Pernahkah Anda merasa cemas tanpa sebab yang jelas? Atau mungkin anxiety yang muncul justru di saat-saat ketika seharusnya kita merasa tenang? Bagi sebagian orang, kecemasan memang terasa seperti “tamu tak diundang” yang datang kapan saja. Namun, bagaimana jika kita mencoba melihat anxiety dari sudut pandang yang berbeda sebagai tanda bahwa jiwa kita sedang merindukan sesuatu yang lebih besar?
Mengenal Anxiety dalam Kehidupan Modern
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia mencapai 9,8% dari total penduduk.[1] Anxiety disorder menjadi salah satu yang paling umum dialami, terutama di kalangan anak muda yang hidup di era digital ini. Gejala-gejala seperti kegelisahan berlebihan, sulit tidur, jantung berdebar, dan pikiran yang terus berputar sudah menjadi bagian dari keseharian banyak orang.
Yang menarik adalah anxiety sering kali muncul justru ketika kondisi eksternal kita sedang baik-baik saja. Pekerjaan lancar, hubungan keluarga harmonis, kesehatan prima, tapi ada sesuatu yang terasa “mengganjal” di dalam dada. Ini yang sering membuat kita bingung mengapa harus merasa cemas kalau semuanya baik-baik saja?
Perspektif Al-Qur’an tentang Kegelisahan Jiwa
Al-Qur’an memberikan gambaran yang sangat jelas tentang kondisi jiwa manusia yang mengalami kegelisahan. Dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28, Allah SWT berfirman:
”الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ”
”(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan ketenangan sejati hanya dapat diperoleh melalui dzikir kepada Allah.[2] Kegelisahan dan kecemasan yang manusia alami merupakan indikasi bahwa hati belum menemukan tempat kembalinya yang sejati.
Dalam Surah Al-Fajr ayat 27-30, Allah Swt. juga berfirman:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
”Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
At-Tabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa “an-nafs al-mutmainnah” (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang telah menemukan kedamaian melalui keyakinan dan kepatuhan kepada Allah.[3] Sebaliknya, jiwa yang gelisah menandakan bahwa ia masih dalam pencarian akan kedamaian yang sejati.
Perspektif Spiritual: Ketika Jiwa Mencari “Rumah”
Dalam tradisi spiritual Islam, konsep “al-qalb al-salim” (hati yang sehat) menekankan bahwa jiwa manusia memiliki kerinduan alamiah untuk kembali kepada Sang Pencipta. Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitab “Madarij as-Salikin” menjelaskan bahwa hati manusia tidak akan pernah benar-benar tenang kecuali ketika ia “berada” bersama Allah.[4]
Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” juga menekankan bahwa anxiety atau kegelisahan jiwa sering kali merupakan tanda bahwa seseorang telah terlalu jauh dari fitrahnya.[5] Fitrah manusia adalah untuk mengenal dan menyembah Allah. Dan ketika jiwa menjauh dari tujuan penciptaannya, muncullah berbagai gejala psikologis, termasuk kecemasan.
Fenomena anxiety yang kita alami mungkin adalah manifestasi dari kerinduan spiritual ini. Seperti anak kecil yang rewel ketika jauh dari ibunya, jiwa kita bisa saja mengalami “kecemasan eksistensial” ketika merasa jauh dari sumber ketenangan sejati.
Tafsir Kontemporer tentang Kegelisahan Modern
Dalam konteks modern, para mufasir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam “Fi Zhilal al-Qur’an”, menjelaskan bahwa kegelisahan yang manusia modern alami adalah akibat dari kehilangan koneksi dengan nilai-nilai spiritual.[6] Ia mengatakan bahwa peradaban modern yang materialistik telah menciptakan “vakum spiritual” yang mengakibatkan berbagai masalah psikologis.
