Selama masih ada umat Islam yang memiliki pemahaman ekstrim, maka pembahasan tentang wasathiyyah atau moderasi Islam masih relevan. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tidak henti-hentinya mengalami ketegangan antar kelompok.
Meskipun secara umum konflik di tengah-tengah masyarakat sudah mulai berkurang, namun ketegangan yang suatu saat bisa menjadi bom waktu masih dapat dirasakan adanya. Yang terakhir terjadi adalah kasus penganiayaan terhadap sekelompok umat Islam yang dianggap menyimpang. Penganiayaan dilakukan oleh sekelompok laskar di kota Solo pada tanggal 8 Agustus 2020. Hal ini pula yang menjadi perhatian salah satu mufassir kondang tanah air, Prof. Quraish Shihab.
Di usianya yang sudah cukup tua, ia masih menyempatkan diri untuk menulis satu buku utuh tentang wasathiyyah. Tentu persoalan tentang moderasi Islam bukan hal yang sepele di mata Quraish Shihab. Ia mengaku sudah tertarik pada isu-isu moderasi Islam sejak belajar di Al-Azhar, suatu kampus tertua Islam yang mengedepankan nilai-nilai moderasi.
Menurut KBBI, moderasi berarti pengurangan kekerasan dan penghindaran ekstrimisme. Kata moderasi sering merujuk kepada surat Al-Baqoroh ayat 143. Quraish Shihab, sebagai seorang maestro tafsir Indonesia, menjelaskan makna dari Al-Baqoroh 143 dengan sangat luas dan mendalam.
Pada bagian pertama buku ini, Quraish Shihab menjelaskan apa itu wasathiyyah, bagaimana makna dan konteks kata wasath di dalam Alquran dan hadits, apa hakikat dari wasathiyyah, apa saja ciri-cirinya, apa yang dimaksud dengan ghuluw (ekstrim), sebab-sebab terjadinya ekstrimisme keagamaan, dan lain-lain. Bagian pertama ini adalah bagian paling dominan dari buku tersebut.
Aspek-Aspek Moderasi Islam
Yang menarik adalah, jika selama ini masyarakat memahami moderasi Islam secara abstrak, Quraish Shihab memberikan aspek-aspek realitas masyarakat tentang gambaran moderasi Islam yang hidup. Misalnya dalam aspek ketuhanan.
Masyarakat terpolarisasi menjadi penganut politeisme (banyak Tuhan) dan ateisme (tidak percaya adanya Tuhan). Di sini, Islam hadir sebagai agama yang moderat dengan percaya bahwa ada Tuhan, namun hanya satu.
Dalam aspek lain, ia menjelaskan adanya polarisasi dalam memahami perbuatan manusia dan kehendak Tuhan, apakah Tuhan mengintervensi kehendak manusia sepenuhnya, atau manusia bebas menentukan apapun yang ingin ia lakukan. Islam moderat hadir dengan pemahaman yang berada di tengah di antara keduanya. Setelah menjelaskan tentang moderasi dalam hal ini, ia menyimpulkan:
“Dari uraian di atas terlihat keseimbangan dalam pandangan muslim antara keyakinan tentang kuasa Allah yang Mahamutlak dan anugerah-Nya menetapkan Sunnatullah yang dapat dimanfaatkan manusia atas izin-Nya. Demikian juga berdampingan kesadaran tentang kuasa Allah yang mutlak dengan kesadaran tentang kemampuan manusia yang terbatas itu. Itu pada gilirannya menjadikan potensi rohaniah manusia berjalan seiring dan seimbang dengan potensi akliahnya. Lalu ini mengantarnya melakukan aktivitas sepanjang kemampuannya tapi tetap mengingat dan yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Keseimbangan itu tidak menjadikan manusia pasif menanti putusan Allah, tetapi mendorongnya berusaha sekuat kemampuan lalu menerima dengan legawa apa yang ditetapkan Allah setelah usahanya, menerimanya dengan keyakinan bahwa pilihan Allah-lah yang terbaik.”
Mantan Menteri Agama ini memberikan banyak contoh lain seperti dalam aspek hukum, aspek syariat, aspek kehidupan bermasyarakat, aspek politik, aspek ekonomi, aspek hubungan sosial, aspek kehidupan rumah tangga, aspek pemikiran, aspek pemahaman teks keagamaan, hingga aspek perasaan.
Ekstrimisme Beragama
Hal menarik lain dari buku ini adalah bagaimana penulis menyoroti tentang ekstrimisme beragama. Bahwa ekstrimisme dalam beragama bisa saja disebabkan oleh kesalahpahaman atas tuntutan agama. Penulis menyebut salah satu pelakunya adalah orang yang menggunakan ayat Alquran dan hadits Nabi, tetapi memahaminya secara tekstual dan keluar dari konteksnya.
Bisa jadi mereka membaca karya-karya ulama lama yang telah memberikan jasa yang besar dan solusi-solusi kepada masyarakat di suatu masa, namun karena perbedaan ruang dan waktu serta perkembangan IPTEK, membuat solusi tersebut tidak sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang.
Ekstrimisme memiliki tiga bentuk. Pertama, ucapan kasar seperti makian yang berlebihab, kebohongan,dan penyebaran isu negatif atau bahkan pujian yang berlebihan. Kedua, tindakan, baik dalam bentuk ibadah yang dilebihkan dari apa yang diajarkan agama maupun bukan ibadah. Ketiga, hati dan perasaan, baik dalam bentuk kepercayaan maupun emosi dan cinta.
Untuk melawan ekstrimisme dan meneguhkan moderasi Islam, penulis kitab Tafsir Al-Misbah ini menggariskan 7 poin, sebagai berikut:
- Pemahaman yang benar terhadap Alquran dan hadits secara kontekstual, dengan memperhatikan maqasid syariah.
- Kerja sama dengan semua kalangan umat Islam dalam hal-hal yang disepakati, dan bertoleransi dalam perbedaan, termasuk dengan non-muslim.
- Menghimpun dan mempertemukan ilmu dengan iman, serta kreativitas material dan keluhuran spiritual, kekuatan ekonomi, dan kekuatan moral.
- Penekanan pada prinsip sosial kemanusiaan seperti keadilan, musyawarah, kebebasan, dan hak asasi manusia.
- Mengajak kepada pembaruan sesuai dengan tuntunan agama serta melakukan ijtihad.
- Memberi perhatian yang besar dalam membina persatuan dan kesatuan, bukan perbedaan dan perselisihan, serta pendekatan bukan penjauhan.
- Memanfaatkan sebaik mungkin semua peninggalan dan pemikiran lama, antara logika para teolog, kerohanian para sufi, keteladanan para pendahulu, serta ketelitian para fuqoha.
Kesimpulan
Sebagai seorang mufassir asli Indonesia, pandangan Quraish Shihab tentang moderasi Islam yang digali dari khazanah tafsir menjadi sangat kontekstual dengan kondisi keberagamaan masyarakat muslim. Ia menggali ayat-ayat tentang moderasi secara luas dan mendalam, menjadikan buku ini seperti buku tafsir tematik. Di sisi lain, ia juga melihat secara langsung bagaimana potret keberagamaan masyarakat di Indonesia.
Maka, buku ini menjadi penting untuk dibaca bagi siapapun yang ingin belajar agama secara benar, agar tidak terjerumus dalam ekstrimisme keagamaan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab ekstrimisme adalah semangat beragama yang sangat tinggi, namun tidak dibarengi dengan khazanah keilmuan yang luas.
Judul : Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama
Penulis : M Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati, 2019
Tebal : 188 hlm, soft cover
Leave a Reply