Orang Minang sejak zaman dahulu dikenal sebagai pabrik intelektual. Banyak pemikir dan intelektual lahir di sana. Sebut saja Moehammad Hatta, Sutan Syahrir, dan Tan Malaka, Azyumardi Azra, Buya Syafi’i, dan lainnya. Kuatnya nilai keislaman yang hidup di ranah Minang dengan semboyan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” berpengaruh kepada mereka. Tak heran, banyak juga ulama yang lahir dari sana. Beberapa kitab tafsir pernah dilahirkan dari ulama Minang, seperti Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus. Kali ini kita membahas sebuah kitab tafsir dari Minangkabau bernama Oemar Bakry yaitu Tafsir Rahmat.
Profil Penulis
Oemar Bakry ini bukanlah Oemar Bakri yang dinyanyikan oleh Iwan Fals dalam lagunya “Oemar Bakri.” Oemar Bakry yang kita bahas ini lahir di Desa Kacang di pinggir Danau Singkarak Sumatera Barat pada tanggal 26 juni 1916. Beliau mengenyam pendidikan di Sekolah Thawalib dan Diniyah Putra Padang Panjang. Kemudian melanjutkan pelajaran pada Kulliyatul Mu’allimin Islamiyah Padang dan tamat tahun 1936 dengan angka terbaik. Tahun 1954 masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tidak sampai tamat (Federsfiel, 1996).
Beliau pernah menjadi guru pada Sekolah Thawalib di Padang dan menjadi direktur Sekolah Guru Muhammadiyah Padang Sidempuan dan direktur The Public Typewriting School yang kemudian namanya diganti dengan Taman Kemajuan. Kegiatan dakwah beliau dilaksanakan di Sumatera Barat, Jakarta dan Bandung.
Selain aktif mengajar dan berdakwah, beliau juga aktif dalam organisasi. Beberapa organisasi yang beliau ikuti adalah Partai Politik Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Masyumi dan pernah menjadi anggota Pimpinan Masyumi Sumatera Tengah, Ketua IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Jakarta Raya beberapa periode, Ketua Yayasan Al-Falah, Yayasan Pemeliharaan Kesucian Al-Quranul Karim dan Yayasan Thawalib Jakarta. Beliau juga adalah Pendiri dan Direktur Utama Penerbit dan Percetakan Offset “Mutiara” Jakarta dan “Angkasa” Bandung.
Sejarah dan Latar Belakang Penulisan Tafsir
Tafsir Rahmat adalah tafsir berbahasa Indonesia. Penulisan Tafsir Rahmat berlangsung selama kurang lebih dua tahun, yakni dimulai pada tahun 1981 dan selesai pada tahun 1983, tepatnya pada tanggal 12 Mei 1983 (29 Rajab 1341 H), yang pada tahun yang sama juga tafsir ini memperoleh surat tashih dari Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia. Alasan Oemar Bakry menamakan kitab tafsirnya dengan Tafsir Rahmat adalah agar kitab tafsirnya ini dapat menjadi rahmat, sesuai dengan tujuan penurunan al-Qur’an yaitu sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Pada dasarnya, keinginan Oemar Bakry dalam menulis tafsir sudah ada sejak lama, yang kemudian bertambah setelah H.B. Jassin menulis terjemahan al-Qur’an yang dinamai dengan kitab Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia pada tahun 1978 yang ia nilai banyak terdapat kesalahan dalam kitab tersebut. Selain itu, ada beberapa alasan lain. Penulisan terjemahan dan tafsir al-Qur’an yang ada dinilainya masih kurang dapat dipahami masyarakat dengan baik karena struktur kalimat yang digunakan oleh para penerjemah dan mufassir sebelumnya belum sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baik. Problem ini ditambah lagi dengan banyaknya para penerjemah dan mufassir al-Qur’an lama yang telah meninggal.
Tafsir Rahmat sudah dicetak ulang sekitar 20 kali, yang jika dihitung diperkirakan sudah mencapai 100.000 eksemplar. Tafsir ini juga tidak hanya beredar di Indonesia, tetapi juga sampai ke negara- negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Sumber rujukan dan Sistematika Penulisan Tafsir
Apa yang beliau tuliskan dalam tafsirnya tidak hanya berasal dari pemikirannya seorang. Untuk meningkatkan isi tafsir dan terjemahannya, beliau menggunakan beberapa rujukan.
Tafsir Al-Manar, Tafsir Al- Maraghi oleh Ahmad Musthafa Al- Maraghi, Al-Tafsir al-Farid Fil Qur’anil Majid, Tafsir Ibnu Katsir, Fi Zhilalil Qur’an, Tafsir Al- Qur’an oleh Mahmud Yunus, Al- Qur’an dan Terjemahannya oleh Dewan Penerjemah Departemen Agama, Tafsir Quran oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin, dan Tafsir al-Bayan oleh M. Hasbi Ash Shiddieqy.
Sistematika yang digunakan oleh Oemar Bakry dalam tafsiranya yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’an, ayat demi ayat atau beberapa kumpulan ayat dan surat demi surat; dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, maka secara sistematika tafsir ini menempuh Tartib mushafi.
Selain dari itu, untuk pertama kali di Indonesia, tafsir ini disesuaikan dengan bahasa al-Qur’an yang dibaca dari kanan ke kiri lalu diikuti bahasa yang diterjemahkan. Dalam Tafsir Rahmat, di setiap awal surat diterangkan dengan mendetail masalah yang berkaitan dengan surat yang dikaji menjadi pokok kajian dalam surat, jumlah surat, nama-nama lain dari surat tersebut.
Gaya bahasa yang digunakan Tafsir Rahmat adalah reportase, yaitu gaya bahasa penulisan ditandai dengan penulisan menggunakan kalimat yang sederhana, elegan, komunikatif dan menekankan pada hal yang bersifat pelaporan dan bersifat human interest. Dari hasil reportase, di beberapa bagian diberi kata simpul sebagai pengungkapan pesan moral al-Qur’an. Misalnya, dalam menguraikan QS.al-An’am ayat 91-95. Selain reportase, menggunakan gaya bahasa ilmiah, misalnya dalam surat al-Maidah ayat 87-88.
Metode dan Corak Tafsir Rahmat
Tafsir Rahmat ini ternasuk ke dalam jenis tafsir bil-ra’yi karena lebih dominannya penulis menggunakan nalar atau rasio dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan tidak keluar dari kaedah-kaedah bahasa Arab yang dikuasainya. Harapannya apa yang ia jelaskan dalam menafsirkan Al-Qur’an agar dapat diterima oleh akal manusia.
Di samping itu, tafsir ini bercorak lughawi atau kebahasaan, karena mengutamakan aspek kebahasaannya. Tentu saja kebahasaan di sini dalam konteks bahasa Indonesia. Oemar Bakry cenderung kepada perbaikan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an selama ini agar bisa dimengerti masyarakat dan sesuai pula dengan kemajuan bahasa Indonesia yang mengutamakan ejaan.
Sementara itu, tafsir ini menggunakan metode ijmali atau global. Hal ini tentu saja merupakan siasat agar tafsir ini cukup dicetak satu jilid dan sesuai dengan tebal halaman al-Qur’an pada umumnya. Tentu saja metode ini memiliki konsekuensi yang dapat dinilai sebagai kekurangan, yakni penyempitan makna kata. Mafhum bahwa beberapa kata bahasa Arab bersifat musytarak alias memiliki banyak makna. Penafsiran dan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan metode global akhirnya akan memilih satu dari sekian makna yang tersedia.
Harapannya, kitab tafsir Nusantara akan selalu berkembang dengan keunikannya dan mampu menjawab problematika sosial. Mempelajari kitab-kitab tafsir dari Nusantara dapat memperkaya khazanah pemahaman kita terhadap al-Qur’an. Sebab, apabila membaca al-Qur’an saja berpahala, apalagi memahami isinya dan mengamalkannya.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply