Contoh Tafsiran Infiltratif
Pertama, tafsiran yang diajukan oleh kelompok Muktazilah yang bersifat distorsif ialah firman Allah “إلى ربها ناظرة”. Mereka mendistorsi kata nâdzirah yang bermakna “melihat” menjadi kata “muntadzir” yang berarti menunggu. Hal tersebut berangkat dari ideologi mereka yang meyakini bahwa Allah itu tidak dapat dilihat.
Kedua, infiltrasi dari kelompok penganut Tashawwuf Falsafi, yaitu mereka menginterpretasikan kata “بقرة” dalam firman Allah “إن الله يأمركم أن تذبحوا بقرة” dengan makna nafsu hewani. Dan contoh lainnya berasal dari kelompok Mujassimah yang bersifat tektualis dan menyematkan sesuatu yang tidak pantas terhadap Allah, yaitu dalam firman-Nya “يد الله فوق أيديهم”, mereka manafsirkan ayat tersebut secara makna lahiriahnya, yaitu tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka.
Faktor Munculnya Hadis-hadis Palsu dalam Infiltrasi Interpretasi
Seperti yang dibahas sebelumnya, dalam pembagian infiltrasi dari jalur riwayat (al-atsar) di antaranya ialah hadis palsu (maudhu’). Sebagian orang berusaha menafsirkan Al-Quran dengan hadis-hadis palsu, yang pastinya itu semua tidak terlepas dari beberapa faktor.
Di anatara faktor-faktor tersebut ialah kebencian yang memuncak terhadap Islam sehingga mereka sengaja membenturkan nas-nas dengan aktual. Sebagai contoh ialah mereka membuat hadits palsu “الباذنجان شفاء من كل داء” yang berarti “Terong adalah obat dari segala penyakit”. Syekh Zarkasyi dalam Maqâshid-nya menegaskan bahwa hadits ini batil dan tidak memiliki dasar, dan pastinya menyalahi hasil penelitian ilmiah.
Faktor selanjutnya ialah fanatisme berlebihan dan tendensi terhadap sebuah golongan. Faktor ini menggiring penafsir untuk tidak bersifat objektif dalam menafsirkan. Contohnya ialah kelompok Syiah yang memalsukan hadis dalam memuji-muji sahabat Ali radhiallahuanhu tapi menghina sahabat Muawiyah radhiallahuanhu dan kemudian menjadikan hadis-hadis palsu tersebut sebagai rujukan penafsiran dan atau sebagai sabab an-nuzûl dari beberapa ayat Al-Quran. Hal yang sama juga dilakukan oleh sekte-sekte lainnya semisal Khawarij, Murjiah dll.
Contoh lain dari fanatik ini ialah tendensi terhadap kelompok madzhab fikih tertentu untuk mendukung imam madzhab mereka dan mencela kelompok madzhab lainnya. Seperti yang dicontohkan oleh Imam as-Suyuti (849-911 H) dalam tadrîb ar-rôwî-nya yaitu hadis yang berbunyi :
يكونفي أمتي رجل يقال له محمد بن إدريس أضر على أمتي من إبليس، ويكون في أمتي رجل يقال له أبو حنيفة وهو سراج أمتي
Artinya: “Akan ada pada umatku seorang lelaki yang bernama Muhammad bin Idris, dia lebih berbahaya bagi umatku daripada iblis. Dan akan ada pada umatku seorang lelaki yang bernama Abu Hanifah, dia merupakan pelita umatku.”
Implikasi Terhadap Infiltrasi Penafsiran
Dan faktor lainnya ialah ketidaktahuan. Niat mulia tanpa dibarengi pengetahuan akan berimplikasi terhadap kebaikan tersebut. Seperti contohnya seorang pendakwah yang memiliki niat baik tapi dibarengi ketidaktahuannya sering membuat hadis palsu demi mengangkat keutamaan-keutamaan (fadhîlah) surah atau ayat tertentu agar meningkatkan kegemaran dalam membacanya.
Dalam catatan Imam as-Suyuti (849-911 H), orang-orang yang seringkali membuat hadis palsu dengan niat baik tanpa didasari ilmu pengetahuan adalah Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abu Maryam (w.173 H), Maysarah ibn ‘Abdi Rabbih, Bazî‘ ibn Hassân dan Mukhlid ibn ‘Abd al-Wâhid.
Masih terdapat faktor-faktor lain yang penulis ingin kemukakan, namun karena tulisan ini tidak lebih hanya sebatas pengenalan terhadap konsep ad-dakhil fi at-tafsir. Maka penulis menyarankan untuk merujuk ke sumber pencetus konsep ini, Dr. Ibrahim Khalifah yang kitab karangan beliau mengenai konsep ini dapat mudah ditemukan di beberapa perpustakaan. Sekian dan semoga bermanfaat.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply