Pada mulanya, kajian filologi merupakan bagian dari kesatuan kajian sastra. Di sini, kajian tersebut berperan sebagai wahana kajian dan kritik teks, termasuk penerjemahan naskah sastra kuno. Seiring dengan adanya perkembangan, filologi kemudian mengkristal dalam sebuah kajian mandiri. Ia juga tak jarang diadopsi dalam sebuah pendekatan dan paradigma pembacaan terhadap bidang keilmuan lainnya. Meski begitu, bayang pemahaman kebermulaan filologi dari kajian dan kritik teks melekat cukup erat.
Ketika kata filologi disebut, maka yang pertama kali terbersit adalah kritik, suntingan, dan terjemahan teks khas filologi naskah sastra. Hal semacam ini memang tidak sepenuhnya keliru. Namun memberikan dampak yang cukup berarti dalam menutup wawasan baru terhadap kajian tersebut sebagai sebuah pendekatan keilmuan, al-Qur’an misalnya. Fenomena semacam ini yang penulis jumpai dari para akademisi.
Kajian sementara kini yang menjadi concern penulis adalah mushaf-mushaf kuno. Pendekatan filologi tentunya menjadi piranti utama dalam membaca kajian ini, disertai dengan alat bantu lain dari rumpun yang sama, kodikologi.Masalah muncul ketika kajian yang penulis geluti ini dibawa menuju khalayak umum akademisi al-Qur’an.
Banyak di antara akademisi yang membandingkan atau bahkan melakukan kritik terhadap kemungkinan dilakukannya pendekatan filologi terhadap sebuah mushaf kuno. Masalah yang seringkali muncul adalah tahapan suntingan teks, “Mau melakukan suntingan teks atas mushaf al-Qur’an?,” begitu kira-kira pertanyaan yang sering kali dimunculkan.
Memang jika merujuk ulasan Prof. Oman Fathurahman dalam Filologi Indonesia: Teori dan Metode, ada setidaknya enam tahapan yang harus dilakukan oleh filolog. Salah satunya adalah suntingan teks. Namun jika mushaf al-Qur’an adalah objek yang akan dikaji, tahapan ini menjadi tidak mungkin untuk diterapkan. Mushaf al-Qur’an adalah korpus tertutup. Tidak mungkin melakukan ‘otak-atik’ di dalamnya, apalagi menyunting teksnya.
Namun realitanya, banyak juga kajian mushaf kuno yang menggunakan pendekatan filologi di dalamnya. Terkait hal ini, jurnal Suhuf dan Lektur Keagamaan Kementerian Agama menyajikan bukti yang begitu banyak terhadap kemungkinan diterapkannya pendekatan filologi pada kajian mushaf kuno. Beberapa di antaranya seperti Mushaf Popongan milik Islah Gusmian, muhaf kuno Jawa Timur milik Ali Akbar, khazanah mushaf kuno Madura milik Abdul Hakim, dan mushaf koleksi Subang dari Jajang A. Rohmana.
Penulis menyebutnya sebagai filologi mushaf kuno, untuk membedakannya dengan filologi naskah lainnya yang berbasis teks (bukan al-Qur’an). Jika mengacu pada tahapan yang telah disebutkan oleh Prof. Oman sebelumnya, maka suntingan teks merupakan tahapan yang tidak dapat dilakukan dalam filologi mushaf kuno. Alasannya seperti telah penulis singgung sebelumnya bahwa mushaf al-Qur’an merupakan korpus tertutup yang tidak membuka lagi pintu ‘otak-atik’, bahkan suntingan.
Tidak adanya tahapan suntingan ini lah yang penulis sebut sebagai adaptasi pendekatan filologi. Beberapa tulisan yang telah penulis sebutkan sebelumnya, juga menerapkan hal yang sama. Umumnya kajian mushaf kuno dengan pendekatan tersebut ditempuh dengan melakukan deskripsi dan pemetaan karakteristik naskah sesuai klaster yang dikehendaki pengkaji.
Deskripsi naskah berisi pemaparan secara jelas dan terperinci mengenai data-data yang termuat di dalam naskah. Alas naskah, catatan kepenulisan, iluminasi, kaligrafi, qira’ah, dan rasm ‘utsmaniy merupakan sebagian data yang dapat dituliskan dalam ulasan deskripsi. Data-data ini kemudian dipetakan dalam kategori tertentu untuk mengetahui karakter dari mushaf kuno yang tengah dikaji.
Masalah semacam ini menunjukkan bahwa filologi sebagai pendekatan kajian keilmuan, terkhusus mushaf al-Qur’an, masih belum banyak diketahui. Hal ini tidak mengherankan mengingat minat terhadap kajian tersebut secara umum masih sangat minim. Praktis, hal-hal yang berkaitan dengannya menjadi terpinggirkan. Namun hal tersebut tidak lantas menutup kemungkinan adaptasinya sebagai salah satu pendekatan dalam kajian mushaf al-Qur’an. Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply