Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mengenal Sahl at-Tustari: Ulama Sufi Masa Kejayaan Islam

Sahl at-Tustari
Sumber: https://pixabay.com/

Sebagaimana kebiasaan kita masyarakat Indonesia, cerita-cerita mistis selalu menjadi sesuatu yang menarik didengarkan. Entah mungkin karena nenek moyang kita yang menganut paham animisme dinamisme, atau mungkin penyebaran Islam secara kultural sehingga simbol-simbol budaya lama masih dipertahankan. Beberapa kisah sejarah pun diceritakan dalam bentuk fiksi yang kemudian diangkat ke panggung pementasan  semata hanya untuk manarik perhatian masyarakat.

Beberapa cerita diantaranya mengisahkan karomah ulama-ulama terdahulu terkhusus mereka yang dikenal sebagai sufistik. Misal, Dzun Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Bustami, Ibnu Arabi, dan masih banyak lagi. Terlepas dari doktrin demitologisasi dan rasionalisasi, cerita tentang karomah ulama sufi selalu menarik dibahas.

Selain ceritanya, yang menarik untuk kita cermati juga adalah laku hidupnya. Kejadian di luar nalar yang dialami juga berangkat dari kebiasaan hidup yang -untuk ukuran manusia sekarang- juga di luar nalar.

Pada tulisan kali ini, saya akan sedikit mengulas tentang Sahl at-Tustari, salah satu ulama kesufian kenamaan yang hidup di abad ke-3 Hijriyah, masa yang sering diistilahkan sebagai masa keemasan Islam karena munculnya ulama-ulama dalam berbagai disiplin ilmu.

Biografi Sahl at-Tustari

Mungkin beberapa di antara pembaca masih merasa asing dengan nama ini. Meski semasa, ia tak seterkenal Junaid al-Baghdadi. Di pengajian-pengajian masjid atau mungkin di pondok pesantren pun masih sangat jarang dijumpai kajian tentang beliau.

Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdillah bin Yunus bin ‘Isa bin ‘Abdillah bin Rafi’ at-Tustari. Nama panggilannya (kunyah) Abu Muhammad sedangkan sandarannya (nisbah) at-Tustari sesuai tempat kelahirannya, Tustar, Iran. Tahun kelahirannya masih diperselisihkan antara tahun 200 atau 203 Hijriyah. Namun, mayoritas penulis sejarah berpendapat bahwa ia lahir pada tahun 203 Hijriyah, berdasarkan tahun wafatnya, 283 Hijriyah, dan umurnya, 80 tahun.

Baca Juga  Bermaksiat Tanda Menzalimi Diri: Nasehat Imam Al-Ghazali

Ia hidup semasa dengan Junaid al-Baghdadi. Bahkan beberapa muridnya juga berguru kepada Junaid al-Baghdadi, di antaranya,  Abu Muhammad Al-Jurayri (w. 312 H) dan Abu Hasan at-Tirmidzy (w. 328 H).

Sahl menerima pendidikan tasawwuf di usianya yang tergolong masih muda, 3 tahun, melalui pamannya, Muhammad bin Sawwar. Pamannya memintanya untuk membaca sebuah zikir setiap malam.  Mula-mula sebanyak 3 kali, lalu 7 kali, kemudian 11 kali, hingga akhirnya Sahl merasakan ketenangan sehingga pamannya menasehatinya untuk mengamalkan zikirnya hingga akhir hayatnya.

Ada yang mengatakan bahwa bilangan-bilangan ini memiliki isyarat tertentu, terlepas dari apakah pamannya bermaksud demikian atau tidak. Bilangan 3 mengisyaratkan bilangan sedikit untuk jamak dalam bahasa Arab, 7 untuk jumlah langit dan bumi dan jumlah hari dalam seminggu, serta 11 untuk jumlah rakaat maksimal dalam shalat witir.

***

Setelah merasakan kenikmatan dalam berzikir, Sahl mulai meningkatkan intensitas ibadahnya dengan menjalankan puasa dahr (puasa dengan sekali berbuka, yaitu pada waktu sahur) dengan hanya memakan roti gandum. Ibadah ini ia jalankan hingga usianya 12 tahun.

Kebiasaan berpuasa sedari kecil yang dijalani oleh Sahl terus berlanjut hingga dewasa. Bahkan bisa dibilang lebih “ekstrem” lagi. Ia bertekad untuk berpuasa selama tiga hari tiga malam, lalu lima hari lima malam, lalu tujuh hari tujuh malam, dan dua puluh lima hari dua puluh lima malam selama 20 tahun.

Sehingga uang satu dirham dapat ia gunakan selama setahun. Ia membeli gandum untuk membuat roti yang nantinya akan dipake sahur sekaligus berbuka.

Sahl kemudian meminta izin kepada keluarganya untuk pergi ke Bashrah menuntut ilmu, namun ia dinasehati untuk belajar hanya satu jam dalam sehari agar otaknya tidak kacau sehingga mengganggu dzikir dan ibadahnya.

Baca Juga  Perjalanan Spiritual dalam Imaji Fariduddin Attar

***

Dari sini dapat kita lihat bahwa Sahl telah menjalankan amalan sufi sejak usia kecil, terlebih lagi di usia 6 tahun ia telah hafal Al-Quran. Sehingga dapat kita asumsikan bahwa waktu bermainnya dihabiskan untuk berdzikir dan beribadah. Sungguh pemandangan yang luar biasa.

Meski waktu belajarnya hanya satu jam dalam sehari, Sahl termasuk murid yang aktif. Hal ini dapat kita lihat ketika ia menemui guru-gurunya untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya gelisah. Akan tetapi, tak satupun jawaban yang diberikan memuaskannya.

Akhirnya, Sahl hijrah ke Abadan, salah satu kota di Irak. Jaraknya kurang lebih 250 km. Di sana ia bertemu dengan ulama yang bernama Abi Hamzah bin Abdullah al-Abadani. Ulama inilah yang mampu memuaskan hati Sahl atas pertanyaan-pertanyaannya. Sahl pun menetap beberapa waktu untuk menimba ilmu dari Abi Hamzah. Ia banyak mempelajari tentang adab.

Pada tahun 219 H, Sahl berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sinilah ia bertemu dengan Dzun Nun al-Misri. Ia banyak menimba ilmu dari ulama Mesir ini terutama dalam hal tawakkal kepada Allah yang nantinya menjadi doktrin yang banyak ia jelaskan dalam tafsirnya.

Disebutkan bahwa, Sahl memiliki 3 guru yang sangat mempengaruhi hidupnya, yaitu Muhammad bin Sawwar yang merupakan pamannya sendiri sebagai guru spiritualnya, Abu Hamzah al-Abadani sebagai guru instrukturnya, dan Dzun Nun al-Mishri sebagai guru mistiknya.

Karyanya

Sahl tidak mau menerima mengajar atau menerima murid sewaktu Dzun Nun al-Mishri masih hidup. Sepeninggal Dzun Nun al-Mishri, barulah Sahl mulai menerima murid dan mulai berdakwah.

Sahl at-Tustari meninggal pada tahun 283 H di Irak.  Beberapa karya peninggalanya, di antarnya;

1.         Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Tafsir Al-Tustari).

Baca Juga  Sudut Pandang Islam Mengenai Perceraian

2.         Jawabatu Ahlu Al-Yaqin.

3.         Daqaiq Al-Muhibbin.

4.         Risalah fi Al-Huruf.

5.         Risalah fi Al-Hukmi wa Al-Tashawuf.

6.         Salsabil Sahliyah.

7.         Al-Ghayatu Liahli Al-Nihayah.

8.         Lathaif Al-Qashash Fi Qashash Al-Anbiya.

9.         Kitab Al-Ma`aridah wa Ar-Radda `Ala Ahli Al-Firqa wa Ahli Ad-Da`awa fi Al-Ahwal.

10.       Kitab Al-Mistaq.

11       Kalam Sahl.

12       Maqalah fi Al-Manhiyat.

13.      Manaqib Ahlul-Haq wa Manaqib Ahlullah `Azza wa Jalla.

14       Mawa’idz Al-‘Arifin.

Editor: An-Najmi Fikri R