Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mengenal M. Quraish Shihab: Sang Maestro Tafsir Nusantara

Ahl al-Kitab

Biografi Intelektual

M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari 1944, di Kabupaten Dendeng Rampang, Sulawesi Selatan. Nama Shihab merupakan nama yang digunakan dalam keluarga besarnya. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Sejak umur sembilan tahun, ia sudah terbiasa mengikuti ayahnya mengajar. Ayahnya merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadian Quraish Shihab.

Sejak umur 6-7 tahun, ia juga sudah memfokuskan diri dalam mengkaji al-Quran bersama ayahnya. Begitupun dengan seorang ibu yang mendorong dirinya untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman. Hal demikian membuat dalam Quraish Shihab tertanam rasa cinta terhadap al-Quran dan kandungannya yang agung. Ia menamatkan pendidikan sarjananya di Fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir-Hadis di Universitas al-Azhar, Kairo (1967). Kemudian melannjutkan program magister di fakultas yang sama. Pada tahun 1980 ia melanjutkan program doktoral yang juga dalam fakultas yang sama dan lulus dengan predikat yudisium summa cumlaude.

Jabatan yang Pernah Diduduki

Sekembali setelah lulus S-2 ke kota kelahirannya, Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam lingkungan kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental.

Sekembalinya ke Indonesia setelah menyelesaikan studi S-3, sejak 1984 Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashhih al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989).

Baca Juga  Muhammadiyah The Protector Kaum Marjinal

Ia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; sebut saja misalnya: Pengurus Perhimpunan IlmuIlmu Syari’ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia juga pernah menjabat Menteri Agama pada detik-detik akhir era Orde Baru, yaitu Kabinet Pembangunan VII (1998).

Karir Sebagai Penulis

Yang tak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga sangat aktif sebagai penulis. Di harian umum Pelita, setiap rabu ia menulis dalam rubrik “Pelita Hati.” Dia juga mengasuh rubrik “Tafsir Al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota dewan redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama. Keduanya terbit di Jakarta.

Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, ada beberapa buku yang sempat diterbitkannya, yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988)

Selain itu yang terbaru juga ada; Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992). Buku ini merupakan salah satu karya best seller beliau yang terjual lebih dari 75 ribu kopi. Tafsir Al-Mishbah, Tafsir al-Qur’an Lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati). Pengantin Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 1999); Wawasan al-Qur’an. Serta masih banyak lagi karya-karya beliau yang tidak bisa disebutkan semuanya di sini. Semuanya kira-kira terdapat 69 buah karya.

Mengapa Diberi Nama Tafsir Al-Misbah?

Tafsir Al-Misbah dapat disebut sebagai maha karya Quraish Shihab dalam bidang tafsir. Kata al-Mishbah, secara semantik, identik dengan latar belakang penulisan tafsir ini, bahkan merepresentasikan perjalanan Quraish Shihab dalam pergumulannya dengan Al-Qur’an dan tafsir. Adapun alasan kenapa tafsir tersebut dinamakan dengan Al-Misbah adalah sebagai berikut:

Baca Juga  Dari Fundamentalis Menuju Teroris: Menguak Misteri Tujuan Para Teroris

Dari segi bahasa, al-Mishbah berarti lampu, pelita atau lentera. Hal itu mengindikasikan bahwa makna kehidupan dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia semuanya diterangi oleh cahaya al-Quran. Penulisnya mencita-citakan agar al-Quran semakin membumi dan kandungannya dapat dipahami oleh pembacanya.

Tafsir Al-Misbah ditulis pertama kali di Kairo ketika beliau menjadi duta besar di sana pada hari Jum’at, 18 Juni 1999 M/4 Rabiul awwal 1420, dan selesai ditulis pada hari Jum’at, 8 Rajab 1423 H /5 september 2003, di Jakarta. Tafsir Al-Misbah ditulis secara berseri terdiri dari 15 volume hingga 30 juz.

Dilihat dari jumlah volume Tafsir Al-Misbah dan masa tugas Quraish Shihab sebagai duta besar di Jibouti, Somalia, dan Mesir, maka tafsir ini sebagiannya ada yang ditulis di Indonesia. Terutama volume 11 sampai dengan volume 15 dan yang lainnya ditulis di Mesir. Ini penting untuk dicatat sebab seorang penafsir, pada umumnya, sering dipengaruhi oleh ruang sosial yang melingkupinya.

Indonesia, misalnya, pada akhir tahun 90-an mengalami tidak saja perubahan politik, tetapi juga dinamika pemahaman keagamaan. Misal, maraknya kesetaraan gender dan perlunya dibangun hubungan antar agama. Bagaimanapun pemahaman keagamaan tersebut juga merembes pada dunia tafsir al-Qur’an.

Alasan Menulis Tafsir Al-Misbah

Ada beberapa alasan kenapa Tafsir Al-Misbah ditulis, yaitu sebagai berikut:

Pertama, memberikan langkah mudah bagi umat Islam dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Quran dengan jalan menjelaskan secara rinci tentang pesan apa yang dijelaskan oleh al-Quran. Serta menjelaskan tema-tema yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan manusia. Karena menurutnya, walaupun banyak orang-orang yang berminat memahami pesan-pesan yang terdapat dalam al-Quran, namun ada kendala baik dalam waktu, keilmuan dan referensi.

Baca Juga  Mengenal Penafsiran Berbasis Ma’na cum Maghza

Kedua, kekeliruan umat Islam dalam memaknai fungsi al-Quran. Misalnya, tradisi membaca surah Yasin yang dibaca berkali-kali, tetapi tidak memahami apa yang mereka baca berkali-kali itu. Indikasi tersebut semakin menguat dengan banyaknya buku-buku tentang fadilah-fadilah ayat-ayat tertentu dalam buku-buku bahasa Indonesia. Dari kenyataan tersebut, perlu kiranya bagi beliau menjelaskan pesan-pesan al-Quran secara lebih rinci dan mendalam.

Ketiga, kekeliruan akademisi yang kurang memahami hal-hal ilmiah seputar ilmu al-Quran. Banyak dari mereka yang tidak memahami sistematika penulisan al-Quran yang sebenarnya memiliki aspek pendidikan yang sangat menyentuh.

Dan keempat, adanya dorongan dari umat Islam Indonesia yang menggugah hati dan membulatkan Quraish Shihab untuk menuliskan tafsirnya. Hal-hal demikian yang mendorong beliau untuk menuliskan karya tafsirnya tersebut.

Editor: Bukhari