Berbagai corak kehidupan dalam manusia—utamanya bagi seorang muslim—, tidak akan terlepas dari hasil interpretasi al-Quran. Namun, karena tafsiran al-Qur’an merupakan hasil karya manusia berdasarkan kemampuan dan tendensinya terhadap sesuatu, maka adanya peringkat-peringkat hasil karya penafsiran ini tidak akan dapat dihindari.
Masing-masing menarik sebuah ayat dari al-Qur’an dan kemudian menuangkan hasil tafsirannya. Walaupun hasil tafsirannya berbeda-beda, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa hampir semua tafsiran tersebut ada benarnya. Namun, sekali lagi, karena ia merupakan produk hasil pemikiran manusia, maka ia pula tidak akan lepas dari kesalahan dan atau bahkan sebuah interpretasi yang menyeleweng.
Jika tafsiran yang benar, legal dan valid diistilahkan mufasir sebagai al-ashîl, tapi kalau tafsiran yang menyeleweng atau illegal disebut dengan ad-dakhîl. Konsep al-ashîl dan ad-dakhîl ini merupakan sebuah konsep baru yang dihidangkan oleh ulama tafsir kontemporer, yaitu pada tahun 1980-an oleh Dr. Ibrahim Khalifah. Beliau merupakan Guru Besar dan mantan Ketua Prodi Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Namun, meski demikian, pada prakteknya, infiltrasi interpretasi (ad-dakhîl fi at-tafsîr) ini telah ada sejak zaman klasik.
Asal usul dari konsep infiltrasi (ad-dakhîl) ini ialah banyaknya ditemukan hasil penafsiran yang tidak relevan dengan pesan-pesan suci al-Qur’an. Bahkan, tidak sedikit yang sangat menyeleweng dari makna hakiki Al-Quran, yang dari semua itu akan berimplikasi terhadap ajaran agama islam.
Otentisitas dan Infiltrasi dalam Penafsiran Al-Quran
Sebelum mengetahui definisi dari infiltrasi interpretasi (ad-Dakhîl fî at-tafsîr) alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hakikat dari al-ashil. Sebab jika telah mengetahui al-ashil—antonim dari ad-dakhil— maka akan lebih mudah untuk memahami makna dari ad-dakhil tersebut.
Secara etimologi, al-ashîl berasal dari bahasa Arab al-ashl yang berarti asal, valid, dasar, pokok dan sumber. Fayrûz Âbâdî (w.817 H) dalam al-Qâmûs nya mengatakan bahwa al-ashl adalah dasar atau pondasi, sedangkan al-ashîl adalah orang yang memiliki asal usul jelas. Adapun secara terminologi, al-ashil fi at-tafsir ialah tafsir yang memiliki sumber rujukan dan dasar yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan, baik sumber itu berasal dari al-Qur’an, hadis sahih, pendapat sahabat dan tabiin yang valid, atau berasal dari rasio sehat yang memenuhi kriteria dan syarat ijtihad.
Adapun Ad-dakhil secara etimologi di antaranya ialah (a) orang yang berafiliasi kepada yang bukan komunitasnya, (b) tamu, disebut dakhîl karena ia masuk ke rumah orang lain yang dikunjunginya, (c) kata serapan, karena ia berasal dari bahasa asing. Sehingga secara terminologi ad-dakhil fi at-tafsir ialah penafsiran yang tidak memiliki landasan yang valid dan ilmiah, baik dari Al-Quran, hadis sahih, pendapat sahabat dan tabiin, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.
Beberapa tafsiran infiltratif bsia jadi datang dari dua arah, yaitu eksternal dan internal. Pertama dari sisi eksternal berupa tuduhan-tuduhan tidak berdasar yang dilemparkan oleh orientalis yang ingin memecah belah umat islam. Mereka memasukkan tafsiran-tafsiran berupa khurafat dan semacamnya demi tercapainya tujuan tercela mereka. Dan yang kedua, dari sisi internal, yaitu tafsir yang tidak valid disebabkan karena tidak terpenuhnya prasyarat ijtihad dan atau riwayat yang sumbernya tidak jelas, dan juga seperti dari golongan yang mengaku umat muslim. Di antaranya ialah yang dikenal dengan kelompok Bathiniyyah, sehingga, kelompok dari golonganini harus lebih diwaspadai.
Klasifikasi Bentuk Infiltrasi Interpretasi
Macam-macam tafsiran yang termasuk dalam kategori ad-dakhil ada banyak. Namun, Sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Ibrahim Khalifah dalam kitabnya ad-Dakhil fi at-Tafsir, beliau mengklasifikasikan ad-dakhil (infiltrasi) ke dalam dua jalur, jalur al-âtsâr (riwayat) dan jalur ar-ra’y (rasio).Yang pertama meliputi hadis maudhu’ (palsu), hadis dho’if, riwayat israiliyyat yang bertentangan dengan al-Quran dan sunnah, perbedaan pandangan di antara pendapat para sahabat dan tabiin yang bertolak belakang dengan al-Quran, sunnah dan hukum rasional, dan pendapat para sahabat dan tabiin yang tidak valid (maudhu’ alaihim).
Dan yang kedua yaitu jalur ar-ra’y (rasio) meliputi; Pertama, yaitu ideologi yang lahir dari kurang terpenuhinya syarat-syarat ijtihad, dan tidak sedikit dari ahli tafsir yang terjebak dalam infiltrasi semacam ini. Kedua, penafsiran yang bersifat distorsif tanpa memperhatikan sisi literal ayat, metodologi seperti ini sering disandarkan kepada sekte muktazilah dan sebagian filsuf muslim.
Ketiga, tafsir tektualis yang biasanya menyematkan sesuatu yang tidak pantas terhadap Allah, para penganut infiltrasi ini sering disebut dengan kelompok mujassimah. Keempat, tafsiran yang berlebihan dan condong kepada makna batin dan suluk, dan infiltrasi jenis ini banyak dikemukakan oleh kelompok tashawwuf falsafi. Kelima, penafsiran saintifik yang berseberangan dengan konteks linguistik ayat. Dan terakhir ialah tafsir yang didasari niat buruk dan skeptis terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Segala bentuk interpretasi yang bersumber dari dua jalur ini atau salah satu darinya akan tertolak dan wajib untuk diwaspadai. Sebab, ia tidak memiliki landasan yang valid, terlebih ilmiah.
Editor: An-Najmi Fikri R
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.