Setiap negara tentu memiliki sejarah, kondisi sosial budaya, tantangan dan perjuangan yang berbeda, begitu halnya dengan tokoh kebangkitan.
Jika di Indonesia dikenal banyak dari kalangan santri sekaligus pahlawan nasional seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, atau yang telah ada sebelum dan sesudahnya, seperti Pangeran Diponegoro, Jendral Sudirman, dan masih banyak lagi, sepertinya memang perlu untuk sejenak mengenal tokoh serupa yang berada di belahan negara lain seperti Aljazair.
Aljazair adalah sebuah negara di benua Afrika Utara, bertetangga dengan Libya, Mali, Tunisia dan Maroko dan pernah dijajah oleh Perancis.
Jika KH Ahmad Dahlan masyhur karena mendirikan Muhammadiyah, atau KH Hasyim Asy’ari dengan Nahdhatul Ulama, tokoh luar negeri yang memiliki kisa, perjuangan dan sama-sama menjadi pahlawan adalah Abdul Hamid ibnu Badis ash-Shanhaji. Ibnu Badis, sebagaimana lebih masyhur di kalangan masyarakat Aljazair adalah seorang ulama yang mendirikan organisasi bernama “Jam’iyyatul Ulama’ al-Muslimin al-Jazairiyyin” yang diartikan sebagai “Organisasi Ulama Islam Aljazair”.
Tentu penyandingan Ibnu Badis dengan Ahmad Dahlan tidaklah serupa seratus persen. Hal itu dikarenakan banyaknya perbedaan latar belakang sosial, budaya dan kondisi, sekalipun keduanya bisa dikatakan berada pada masa yang sama dengan beberapa kemiripan. Tampaknya keduanya merupakan aktor inti gerakan reformasi dunia Islam di negara masing-masing pada masa yang sama.
Kelahiran dan Keluarga
Ibnu Badis dilahirkan di Konstantine, sebuah kota besar di Aljazair sebelah timur pada 3 Desember 1889 M, di tengah keluarga yang memiliki tradisi ilmiah cukup tinggi, dan telah hafal Al-Quran pada usia 13 tahun. Ayahnya, Mustafa Ibnu Badis adalah seorang tokoh terkemuka di kotanya, seorang penghapal Al-Quran, seorang Qadhi (hakim pemutus perkara) dan anggota Majelis Tinggi Aljazair, dan merupakan salah seorang keturunan tokoh “ningrat” terkemuka bernama al-Mu’iz Ibnu Badis, proklamator berdirinya Daulah Sonhajiyah yang berhaluan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan memisahkan diri dari Daulah Fathimiyyah yang didominasi Syi’ah. Ibnu Badis wafat di kota kelahirannya pada 16 April 1940 M dan diperingati sebagai “Yaum al-Ilmi” di Aljazair sebagai hari peringatan wafatnya.
Ibnu Badis dikenal sebagai salah seorang pelopor reformasi di Aljazair, ulama pejuang umat Islam di Konstantine, sekaligus sebagai seorang mujaddid (pembaharu) dan mushlih (reformis) dan menyerukan kebangkitan umat Islam sekaligus yang mendesain jalan untuk mencapai kebangkitan itu. bahkan dikenal sebagai pelopor gerakan reformasi dan kebangkitan ilmu pengetahuan di Aljazair.
Ibnu Badis mengajarkan tafsir Al-Quran selama 15 tahun dengan kajian rutin harian, selain juga mengajarkan kajian kitab al-Muwaththa karya Imam Malik, serta dasar-dasar politik Islam. Selain itu Ibnu Badis juga kerap menulis di berbagai media massa dan giat mengkritik penjajahan Prancis. Giat melakukan kaderisasi dengan kajian-kajian di masjid dan sekolahnya.
Riwayat Pendidikan
Sejak belia Ibnu Badis mempelajari ilmu-ilmu agama dan bahasa di Masjid Sayyidi Muhammad an-Najar. Kemudian di usia mudanya Ibnu Badis merantau ke Tunisia dan menjadi mahasiswa di Universitas Zaitunah dan menjadi murid beberapa ulama masa itu seperti Muhammad an-Nakhli al-Qayruni, Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, Muhammad al-Khidr bin Husain dan masih banyak lagi.
Setelah setahun menjadi mahasiswa di Tunisia, Ibnu Badis kembali ke Aljazair dan menjadi pemateri kajian kitab “Asy-Syifa” karya al-Qadhi Iyadh, hingga kemudian dihentikan oleh pemerintah Perancis.
