Biografi Penulis: K.H. Ahmad Sanusi
Ahmad Sanusi lahir pada malam Jum’at, tanggal 12 Muharram 1306 H bertepatan dengan tanggal 18 September 1888 di Desa Cantayan, Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi. Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama K.H Abdurrahim bin H. Yasin (Ajengan Cantayan, Pemimpin Pondok Pesantren Cantayan).
Silsilah keturunan K.H Ahmad Sanusi adalah keturunan dari Suria Dadaha Dalem Sawidak Sukapura (Tasikmalaya). Akibat timbulmya pertentangan pemerintah Jajahan Belanda, maka H. Yasin bin Idham bin Nur Sholih berpindah dari Tasikmalaya ke Sukabumi. Kemudian ia mendirikan pesantren dan menjadi amil desa Cantayan, Kecamatan Cikembar, Sukabumi.
Ahmad Sanusi adalah seorang ulama terkemuka di Indonesia. Sosok kiai jenius yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Beliaulah yang menjadi rujukan penting perkembangan keilmuan Islam di Indonesia khususnya di Jawa Barat karena telah melahirkan kiai-kiai besar yang berpengaruh di tanah jawa ini.
Beliau merupakan sang pemikir dan pejuang yang gigih menentang kekuasaan Belanda hingga ia bersama sejumlah Kyai lainnya seperti KH. Wahid Hasyim, Moch. Yamin dan Kyai lainnya yang terlibat dalam merumuskan berdirinya negeri ini. Beliau patut mendapat penghargaan yang selayaknya. Apalagi keilmuan yang dimiliki oleh KH. Ahmad Sanusi adalah salah satu rujukan bagi ulama besar di Jawa Barat seperti KH. Zainal Musthafa, KH. Choer Affandy, KH. Abdullah bin Nuh serta nama besar Kyai lainnya yang pernah berguru pada KH. Ahmad Sanusi.
Latar Belakang Keilmuan Ahmad Sanusi
Ia merupakan sosok yang gigih dalam menimba ilmu. Sebagai seorang anak ajengan, sejak kecil Ahmad Sanusi beserta seluruh saudaranya didik di alam lingkungan religius. Proses pendidikan agama yang diterima Ahmad Sanusi dilakukan secara langsung oleh orang tuanya yang pada waktu itu telah mendirikan sebuah Pesantren Cantayan.
Proses pendidikan awal K.H. Ahmad Sanusi diberikan langsung oleh Ayahnya, K.H. Abdurahim. Pendidikan tersebut meliputi membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, praktik Ibadah, dan keilmuan yang lainnya hingga menggembala hewan-hewan. Menariknya, hewan-hewan yang harus digembalakan Sanusi disesuaikan dengan umur beliau.
Ketika menginjak usia tujuh tahun, dirinya diberi tugas untuk menggembalakan kambing. Tugas ini dijalani oleh Ahmad Sanusi sampai ia berusia sepuluh tahun. Selama lima tahun kemudian, dari umur sepuluh tahun hingga lima belas tahun, ia diberi tugas untuk menggembalakan kerbau. Baru ketika beliau menginjak usia 15 tahun ditugaskan menjaga kuda, memotong rumput, dan membersihkan kandangnya.
Namun demikian, pendidikan keagamaan yang lebih serius baru dijalani Ahmad Sanusi pada saat dirinya berusia sekitar 16,5 tahun. Sejak awal 1905 Ahmad Sanusi belajar di berbagai pesantren baik yang ada di Sukabumi maupun di luar Sukabumi. Sanusi setidaknya mesantren di Sembilan pesantren. Waktu yang diperlukan oleh Ahmad Sanusi untuk menimba ilmu di pesantren sekitar 4,5 tahun. Dengan demikian, kegiatan masantren yang dijalani Ahmad Sanusi di sebuah pesantren rata-rata selama enam bulan di setiap pesantren.
***
Setelah melanglang buana ke berbagai pesantren, pada tahun 1909, akhirnya Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi dan masuk ke Pesantren Babakan Salawi Baros Sukabumi. Ketika nyantri di Babakan Salawi Ahmad Sanusi bertemu dengan seorang gadis yang bernama Siti Djuwariyah putri Kyai Haji Affandi dari Kebun Pedes. Akhirnya ia menikahi gadis tersebut.
Pada tahun 1910 Ahmad Sanusi beserta istri berangkat ke Mekkah al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji ia beserta istri tidak langsung pulang kekampung halaman. Namun mereka bermukim di Mekkah al-Mukarromah selama 5 (lima) tahun untuk memperdalam pengetahuan agama Islam.
Dengan pengalaman dalam menimba ilmu yang sangat banyak, maka karya K.H Ahmad Sanusi pun tidak diragukan lagi. Jumlah karya tulis Ahmad Sanusi yang dipublikasikan banyak, A. Mukhtar Mawardi mencatat dan mengumpulkan karya Sanusi berjumlah 75 judul, adapun jumlah yang lebih banyak disebutkan Gunasikandu yaitu 101 karangan dalam bahasa Sunda dan 24 karangan dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan S. Wanta menyebutkan karya-karya KH. Ahmad Sanusi berjumlah 480 macam buku. Dan salah satu karyanya yang terkenal adalah Kitab Tafsir Raudhatul ‘Irfan yang menggunakan bahasa Sunda yang terdiri dari 2 jilid, pada jilid pertama berisi juz 1-15 dan jilid kedua berisi juz 16-30 dan pada jilid 1 terdapat 498 halaman serta pada Jilid 2 terdapat 1255 halaman.
Penulisan Kitab Raudhatu Al-’Irfan
Kitab Raudhatu Al-’Irfan adalah kitab tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda yang terdiri dari matan (teks al-Qur’an), terjemahan matan, dan syarah. Kemudian, disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung beraliran ‘Asy’ari dan masalah fikih yang mengikuti madzhab Syafi ’i. Kedua madzhab dalam Islam itu memang dianut oleh kebanyakan masyarakat muslim di wilayah Jawa Barat.
Penulisan Raudhatu al-‘Irfan merupakan mata rantai kegiatan kreatif Kyai Sanusi dalam mengungkapkan pikirannya melalui sarana bahasa sunda. Kitab tafsir pertamanya adalah Malja’al Thalibin fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin, tapi penulisannya hanya sampai juz 9 yang terdiri dari 28 jilid yang tipis-tipis.
Format naskah Malja’al-Thalibin tidak mengikuti format kitab keislaman klasik yang lazim karena di dalam Malja’al-Thalibin tidak dibedakan ruas untuk matan dan ruas untuk syarah. Dapat diperkirakan bahwa penafsiran K.H. Sanusi dalam Malja’alThalibin ada yang disampaikan dan ditulis kembali dalam Raudhatu al-‘Irfan.
Metode Tafsir Raudhatul Irfan Fi Ma’rifati al-Qur’an
Dalam menafsirkan al-Qur’an, K.H. Ahmad Sanusi menggunakan bentuk penafsiran bi al-Ra’yi, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufassirnya.15 Tafsir bi al-Ra’yi memberikan mufassir kebebasan, sehingga mereka lebih otonom berkreasi dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar.
Adapun metode tafsir yang digunakan oleh K.H. Sanusi adalah metode ijmali. Hal ini dapat kita lihat ketika beliau mengungkapkan ayat secara ringkas dan global tetapi cukup jelas. Karenanya tafsir yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Pola penafsiran ini cocok untuk para pemula dan disukai oleh umat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyarakat.
Corak Tafsir dan Sistematika Penyajian Kitab
Corak penafsiran yang digunakan oleh penulis dalam tafsir Raudhatul Irfan fi Ma’rifati al-Qur’an ini bersifat umum. Artinya penafsiran yang diberikan tidak didominasi oleh suatu warna atau pemikiran tertentu, semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa pesan khusus, seperti Aqidah, fiqih, dan tasawuf. Tetapi menjelaskan ayat-ayat tentang hukum-hukum fiqih dijelaskan jika terjadi kasus-kasus fiqhiyyah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Begitu juga dengan ayat-ayat muamalah, teologi, tasawuf, dan lain-lain.
Adapun penyajian tafsir yang dipakai dalam Tafsir Raudhatul Irfan fi Ma’rifati Al-Qur’an yakni runtut dengan mengikuti Mushaf Utsmani.
Adapun langkah-langkah K.H. Ahmad Sanusi dalam menafsirkan ayat adalah sebagai berikut:
- Menerjemahkan secara harfiyah ke dalam bahasa sunda.
- Menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tartib susunan al-Qur’an mushaf Utsmani.
- Maksud dijelaskan di sisi kanan dan kiri matan teks al-Qur’an dan terjemahan. Setiap ayat al-Qur’an diulas dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
- Mengemukakan asbabun nuzul, jumlah ayat, serta huruf-hurufnya.
- Tidak banyak mempersoalkan segi bahasa, seperti nahwu dan balaghah, tetapi lebih mengutamakan soal makna.
- Tidak sampai terperosok masuk ke persoalan paling detail, atau soal-soal yang bersifat parsial (juz’iyyat), tetapi langsung memasuki masalah yang bersifat universal (kulliyat)
Dalam tafsir Raudhatul Irfan fi Ma’rifati Al-Qur’an, K.H. Sanusi, sebagai ulama yang memahami segala aspek bidang keagamaan mengambil keterangan beberapa madzhab yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali serta pendapat madzhab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dalam hal ini memakai pemikiran teologi Asy’ariyah.
Editor: Ananul
Leave a Reply