Saya ingin mengulas sekelumit mengenai tafsir Hadaiqur ar-Rauh war Raihan. Kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Amin, ulama asal Habasyah, Afrika. Tafsir ini sangat unik. Dalam waktu seminggu ini, saya baru membaca jus 1 dan 30 secara sekilas dengan cepat. Ternyata isinya sangat menakjubkan.
Dalam kitabnya ini, Syekh Muhammad Amin Harari membahas al-Qur’an dari berbagai aspek. Ada aspek asbabun nuzul, faidah surat dan ayat-ayat al-Qur’an, i’rob dan balaghoh-nya, tashrif dan mufrodat bahasa al-Qur’an. Kemudian munasabah antara surat dan ayat-ayatnya, beragam qiro’ah-nya, termasuk keutamaan surat-suratnya. Serta kajian tentang hukum dengan menayangkan berbagai pendapat imam mazhab, serta penafsirannya yang sangat kaya. Di tengah-tengah penafsirannya, tidak jarang ditaburi dengan pesan-pesan moral-spiritual dan kisah-kisah sufistik.
Pembahasan i’rob-nya juga cukup luas. Bahkan saya bandingkan dengan I’robul Quran karya Abdullah Ulwan yang tebalnya 4 jilid misalnya, masih lebih luas kajian i’rob dalam tafsir Hadaiq ar-Rauh war Raihan.
Tentu saja, pembahasan tafsirnya sendiri yang paling luas, sangat kaya, dan membuka perspektif. Referensi tafsirnya juga amat sangat kaya. Mulai dari Thobari, Qurthubi, Baidhowi, Zamaksyari, Bahrul Muhith, Ar-Razi, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani, Ruhul Bayan, Umdah Tafasir, Khozin, Maraghi, dan Thanthowi, untuk menyebut beberapa contoh. Jadi dengan memiliki satu tafsir ini, seakan-akan kita sudah memiliki beragam tafsir.
Keunikan Penafsiran Syekh Amin Harari
Namun Syekh Amin Harari tidak hanya berhenti dengan mengutip pandangan para mufasir lain. Ia juga menyuguhkan penafsiran dan penakwilannya sendiri yang sangat inspiring and enlightening. Seringkali di tengah-tengah penafsirannya, ia menguraikan hikmah-hikmah ayat, kalimat, atau bahkan huruf-hurufnya sekalipun dalam rangka menyingkap rahasia-rahasianya. Penyingkapan hikmah-hikmah ini, ia narasikan dalam bentuk dialog.
“Jika engkau bertanya: Apa hikmah dan rahasianya Allah SWT memulai membuka kitab-Nya dengan huruf ‘ba/ب’ (dalam kalimat bismillah), bukan dengan huruf alif? Lalu ia menjawab. Di antaranya: ba itu menyimbolkan makna tawadhu; meskipun ba terlihat di bawah tapi ia tinggi derajatnya, mempunyai pengaruh dan menjadi sifatnya para kaum shiddiqun. Serta ba juga melukiskan kejujuran dalam mendekati kebenaran, dan sebagai huruf pertama yang keluar dari lisan manusia sewaktu melakukan perjanjian sakral dengan Allah SWT di alam ruhani: balaa, sebagai jawaban dari alastu birobbikum? (Q.S. al-A’raf: 172).”
Begitu pula dengan kalimat bismillah dalam awal surat al-Fatihah. Kata Syekh Amin Harari, jangan ucapkan billah, tapi bismillah. Mengapa? Sebab ada rahasia mencari berkah dan memohon pertolongan dengan menyebut nama Allah SWT.
Tentang surat al-Falaq dan an-Nas misalnya. Apa hikmahnya dalam surat al-Falaq hanya memohon kepada satu sifat Allah SWT (robbil falaq), sedangkan dalam surat an-Nas memohon perlindungan dengan tiga sifat Allah SWT: robbi nas, malikinnas, dan ilahinnas? Karena dalam surat al-Falaq titik tekannya memohon perlindungan dari bahaya jasmani (fii dzohiril badan), sedangkan dalam surat an-Nas titik tekan yang dimohonkan adalah perlindungan dari keselamatan ruhani (salamatur ruh). Karena ruh lebih penting dari badan sehingga permohonannya juga menjadi lebih banyak dan lebih kokoh.