M. Quraish Shihab dalam “Tafsir Al-Misbah” juga menekankan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tentang ketenangan hati sangat relevan dengan kondisi psikologis manusia modern.[7] Menurutnya, anxiety adalah sinyal bahwa jiwa membutuhkan “nutrisi spiritual” yang hanya bisa terpenuhi melalui hubungan yang kuat dengan Allah.
Pengalaman Nyata: Dari Anxiety Menuju Kedamaian
Saya pernah bertemu dengan seorang mahasiswa yang mengalami anxiety disorder cukup parah. Ia bercerita bahwa kecemasannya justru memuncak ketika semester break—waktu yang seharusnya ia gunakan untuk bersantai. “Aneh, Kak. Pas sibuk kuliah, aku fine-fine aja. Tapi pas libur, kok malah anxiety-nya kumat,” katanya.
Setelah berbincang lebih dalam, ternyata ia mengakui bahwa selama ini ia terlalu fokus pada kesibukan duniawi hingga hampir melupakan dimensi spiritual dalam hidupnya. Ketika sibuk, pikirannya teralihkan. Tapi ketika sepi, jiwa yang “haus” itu mulai “protes” dengan mengirimkan sinyal anxiety.
Menariknya, setelah ia mulai membangun rutinitas spiritual yang konsisten salat dengan lebih khusyuk, dzikir, dan tilawah gejala anxiety-nya berangsur berkurang. Bukan berarti hilang total, tapi ia mulai memahami bahwa kecemasannya adalah “panggilan” untuk lebih dekat dengan Allah.
Mekanisme Psikologis di Balik Perspektif Ini
Dari sisi psikologi, Viktor Frankl dalam bukunya “Man’s Search for Meaning” menjelaskan bahwa banyak masalah psikologis modern berakar dari “existential vacuum”, kekosongan makna hidup.[8] Ketika seseorang tidak memiliki sense of purpose yang jelas, anxiety bisa muncul sebagai respons jiwa terhadap ketidakpastian eksistensial.
Dalam konteks spiritual Islam, konsep “ibadah” tidak hanya sebatas ritual, tapi juga sebagai cara hidup yang memberikan makna dan tujuan. Ketika kita memahami bahwa hidup ini adalah ujian dan amanah dari Allah, kecemasan tentang masa depan bisa berubah menjadi motivasi untuk terus berikhtiar sambil bertawakal.
Dzikir sebagai Terapi Spiritual untuk Anxiety
Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan khasiat dzikir untuk menenangkan hati. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 152, Allah berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُون
”Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”
Imam Ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” menjelaskan bahwa dzikir memiliki efek psikologis yang luar biasa dalam menenangkan jiwa.[9] Ketika seseorang mengingat Allah, ia akan merasa bahwa dirinya tidak sendirian dalam menghadapi masalah hidup.
Penelitian modern juga menunjukkan bahwa praktik dzikir dapat menurunkan kadar kortisol (hormon stres) dan meningkatkan produksi serotonin yang berperan dalam regulasi mood.[10] Hal ini menunjukkan bahwa petunjuk Al-Qur’an tentang dzikir sebagai penenang hati memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Strategi Praktis: Mengubah Anxiety Menjadi Kerinduan
1. Rekognisi dan Penerimaan
Langkah pertama adalah mengakui bahwa anxiety bukanlah sesuatu yang harus kita hindari total. Alih-alih melawan, cobalah untuk “mendengarkan” apa yang perasaan cemas itu ingin sampaikan. Tanyakan pada diri sendiri: “Apa yang sebenarnya dirindukan oleh jiwa saya?”
2. Membangun Rutinitas Spiritual
Mulailah dengan hal-hal sederhana: salat dengan lebih khusyuk, membaca Al-Quran dengan perenungan, atau sekadar berdzikir ketika merasa cemas. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas spiritual dapat menurunkan kadar kortisol (hormon stres) dalam tubuh.[11]
3. Praktik Mindfulness Islami
Gabungkan teknik mindfulness dengan nilai-nilai Islam. Ketika anxiety muncul, alih-alih panik, cobalah untuk hadir sepenuhnya dalam momen tersebut sambil mengingat Allah. Dzikir “La hawla wa la quwwata illa billah” bisa menjadi anchor untuk mengembalikan fokus.