Ibnu Badis menunaikan ibadah haji pada tahun 1913 dan bermukim di Madinah selama tiga bulan dan berguru dengan Syaikh al-Basyir al-Ibrahimi, seorang ulama Aljazair yang tinggal di Madinah, yang kemudian hari bersama Ibnu Badis turut mendirikan Jam’iyatul Ulama al-Muslimin Aljazairiyin, dan bersama ulama Aljazair lainnya, hingga sempat menjadi pemateri kajian di Masjid Nabawi.
Ibnu Badis hampir saja tinggal di Madinah seumur hidupnya, akan tetapi dirinya memutuskan untuk kembali ke Aljazair. Ketika akan kembali ke Aljazair, Ibnu Badis berjumpa dengan seorang Mufti Mesir bernama Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i yang turut memberikan dukungan tertulis padanya.
Perjuangan Ibnu Badis
Ibnu Badis dalam perjuangannya menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Sehingga Ibnu Badis mendirikan kantor urusan pendidikan dasar Arab pada tahun 1926 dan mendirikan sekolah “Jam’iyyatut Tarbiyah wal Ta’lim al-Islamiyah”, sebuah organisasi yang memiliki sekitar 170 cabang di seluruh Aljazair. Ibnu Badis menyebarkan pemikiran reformisnya dengan banyak menulis di surat kabar “al-Muntaqad” dan “al-Syihab”, dua media yang dipimpin olehnya yang terbit pada tahun 1925.
Pada tahun 1931 Ibnu Badis beserta 72 ulama dari berbagai latar belakang mazhab mendirikan Jam’iyyatul Ulama al-Muslimin al-Jazairiyyin dan menjadi ketua umumnya. Organisasi ini memiliki slogan “Islam agama kami, bahasa Arab adalah bahasa kami, Aljazair adalah tanah air kami”. Slogan ini kental dengan nuansa keislaman dan nasionalisme serta penegasan bahwa bahasa Arab tidak akan punah dengan keberadaan organisasi ini. Tentu berkaitan dengan kondisi di masa berdirinya, dimana penjajahan Perancis mengancam berbagai kebudayaan Islam dan Arab di Aljazair.
Pada tahun 1936, Ibnu Badis diundang untuk menghadiri Kongres Islam di Aljazair untuk mencegah merebaknya pemikiran berkaitan dengan penyatuan Aljazair dengan Perancis.
Karya
Seumur hidupnya, Ibnu Badis tidak memiliki karya yang ditulis olehnya sendiri dan disebarluaskan. Sehingga disebut bahwa “dia menulis (mencetak) para tokoh, tetapi tidak menulis karya”. Akan tetapi para muridnya menulis banyak pelajaran dan mengumpulkannya menjadi karya yang mengabadikan pemikirannya. Seperti beberapa karya berikut :
Tafsir Ibnu Badis, yang disusun oleh Ahmad Busyimal tahun 1948, dicetak oleh Kementerian Agama Aljazair dengan judul “Majalis at-Tadzkir min Kalam al-Hakim al-Khabir” pada tahun 1982. Kemudian dicetak ulang oleh Kementerian Agama Aljazair dengan judul “Majalis at-Tadzkir min Hadits al-Basyir an-Nadzir” pada tahun 1983.
Kemudian kitab “al-Aqaid al-Islamiyah min al-Ayat al-Quraniyyah wa al-Ahadits al-Nabawiyah” yang disusun dan dicetak oleh muridnya, Muhammad al-Shalih Ramadhan tahun 1963 dan dicetak ulang oleh Syaikh Muhammad al-Hasan Fudhala’ tahun 1984.
Begitu juga kitab “Rijal as-Salaf wa Nisa’uhu” yang disusun oleh Taufiq Syahin dan Muhammad al-Shalih Ramadhan tahun 1966. Serta kitab “Mabadi al-Ushul” yang disusun oleh Dr. ‘Amar Thalibi tahun 1988.
Selain tulisan-tulisan, pidato, sya’ir yang terdapat di berbagai media cetak masa itu seperti “al-Muntaqad”, “al-Syihab”, “an-Najah”, “asy-Syari’ah al-Muthaharah”, “as-Sunnah al-Muhammadiyah” dan “al-Bashair”.
Jadi, seberapa mirip Ibnu Badis dan Kyai Haji Ahmad Dahlan ?
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.