Dan masih banyak lagi detil-detil kalimat-kalimat ayat al-Qur’an yang rahasia maknanya dibentangkan ke hadapan kita. Karena itu, bisa kita katakan tafsir ini masuk dalam kategori tafsir kabir yakni sebuah tafsir yang di dalamnya mengandung banyak bidang ilmu. Sehingga hanya dengan membaca satu tafsir ini, kita akan mereguk puspa ragam ilmu yang sangat kaya dan luas.
Keistimewaan Tafsir Hada’iq Ar-Rauh war Raihan
Kalau kita tertarik dengan tafsir bil ma’tsur, tafsir ini menyuguhkannya dengan indah. Bila kita senang dengan kajian hukum, kita akan mendapatkan uraian yang luas dari berbagai mazhab. Jika kita menyukai analisis bahasa beserta makna-maknanya, tafsir ini memaparkan dengan sangat detail. Seandainya kita ingin memahami asbabun nuzul dan munasabah antara surat dan ayat-ayatnya, kita akan menemukan informasi yang sangat kaya.
Bila kita menyukai telaah i’rob, tashrif mufrodat, balaghoh dan ragam qiro’at ayat-ayat al-Qur’an, tafsir ini mengeksplorasi berbagai aspek tersebut dengan cukup luas. Dan kalau kita hendak mengetahui pesan-pesan luhur, makna dan hikmah rahasia ayat-ayat al-Qur’an secara kontekstual bagi kehidupan, Syekh Amin Harari juga menayangkannya secara argumentatif.
Makanya ketika membaca tafsir ini, walaupun sangat tebal dan sampai 32 jilid (perjilid rata-rata di atas 500 halaman), kita tidak akan jenuh. Kita akan dibawa tenggelam dalam belantara teks sebagai musafir intelektual-spiritual yang mengunjungi pelbagai bidang ilmu yang sangat berwarna, informatif, sekaligus inspiratif.
Apalagi style Syekh Amin Harari dalam menguraikan tafsirnya sangat komunikatif. Sebagai pembaca kita sering diajak berdialog tentang makna, pesan moral-spiritual dan hikmah-hikmah yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-Qur’an.
Cerita Imam Al-Ghazali dan Imam Zamakhsyari
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan kisah menarik antara Imam Zamaksyari dan Imam Ghazali. Tatkala menafsirkan ta’awudz tentang berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, sebelum surat al-Fatihah, di bagian akhirnya Syekh Amin Harari menayangkan kisah Imam Zamakhsyari yang awalnya tidak percaya dengan eksistensi jin, akhirnya menjadi percaya setelah eksistensi jin didemonstrasikan oleh Imam Ghazali.
Satu waktu Imam Ghazali bertanya kepada jin tentang peristiwa yang tidak diketahuinya. Jin tersebut berkisah bahwa Imam Zamakhsyari sedang mengarang sebuah kitab tafsir yang sudah selesai separuh. Mendengar hal itu, Imam Ghazali menyuruh sang jin menduplikat kitab tersebut tanpa sepengetahuan Imam Zamakhsyari.
Tidak lama kemudian, tatkala Imam Zamakhsyari bertemu dengan Imam Ghazali, sang hujjatul Islam itu langsung menunjukkan duplikat tafsir karangan Imam Zamaksyari tersebut. Sontak saja, Imam Zamakhsyari heran dan takjub dengan apa yang disaksikannya.
Kata Imam Zamakhsyari, “Tdak seorang pun yang mengetahui di mana ia menyimpan kitab tafsir tersebut. Kalau ada orang yang menulis tafsir seperti ini, sepertinya tidak mungkin. Karena susunan kalimatnya sama persis dengan tulisan tafsirku.”
Imam Ghazali menjawab dengan tenang, “Ini memang kitab tafsir karanganmu. Aku mendapatkannya dari jin yang aku perintahkan untuk menduplikatnya.” Sejak peristiwa inilah, Imam Zamakhsyari mengakui dan percaya dengan eksistensi jin.
Editor: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply