Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mengenal Tafsir Sunda Karya Mhd. Romli dan H.N.S Midjaja

Romli
Gambar: Dok. Penulis

Perjalanan Intelektual Mhd. Romli

Nama Muhammad Romli terkenal ditulis dengan nama Mhd. Romli. Beliau merupakan salah satu mufasir yang berasal dari tatar Sunda. Mhd. Romli lahir di daerah Kadungora-Garut, Jawa Barat pada tahun 1889 M. Pendidikan beliau dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) dan kemudian mondok di beberapa pesantren. Salah satunya, pesantren yang dimiliki oleh ayahnya Ahmad Sanusi pengarang kitab tafsir Rawdatul ‘Irfan fi Ma’rifatil al-Qur’an, KH. Abdurrahim yaitu Pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi. Kemudian beliau menimba ilmu ke Kota Mekkah selama sebelas tahun. Beliau juga aktif dalam organisasi Syarikat Islam atau PSI.

Pada waktu sebelum kemerdekan, Mhd. Romli bersama KH. Yusuf Tojiri ulama asal Priangan ikut aktif dalam organisasi MASC. Sebuah organisasi dari kaum reformis yang memiliki sifat keras dan agresif yang sama halnya dengan organisasi Persis dalam memperjuangkan ideologi al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah. Yaitu ideologi yang menganut paham untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Organisasi MASC ini juga pernah terlibat dalam permasalahan dengan para ulama All pimpinan dari Sanusi.

Pada tahun 1948, Mhd. Romli menjabat sebagai Camat di Kecamatan Kadungora. Setelah itu, beliau juga sempat diasingkan di Nusakambangan dikarenakan aktiftivitas dakwahnya pada era Orde Lama. Beliau merupakan salah satu ulama yang tidak mengikuti organisasi tertentu. Akan tetapi, ideologi yang dianut beliau mempunyai kesamaan dengan visi misi pembaharuan Islam dan beliau juga banyak berteman dengan para aktivis dari organisasi Persis dan Muhammadiyah.

Kemudian, Muhammad Romli mendirikan sebuah pesantren di daerahnya yang diberi nama Pesantren Nurul Bayan. Beliau mempunyai empat anak, yang terdiri dari tiga putra anak kandung serta satu anak asuh dari kakaknya. Mhd. Romli meninggal pada tahun 1981, saat berusia 92 tahun yang dimakamkan di kampung halamannya yakni Kampung Haurkuning, Desa Hegarsari, Kadungora, Jawa Barat.

Baca Juga  Anjuran Tolong-menolong: Tafsir Surah Al-Ma’idah Ayat 2

Karya-karya Mhd. Romli

Selain karyanya Tafsir NuruL Bajan, beliau juga mempunyai karya-karya lain. Di antaranya, Al-Hujaj al-Bayyinah Dina Hukum Solat Jum’at (1975), Haqqul Janazah, Al-jani’ al-Shahih Mukhtashar Hadis Shahih Bukhari Terjemah Bahasa Sunda, Tungtunan Sholat” (1982), Tafsir al-Kitabul Mubin (1974), Qoeran Tardjamah Soenda (1950) dan lainnya.

Menyusun Bersama H.N.S. Midjaja

Dalam menpublikasikan tafsirnya Nurul Bajan beliau tidak sendiri. Melainkan didampingi oleh H.N.S Midjaja (Neneng Sastramidjaja) atau lebih dikenal dengan nama Jaksa Neneng. Ketekunan beliau dalam mempelajari al-Qur’an meskipun hanya dalam terjemahan bahasa Belanda membuat Neneng tertarik untuk membantu beliau dalam penyelesaian kitab Tafsir Nurul Bajan.

Kitab tafsir ini diterbitkan di percetakan Perboe (Perusahaan Bumiputera) yang dimiliki Neneng pada tahun 1960. H. N. S. Midjaja merupakan murid dari Tuan A. Hassan dari organisasi Persis. Beliau juga merupakan seorang tahanan pada masa Orde Lama. Selama menjadi tahanan beliau mempelajari al-Qur’an dalam bentuk terjemahan Bahasa Belanda kepada Sudewo. Semasa hidupnya, beliau sempat tinggal di Belanda hingga meninggal di Bandung. Keakraban Mhd. Romli dengan H.S.N Neneng, selain mempunyai kesamaan dalam hal ideologi pembaharu Islam juga karena Neneng merupakan pengusaha dalam bidang percetakan.

Profil Tafsir Sunda Nurul Bajan

Latar belakang penulisan kitab tafsir ini salah satunya adalah karena pada saat itu, belum terdapat kitab tafsir al-Qur’an bahasa Sunda yang lengkap. Meskipun tidak diketahui alasannya, beliau tidak menafsirkan sampai tuntas. Hanya sampai 3 juz yakni sampai QS. Ali-Imran(3): 91.

Dalam penulisan kitab tafsir ini, banyak sumber kitab yang digunakan. Di antarannya, Tafsir al-Manar, Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Baidawi, Fathul Qadir, Madarik al-Tanzil, Lubab al-Ta’wil, al-Thabari dan beberapa sumber tulisan yang berbahasa Inggris dan Belanda. Sedangkan sumber kitab tafsir nusantara, Muhammad Romli menggunakan Tafsir al-Qur’anul Karim karya H. Ahmad Halim Hasan Zainal Arifin, Abbas, Abdurrohim, dan Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus.

Baca Juga  Orientalis: Pemikiran Kontroversial Theodor Noldeke Soal al-Qur`an

Dilihat dari uraian penjelasan penafsirannya, Mhd. Romli juga dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, yang merupakan rujukan dari tokoh-tokoh modernis Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut terlihat jelas dalam kitab tafsir Nurul Bajan. Tidak hanya mengutip pendapatnya, Mhd. Romli juga menggunakan metode penafsiran kedua tokoh tersebut. Seperti menggunakan metode tafsir bi al-ra’y yakni penafsiran dengan ijtihad pemikiran. Serta juga menggunakan metode tahlili, penafsiran yang sesuai dengan urutan tertib mushaf. Sedangkan corak penafsiran, Muhammad Romli menggunakan corak Adab Al-Ijtima’i. Sehingga dalam menafsirkan, beliau secara langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan kitab Tafsir Nurul Bajan, yaitu ditulis dengan menggunakan tulisan atau ejaan lama yang belum sampai disempurnakan. Seperti kata njembahkeun (nyembahkeun), riwajat (riwayat), sanadjan (sanajan) dan lainnya. Dalam kitab beliau, banyak terdapat kata yang disingkat dan beliau juga telah menyediakan kamus kata yang disebut Aksara nu pondokkeun, seperti “A.” yang berarti ayat al-Qur’an, “As” berarti ‘alaihissalam, “At.” berarti Atanpi atau atawa, dan “’Az.” memiliki arti ‘azza wa jalla.

Kemudian, mencantumkan transliterasi latin, terjemah ayat dan diakhiri dengan uraian penjelasan penafsiran. Dalam uraian penafsirannya, secara umum berisi tentang makna umum ayat, penjelasan mengenai masalah yang terkait dengan ayat yang dibahas, dan terkadang juga menyebutkan rujukan seperti hadis sahih, pendapat ahli tafsir Sunni maupun modern. Biasanya penafsiran satu ayat dijelaskan dalam dua sampai tiga halaman.

Karakteristik penafsiran beliau yaitu seringkali menggunakan hadis yang shahih. Selalu menyisipkan huruf-huruf, seperti huruf “G”. yang diletakkan sebelum menyebut nama Allah Swt. Huruf tersebut berarti “Gusti” yang mempunyai arti Tuhan. Hal tersebut digunakan untuk menyebut hal-hal yang dianggap agung. Dan juga seringkali menggunakan istilah-istilah Bahasa Sunda.

Baca Juga  Yang Kurang dari Kajian Kisah Al-Qur'an Menurut Ahmad Khalafullah

Misalnya dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah (2): 111, terkait penjelasan beliau tentang larangan untuk bertaklid.

وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.”

***

Dalam menafsirkan ayat tersebut, beliau mengutip pendapat dari Tafsir al-Manar yang menyatakan bahwasanya tidak wajib menerima pendapat dari siapapun yang tidak didasarkan pada dalil tertentu dan tidak perlu menerima ajakan dari siapapun tanpa adanya bukti yang membenarkannya. Kemudian, Mhd. Romli menyertakan pendapat beliau, yakni:

“Nu mawi henteu kénging dina Islam mah taqlid, sanaos ka saha baé ogé. Kénging sotéh ittiba’, hartosna nampi katerangan, anu kauninga dalil2 anu ngiatkeunana. Komo dina bagbagan hukum agama sareng hal ibadah mah. Ku djalan sok taqlid, seueur pisan pabid’ahan2 sst. (sareng saterasna) nerekab dimana-mana. Mangkaning bid’ah teh dina hal ibadah mah kapan matak ngadjadikeun ahli naraka.”

(Makanya dalam Islam tidak boleh taklid, meski pada siapa pun juga. Boleh juga ittiba’, artinya menerima keterangan yang diketahui dalil-dalil yang menguatkannya. Bahkan dalam masalah hukum agama dan ibadah. Akibat suka taklid, banyak perbid’ahan-perbid’ahan dan seterusnya menyebar di mana-mana. Padahal bid’ah itu dalam hal ibadah akan menjadikannya ahli neraka).

Dalam penafsiran ayat tersebut, Mhd. Romli mengaitkan kutipan dari Tafsir al-Manar dengan kondisi masyarakat pada saat itu, dimana terjadi persaingan ideologis antar masyarakat. Bahwasanya di kalangan Modernis beranggapan bahwa tidak ada satupun ayat yang menjelaskan perintah untuk bertaklid, bahkan al-Qur’an dan sunnah melarangnya.

Penyunting: Bukhari

Mahdalina Nanda Alhusna
Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya