Latar Belakang Kepenulisan
Berikut penulis sedikit uraikan beberapa alasan Imam al-Bagahwi dalam menulis kitab tafsirnya. Pertama,karena permintaan para sahabat Imam Baghawi. Mereka meminta untuk menulis kitab tafsir untuk menyingkap isi kandungan Al-Qur’an. Kedua,sebagai pengejawantahan wasiat Rasulallah SAW. Ketiga, mengikuti jejak langkah ulama-ulama terdahulu. Yaitu untuk membukukan ilmu yang diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Dalam penyusunan kitab tafsir ma’alim at-tanzil, Imam Al-Baghawi, menuturkan bahwa pengejawantahan tafsirnya, tidak terlalu panjang ataupun pendek. Namun, pungkas beliau, hal tersebut memilki alasan tersendiri. Yaitu sebagai konsekuensi roda zaman serta peradaban yang berkembang sedemikian rupa. Oleh karenanya, banyak lahir hal-hal baru yang tidak terdapat pada era dekade sebelumnya. Sehingga membutuhkan jawaban yang digali lewat kitab suci Al-Qur’an. Sementara kebanyakan kitab tafsir tersusun dengan amat sangat panjang.
Di sisi lain, Imam Baghawi mendambakan lahirnya kitab tafsir singkat tapi padat. Oleh karenanya, ia menyusun kitab tafsir ini, dengan tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek. Namun demikian nyatanya kitab tafsir karyanya, justru banyak mempengaruhi kitab-kitab tafsir generasi setelahnya. Sebut saja, tafsir al-Khazin, yang banyak dipengaruhi tafsir Imam Baghawi. Hal tersebut nampak jelas dari nama kitab tafsir itu sendiri, yaitu, lubab al-ta’wil fi ma’ani al-Tanzil. (Nur, 2015, h. 149-150)
Biografi Imam Al-Baghawi
Ulama tafsir ini bernama lengkap, al-Allamah Syaikh Abu Muhammad al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad al-Baghawi. Nama al-Baghawi sendiri merupakan penisbatan negeri Baghsyur atau bagh yang bertempat di distrik Khurasan. Dalam bidang fiqih, Imam Baghawi identik dengan madzhab syafi’i. Nuansa keilmuanya memang cukup menyelimuti kehidupanya. Berangkat dari talaqqi bersama para ulama, hingga berdampak pada penguasaan keilmuanya. Baik itu dibidang tafsir, fiqih, hingga hadist.
Kepribadian ulama tafsir ini juga, cenderung hidup secara zuhud, wara’, hingga disebut sebagai sosok yang terkesan jauh dari gemerlap kemewahan. Pernah suatu ketika, beliau hanya memakan roti hanya dengan minyak saja. Keadaan seperti ini berlangsung mulai dari pemuda, hingga beliau beranjak dewasa. Maka, wajar saja. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “beliau adalah bahru fi al-ulum (lautanya ilmu) seorang tokoh ilmuan di zamanya. Selain itu, beliau juga seorang yang wara’, zuhud, serta seorang hamba Allah SWT yang sholeh.” Senada dengan hal tersebut, as-Subkhiy, mengatakan, “beliau merupakan lautan ilmu, dengan berbagai dimensi keilmuanya, berangkat dari tafsir, hadist, hingga fiqih, serta muhyiu as-Sunnah wa ruknu ad-Din (penghidup sunnah dan tiang agama).”(Nur, 2015, h. 143-145)
Imam al-Baghawi di Mata Para Ulama
Sementara itu, seorang ulama bernama al-Hafidz Imam al-Dzahabi pun, memberikan komentarnya tentang Imam al-Baghawi. Bahwa beliau merupakan shohibu tashonif (pengarang produktif), syaikhul Islam, al-Qudwah, serta muhyi as-Sunnah (orang yang menghidupkan sunnah). (Nur, 2015, h. 145)
Banyak mutiara hikmah yang mampu di telisik lebih jauh dari seorang ulama bernama lengkap, Syaikh Abu Muhammad al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad al-Baghawi. Sebagai pakar tafsir, beliau mengatakan, bahwasanya kitab suci Al-Qur’an mempunyai dua dimensi pemahaman. Pertama, dimensi dhohir, yang dipahaminya dengan tilawah (membaca). Sementara yang kedua, dimensi bathin. Yaitu dengan cara tafahhum (memahaminya). (Nur, 2015, h. 145)
Manhaj, Corak dan Karakteristik
Selanjutnya, berkaitan dengan manhaj (sumber penafsiran) dan corak serta karakteristik tafsir ma’alim at-Tanzil. Pertama, berkaitan dengan manhaj tafsir ma’alim at-Tanzil, yaitu ber-manhaj al-atsariy an-nazariy dengan menggunakan Al-Qur’an, sunnah, perkataan sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, serta lughah.
Sementara corak serta karakteristik tafsir ma’alim at-Tanzil, yaitu fiqih. Hal tersebut nampak jelas, dikarenakan sangat banyak cakupan bahasanya mengenai hukum-hukum seputar konteks fiqih.Salah satunya, saat mengkaji bahasan keharaman untuk membunuh jiwa seseorang, al-Baghawi dengan secara panjang lebar memabahas permasalahan tersebut. (Nur, 2015, h. 146)
Sementara sumber penafsiran tafsir ma’alim at-Tanzil. Pengarang kitab kasyfu al-zunun, mengungkapkan bawasanya tafsir ma’alim at-Tanzil, berisi wejangan yang banyak mengutip pendapat para sahabat serta ta’biin. Di sisi lain, wejangan tafsir di dalamnya tidak memberikan batasan pada atsar-atsar saja. Namun, justru yang paling mendominasi yaitu tafsir bil ma’tsur. Imam al-Baghawi senantiasa memilah serta memilih di antara atsar-atsar yang disandarkan kepada Rasululallah SAW. serta tidak ada tempat bagi atsar-atsar yang maudhu (palsu) dan tidak jelas sumbernya.
Alasan Menggunakan Metode bil-Ma’thur
Oleh karenanya dalam muqaddimah tafsirnya, seorang Imam Baghawi, menyatakan sebagai berikut: Motivasi dalam menyebutkan hadist-hadist Rasulallah SAW dalam kitab tafsir ini. Yaitu berasaskan bahwa umat Islam membutuhkan penjelasan dari hadist, dalam memberikan penjelasan ayat-ayat dan hukum-hukum. Dikarenakan hadist merupakan poros prestisius penting syariat dan urusan agama. Yang kemudian diambil dari kumpulan-kumpulan hadist yang secara umum digunakan, yang dimotori oleh para huffadz (penghafal) serta pakar hadist. Dengan serta merta menjauhi dan berpaling untuk mencantumkan riwayat-riwayat yang mungkar serta ditolak. Serta menolak apapun yang tidak layak serta tidak berkaitan dengan masalah tafsir. (Nur, 2015, h. 148-149) Wallahua’lam.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.