Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mengenal Qasim Amin: Pejuang Emansipasi Wanita Asal Mesir

Sumber: https://www.algerie-penser-librement.com/

Emansipasi wanita menjadi keniscayaan. Mengingat, sosio-kultur masyarakat Mesir kala itu sangat memprihatinkan. Di mana kaum perempuan dipandang sebelah mata. Mereka tidak dihargai, bahkan dijadikan budak dan pemuas nafsu kaum laki-laki. Kondisi seperti ini tidak memberikan kebebasan berkehendak dan secara langsung membunuh kreativitas seorang perempuan dalam menentukan pilihan-pilihannya. Dari sini, tampak bahwa peran seorang perempuan kala itu menjadi sempit. Yakni hanya beraktivitas di dalam rumah laiknya seorang tahanan.

Budaya patriarki mengakar di tengah-tengah masyarakat Mesir kala itu. Hal ini, mengundang perhatian dari pelbagai tokoh atau pemikir Islam di Mesir. Di antara salah satu pemikir Islam yang merasa terpanggil untuk mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan, adalah Qasim Amin.

Kehadiran Qasim Amin, seakan menjadi angin segar bagi kaum perempuan Mesir. Pemikirannya memberi ruang serta kebebasan bagi kaum perempuan untuk memperoleh kedudukan yang sama dengan laki-laki. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya buku Tahrir al-Mar’ah (pembebasan perempuan) karya pertama Amin. Karya ini disambut dengan meriah oleh kaum perempuan mesir. Dan buku ini pula, yang mengilhami para aktivis kesetaraan gender. Lebih khusus, di kalangan perempuan Mesir dalam menyuarakan hak-hak mereka setelah Amin wafat.

Kehidupan dan pendidikannya

Qasim Amin dilahirkan di Thurah, wilayah pinggiran kota Kairo pada tahun 1863 M. Ayahnya bernama Muhammad Bek Amin, seorang keturunan Turki. Sementara ibunya, seorang perempuan Mesir asli dari Al-Said. Pendidikan pertamanya di Madrasah Ra’su al-Thin (Sekolah Dasar) tepatnya di wilayah Iskandariyah. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Tajhiziyah (tingkat Tsanawiyah) yang terletak di Kairo. Setelah itu, Amin menyempurnakan studinya ke sekolah tinggi hukum Madrasah Al-Huquq. Dan berhasil memperoleh ijazah licence pada tahun 1881 M.

Baca Juga  Memahami Syiah Lewat Teori Mnemonik

Setelah menyelesaikan studinya, Qasim Amin bekerja di sebuah kantor pengacara milik Mustafa Fahmi. Namun demikian, pekerjaan yang ia geluti tak berlangsung lama, sebab Amin kemudian berangkat lagi ke Prancis. Di sana, ia mendalami ilmu hukum pada Universitas Montpellier. Dan di universitas inilah ia berhasil meraih gelar sarjana hukum dan menjadi hakim.

Keberadaannya di Prancis, memberikan arti tersendiri bagi kehidupannya serta pemikirannya. Ia kemudian bertemu dengan beberapa tokoh pemikir pembaharu Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dari Abduh, Amin belajar bahasa Prancis. Pertemuannya dengan para pemikir pembaharu, memberikan kesempatan bagi Amin untuk ikut andil dalam penerbitan majalah Islam populer. Yaitu al-Urwah al-Wustqa yang berpusat di Paris.

Melalui majalah ini, mereka menyuarakan gerakan “nasionalisme”. Dengan spirit pembebasan masyarakat Mesir dari imperialisme-kolonialisme Barat, termasuk emansipasi wanita. Sekembalinya dari Prancis, Qasim Amin diangkat menjadi hakim di ­al-Mahkamah al-Mukhwalatah. Kemudian menjadi mustashar (hakim agung) pada mahkamah al-Isti’naf pada tahun 1892 M. Ia menjadi hakim hingga akhirn hayatnya.

Selain itu, Qasim Amin juga termasuk pemikir yang produktif. Di antara karyanya: Tahrir Al-Mar’ah (pembebasan perempuan), al-Mar’ah al-Jadidah (perempuan modern), Mishr wa al-Misriyyun, Asbab wa al-Nataji wa Akhlaq al-Awaiz, Tarbiyah al-Mar’ah wa al-Hijab dan Al-Mar’ah Al-Muslimah.

Gagasan Emansipasi Wanita Qasim Amin

Sebagai seorang reformis Islam dan hakim terkemuka di Mesir, Qasim Amin lantang menyuarakan pemikiran Feminismenya. Menurutnya, perempuan Mesir tidak saja terpinggirkan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, hingga tataran individu; hak-hak mereka sebagai individu telah direnggut oleh keyakinan Islam tradisional. Bahkan, hal ini didukung oleh teks keagamaan.

Dalam membela hak-hak kaum perempuan Mesir kala itu, Qasim Amin menerbitkan buku dengan judul Tahrir Al-Mar’ah (pembebasan perempuan). Isi dari buku ini, menuntut penghapusan “adat hijab” yang bagi Amin dianggap bertentangan dengan hakikat hijab dalam ajaran Islam. Selain itu, Amin menuntut agar perempuan Mesir mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak. Tak hanya itu, ia memberi konsep baru soal poligami dan perceraian. Karena baginya, dianggap telah banyak merugikan kaum perempuan di Mesir.

Baca Juga  Al-Qur'an dan Ketakutan Vaksin Oleh Masyarakat Indonesia

Kendati demikian, gagasan Qasim Amin tidak berjalan mulus. Banyak kecaman menyerang dari kalangan ulama Islam tradisional maupun beberapa tokoh nasionalis Mesir. Alih-alih pemikiran Amin patah akibat kritik, justru pemikiran Amin menjadi kuat dan relevan dengan para perempuan. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya buku al-Mar’ah al-Jadidah (perempuan modern), sebagai jawaban atas kecaman dan kritikan yang dilancarkan kepadanya. Di dalam buku ini, ia mengemukakan contoh-contoh konkret perbandingan antara perempuan Mesir, perempuan Eropa dan juga perempuan Amerika.

Wanita Wajib Memperoleh Pendidikan

Yang menarik dari pemikiran Qasim Amin tentang emansipasi wanita, adalah soal pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Menurutnya, pendidikan merupakan satu-satunya alat untuk membebaskan wanita dari praktik  budaya patriarki yang menyiksa mereka. Dengan memperoleh pendidikan, seorang perempuan dapat memperkuat perannya. Baik peranan di rana domestik dan publik.

Menurut Qasim Amin, perempuan yang menjadi ibu adalah “sekolah pertama bagi anak,”. Sehingga, perannya begitu besar untuk melahirkan generasi yang kuat dan cerdas. Namun, masyarakat Mesir kala itu menganggap pendidikan akan merusak akhlak. Perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan seperti laki-laki. Bahkan, ia tidak dibenarkan membaca buku oleh sebagian ulama di sana.

Beragam stigma tersebut ditentang dan ditolak oleh Amin. Karena menurut Amin, semakin tinggi pendidikan wanita, maka semakin tingga pula harkat dan martabatnya. Dengan demikian, mereka mampu menentukan pilihan dalam menghadapi pelbagai rintangan hidup yang mengitarinya. Di sisi lain, pendidikan juga akan memperindah akhlak.

Upaya yang dilakukan Qasim Amin adalah untuk mencapai kemakmuran masyarakat dan kepentingan bersama. Serta mengkontektualisasi ajaran Islam, yang sejatinya tidak menghendaki budaya patriarki. Karena, di antara semangat yang digaungkan Islam adalah untuk mengangkat harkat dan martabat seluruh manusia. Baik dari kalangan perempuan dan laki-laki, tanpa diskriminasi sedikit pun.

Baca Juga  Wacana Feminisme di Indonesia: Review Pemikiran Mahbub Ghozali

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho