetap harus ditampilkan dengan cara yang baik dan dengan perkataan yang baik pula. Hal ini dikarenakan ketika kita mencegah kemungkaran bukan sekedar menyampaikan kebenaran. Akan tetapi juga mengundang simpati agar yang diajak/mendengar bersedia mengamalkannya.
Perlu digarisbawahi pula dengan posisi seseorang di masyarakat. Jika ia adalah yang memiliki wewenang yang diisyaratkan dengan tangan. Maka dengan kewenangan itu dia punya hak dan kewajiban untuk mencegah kemungkaran. Berbeda lagi dengan orang-orang yang tidak memiliki kewenangan, maka yang terbaik bukan dengan tangannya, tetapi dengan ucapannya dan seterusnya.
Selemah-lemahnya Iman, yang mana?
Nah, pada akhirnya hadis di atas ditutup dengan kalimat wa dzalika adh’afu al-iman. Penulis ingin mengetengahkan satu pemahaman. Meskipun tidak populer, bahwa kata dzalika ini berarti menunjukkan sesuatu yang jauh. Bisa jadi yang disebut sebagai selemah-lemahnya iman bukan yang disebut terakhir (mencegah dengan hati/ fabiqalbihi). Tetapi dimaksudkan pada yang pertama (mencegah dengan tangan). Jika seseorang itu tidak memiliki wewenang, kemudian mencegah dengan cara mengikuti hawa nafsu, maka bisa jadi itulah selemah-lemahnya iman.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa belajar implementasi ini dari dua tokoh ulama besar di awal kemerdekaan: KH. Mas Mansur dan KH. Wahid Hasyim. Bapak proklamator, Ir. Soekarno dalam artikelnya “Memudakan Pengertian Islam” memuji keberanian KH. Mas Mansur yang secara terbuka mengajak para pemuda untuk mencintai tanah air. Padahal, kata Soekarno, di tubuh Muhammadiyyah pada waktu itu masih banyak golongan tua yang mengharamkan cinta tanah air karena dianggap termasuk dosa ‘ashabiyyah’.
Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar dalam Konteks Indonesia
KH. Mas Mansur dalam artikelnya “Pemuda dan Tanah Air”, menegaskan bahwa memang Agama Islam tidak mempunyai tanah air. Akan tetapi, kaum Muslim adalah masyarakat yang berbangsa-bangsa sesuai tempat dan daerahnya. Menurutnya, orang yang bertanah air, wajib memeliharanya sebagai bentuk tanggung jawab dalam merawat harta warisan nenek moyang.
Sebagaimana KH. Mas Mansur, terobosan terobosan yang dilakukan KH. Wahid Hasyim dalam menganjurkan al-ma’ruf adalah mengajarkan pelajaran Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris untuk para santri. Pada waktu itu hal ini tentu menjadi polemik yang sangat besar. Pengajaran bahasa asing, terutama bahasa penjajah, adalah hal yang banyak ditentang dan bahkan diharamkan. Akan tetapi, KH. Wahid Hasyim seorang visioner tetap melakukan itu bagi kemajuan pesantren dan para santri. Kisah ini termuat dalam buku Guruku Orang-Orang Pesantren karya KH. Saifuddin Zuhri.
Inilah dua contoh dari para ulama kita yang menurut penulis telah mengimplementasikan hakikat dan substansi Surat Ali Imran ayat 104. Semoga kita bisa meneruskan apa yang telah diperjuangkan para pendahulu kita untuk menjadi umat yang moderat di bumi tumpah darah kita, Indonesia. Wallahu A’lam.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.