4. Journaling dengan Perspektif Spiritual
Tulislah perasaan cemas yang kamu alami, kemudian refleksikan dalam konteks spiritual. Misalnya ialah “Hari ini saya merasa cemas tentang karir. Mungkin ini pengingat bahwa saya perlu lebih banyak berdoa dan meminta petunjuk Allah.”
5. Menerapkan Konsep Tawakal
Al-Qur’an dalam Surah At-Talaq ayat 3 menyebutkan:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
”Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
Ibnu Abbas menafsirkan bahwa tawakal adalah bentuk ketenangan jiwa yang lahir dari keyakinan bahwa Allah akan mengatur segala urusan hambanya.[12]
Menyeimbangkan Pendekatan Spiritual dan Medis
Penting untuk ditekankan bahwa perspektif spiritual ini bukan berarti mengabaikan aspek medis dari anxiety disorder. Jika gejala anxiety sudah mengganggu aktivitas sehari-hari, konsultasi dengan psikolog atau psikiater tetap diperlukan. Pendekatan spiritual justru bisa menjadi terapi komplementer yang memperkuat proses penyembuhan.
Beberapa terapis Muslim modern sudah mulai mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam praktik mereka. Pendekatan ini dikenal sebagai “Islamic counseling” atau “spiritual therapy” yang terbukti efektif untuk klien yang memiliki latar belakang religius.[13]
Kesimpulan
Anxiety mungkin tidak selalu nyaman, tapi ia bisa menjadi guru yang baik jika kita mau belajar darinya. Ketika kita mulai melihat kecemasan sebagai tanda bahwa jiwa sedang merindukan “rumah” spiritualnya, kita bisa mengubah penderitaan menjadi peluang untuk pertumbuhan.
Perspektif Al-Qur’an dan tafsir memberikan pemahaman yang mendalam bahwa kegelisahan jiwa adalah bagian dari fitrah manusia yang mencari ketenangan sejati. Dzikir, tawakal, dan praktik spiritual lainnya bukan hanya ritual, tetapi juga merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi anxiety dari akar masalahnya.
Ingatlah bahwa perjalanan spiritual bukanlah tentang mencapai kondisi tanpa masalah. Tetapi, tentang bagaimana kita merespons setiap tantangan dengan perspektif yang lebih luas. Anxiety mungkin adalah cara Allah mengingatkan kita untuk kembali kepada-Nya. Darinya kita dapat menemukan ketenangan yang sesungguhnya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28). Mungkin, anxiety yang kita alami adalah panggilan untuk kembali kepada sumber ketenangan yang sejati. Dengan memahami dan menerapkan perspektif spiritual ini, kita dapat mengubah beban menjadi berkah, dan kecemasan menjadi kerinduan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah SWT.
Editor: Dzaki Kusumaning SM
Referensi
[1] Kementerian Kesehatan RI, Riset Kesehatan Dasar 2018, (Jakarta: Kemenkes RI, 2018), h. 87.
[2] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), Juz 4, h. 456.
[3] At-Tabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an, (Kairo: Dar Hijr, 2001), Juz 24, h. 398.
[4] Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Madarij as-Salikin, (Riyadh: Dar al-Sumay’i, 1996), Juz 1, h. 234.
[5] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1982), Juz 3, h. 123.
[6] Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1992), Juz 4, h. 2010.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 6, h. 234.
[8] Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning, (Boston: Beacon Press, 1992), h. 85.
[9] Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 4, h. 156.
[10] Koenig, Harold G., Spirituality and Health Research, (Pennsylvania: Templeton Foundation Press, 2011), h. 189.
[11] Newberg, Andrew, How God Changes Your Brain, (New York: Ballantine Books, 2009), h. 145.
[12] Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 567.
[13] Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental dalam Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), h. 178.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.