Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mengenal Ushul fi Tafsir Karya Utsaimin: Kitab yang Mudah Dipahami

Ushul Tafsir
Gambar: https://rumahsedekah.com/

Pernah dengar pepatah unzul ma qala wala tanzur man qala? Dalam bahasa Indonesia, pepatah tersebut dapat diartikan dengan “lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan”. Kiranya pepatah tersebut dapat diaplikasikan dalam artikel pembahasan kali ini. Bagaimana tidak, Syekh Utsaimin adalah salah satu dari ulama yang berpengaruh di Saudi Arabia namun tidak begitu populer di Indonesia. Mungkin karena ia termasuk golongan Salafi/Wahabi.

Anti terhadap aliran ini kemudian membawa seorang untuk mendiskreditkan ketokohan Utsaimin lantas meninggalkan atau tidak pernah membaca apa saja yang pernah ia tulis. Bukankah sebuah ironi bagi -misalnya- mahasiswa tafsir yang tekun mengkaji kitab-kitab dari kalangan Syiah namun ketika dihadapkan dengan kitab yang ditulis dari kalangan Salafi/Wahabi, mereka menolak mentah-mentah. Bukankah kata “objektif” menjadi alasan mereka saat mengkaji kitab ulama Syiah? Lantas mana sifat objektif itu di hadapan kitab ulama Salafi/Wahabi? 

Terlepas daripada itu semua, paragraf diatas hanya menjadi buah pecut agar sikap objektif senantiasa diterapkan saat mengkaji kitab-kitab para ulama. Artikel kali ini lebih lanjut akan membahas tentang salah satu kitab yang pernah ditulis oleh Utsaimin dalam ranah keilmuan Al-Quran,. Kitab yang diberi judul Ushul fi Tafsir.

Sekilas tentang Syekh Utsaimin

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah, Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin al-Wahibi at-Tamimi. Ia lahir di Unaizah bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan di tahun 1347 H. Semasa kecilnya, ia belajar membaca Al-Quran kepada kakek dari pihak ibunya yang bernama Abdurrahman bin Sulaiman ad-Damigh sampai menghafalnya. Diantara gurunya yang pernah mendidiknya adalah Abdul Aziz bin Baz. Pada bin Baz ini, ia mempelajari Shahih Bukhari, beberapa risalah dari Ibnu Taymiyah, dan beberapa kitab fikih.

Baca Juga  Mengenal Imam Al-Sa'dy, Arsitek di Balik Kitab Tafsir Al-Sa'dy

Pada tahun 1374 H ia ditetapkan menjadi pengajar di Ma’had Ilmiyah Unaizah sembari meneruskan pendidikannya secara fakultas syariah secara istinsab. Ia kemudian pindah mengajar di Fakultas Syariah dan Ushuluddin di cabang Universitas Islam Muhammad bin Saud yang ada di kota Qashim. Di saat yang bersamaan, ia juga menjadi anggota tetap Komite Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia.

Pada saat mengajar di Universitas Islam Muhammad bin Saud inilah ia menulis kitab Ushul fi Tafsir ini. Sebelumnya, ia menuliskan kitab tersebut sebagai buku pegangan para mahasiswa. Di tahap selanjutnya -menurut klaim yang ia kemukakan sendiri- beberapa orang memintanya untuk menerbitkan buku ini dengan pembahasan yang lebih lengkap. Ia kemudian mengabulkannya maka terbitlah kitab Ushul fi Tafsir yang dikenal sampai saat ini.

Kitab Ushul fi Tafsir

Kitab Ushul fi Tafsir ini ditulis dengan bahasa yang padat dengan bahasan yang singkat. Dalam terbitan Maktabah Islamiyah tahun 2001, buku ini hanya terdiri dari 64 halaman saja, dan jumlah halaman yang memuat pembahasan, hanya terdiri dari 56 halaman. 

Dalam muqaddimahnya, Utsaimin membagi buku ini dalam dua ranah pembahasan utama. Pertama Al-Quran yang terdiri dari definisi Al-Quran, nuzulul Quran, ayat yang pertama kali turun, pembahasan ayat ibtida’i dan sababi, Makkiyah dan Madaniyah, tartib Al-Quran, dan kodifikasi Al-Quran.

Adapun pembahasan kedua adalah pembahasan mengenai tafsir yang meliputi definisi tafsir, kewajiban seorang muslim dalam menafsirkan Al-Quran, rujukan dalam menafsirkan Al-Quran, perbedaan dalam metode tafsir bi ma’tsur, terjemahan Alquran, ahli tafsir yang terkenal dari kalangan sahabat dan tabi’in, muhkam-mutasyabih, sumpah, ayat-ayat dengan kesan yang bertentangan, kisah dalam Al-Quran, israiliyat, dan dhamir.

Sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, kitab ini hanya menampilkan pembahasan yang singkat, padat dan tidak terkesan bertele-tele. Analisis yang disampaikan tidak diajukan secara mendalam sebagaimana yang biasanya terdapat dalam kebanyakan kitab-kitab mengenai ulumul quran. Dalam tulisannya di buku ini, Utsaimin kerap meligitimasi analisisnya dengan dalil Al-Quran, hadis dan atsar yang menurutnya shahih.

Baca Juga  Beberapa Referensi Induk yang Harus Diperhatikan Mufasir

Sebagai contoh dalam pembahasan nuzulul quran, ia menyampaikan bahwa Al-Quran pertama kali turun kepada nabi Muhammad di malam lailatul qadr di bulan Ramadhan. Untuk melegitimasi perkataannya, ia lantas menukil QS. Al-Qadr: 1, Qs. Ad-Dukhan: 3-4, dan Qs. Al-Baqarah: 185. Setelah itu ia berlanjut ke pembahasan umur Nabi saat menerima wahyu menurut kesepakatan para ulama, yaitu 40 tahun. Setelahnya, ia beralih ke pembahasan perantara turunnya wahyu oleh Jibril sesuai QS. 191-195 lantas mengakhiri sub bab tersebut dengan keutamaan malaikat Jibril sebagaimana yang tertera dalam Qs. An-Najm: 5-7, Qs. At-Takwir: 19-21, dan Qs. An-Nahl: 102.

Kelebihan dan Kekurangan Ushul fi Tafsir

Contoh diatas dapat dijadikan acuan mengenai seberapa singkat dan padatnya pembahasan dalam kitab Ushul fi Tafsir. Hal ini kemudian menjadi kelebihan yang dimilikinya. Bahwa bagi siapa yang mempelajarinya tidak ia akan menemui kesulitan dalam memahaminya sebab bahasanya yang termaktub tidak bertele tele dan langsung menjurus pada inti permasalahan. Kiranya kitab ini cocok bagi mahasiswa tafsir yang sebelumnya sangat susah memahami kitab ulumul quran dengan pembahasan yang begitu dalam.

Namun begitu, kelebihan diatas juga sekaligus dapat menjadi kekurangan dari kitab ini. Karena pembahasannya yang begitu singkat, kitab ini tidak dapat dijadikan sebagai acuan mencari jawaban dari persoalan ulumul quran yang sedemikian kompleks. 

Merujuk pada contoh pembahasan nuzuzul quran yang disampaikan diatas, tentu pembahasan yang disampaikan Utsaimin terbilang tidak lengkap apabila dibandingkan dengan kitab ulumul quran yang lain. Misalnya al-Zarqani dalam Manahilul Irfan fi Ulum Quran yang menjelaskan secara panjang lebar pembahasan mengenai nuzulul quran. Dalam penjelasan al-Zarqani, ia menjabarkan tiga tahapan turunnya Al-Quran, yaitu saat berada di lauhil mahfuz, Al-Quran yang turun dari lauhul mahfuz ke baitul izzah di langit dunia, dan Al-Quran yang turun dari langit dunia ke Nabi Muhammad. Dan terkait dengan dalil yang digunakan oleh Utsaimin dalam asbabun nuzul, al-Zarqani menukilnya juga sebagai legitimasi pendapat turunnya Al-Quran di tahap kedua, yaitu dari lauhil mahfuz ke langit dunia.

Baca Juga  Uslub dan Stilistika dalam Kajian Kisah Al-Qur’an

Tentunya pembahasan al-Zarqani diatas akan lebih mampu menjawab pertanyaan kompleks mengenai tahapan turunnya Al-Quran. Sebab sebagaimana yang diketahui secara umum Al-Quran turun secara berangsur-angsur dan akan sulit menjawab pertanyaan mengenai tahap turunnya Al-Quran jika tidak dianalisis secara mendalam. Belum lagi jika melihat isi pembahasan yang lain seperti misalnya al-Zarqani menampilkan analisis pembahasan mengenai ayat yang terakhir kali turun. Namun Utsaimin tidak menyinggung hal ini.

Penutup

Kurang lengkapnya pembahasan dalam Ushul fi Tafsir karya Utsaimin tidak lantas membuat kitab ini dapat dipandang sebelah mata. Barangkali Utsaimin tidak menampilkan secara lengkap sekelumit perbedebatan dalam ulumul quran sebab ia tidak ingin bersandar pada dalil yang tidak dianggapnya shahih. Kitab yang ia tulis tetap layak dikaji bagi mereka yang menggeluti ranah keilmuan Al-Quran dan tafsir, terutama bagi mereka yang baru memulainya.

Penyunting: Bukhari