Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mengenal Batas Diri: Refleksi atas Sengkarut Media Sosial

Batas
Gambar: https://bigevo.com/

Dalam segala hal, kita bersepakat bahwa awal dari segala kehancuran dan kesemrawutan hidup lahir sikap terlalu mengedepankan hawa nafsu. Ada banyak cerita atau kisah yang memvalidasi kaidah ini. Kita dapat melihat bagaimana Fir’aun ditenggelamkan dan diluluhlantakkan oleh Allah saat ia sudah melampaui batas dan berani mendeklarasikan diri sebagai ‘tuhan’.

Fir’aun tak sadar ia adalah manusia biasa yang tentu tak akan pernah menjadi Tuhan. Begitupun dengan kisah-kisah pemimpin otoriter dan diktator. Mereka mengira kekuasaan yang digenggamnya akan senantiasa membersamainya. Di negeri tercinta, kita pernah melihat Soeharto, sang jenderal yang berkuasa selama 32 tahun, harus turun tahta setelah didesak paksa oleh massa.

Apa yang membuat tokoh-tokoh itu mendapatkan nasib yang malang? Tak lain karena sikap mereka yang tamak, jemawa dan tidak mengenal batas. Padahal di dunia ini segala sesuatu ada batasnya. Mereka yang tidak mengenal batas hanya akan mempercepat dirinya menuju kehancuran. Begitupun dengan sikap merasa paling tahu dan tidak bisa mengukur diri. Sikap ini, jika terus-menerus dipelihara, akan menghadapkan kita pada marabahaya.

***

Hari ini ketika media sosial telah menjadi dunia baru bagi umat manusia, banyak dari manusia yang menjadi lupa diri. Sebab di media sosial, hampir semua orang diposisikan “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Tak ada keistimewaan tertentu di sana. Suara orang awam dan professor dihitung sama. Karena itulah, banyak juga yang menyebut era media sosial ini sebagai era matinya kepakaran.

Kita tentu tak akan lupa bagaimana saat dulu penyakit Covid-19 sedang ganas-ganasnya menyerang seluruh warga dunia, termasuk Indonesia. Saat awal-awal, banyak orang bebal di Indonesia yang tidak percaya akan penyakit ini. Mereka dengan percaya diri membantah ucapan para dokter dan ahli medis. Padahal, baik dokter dan ahli medis, telah berusaha meyakinkan dan menjelaskan dengan gamblang secara saintifik soal penyakit berbahaya satu ini.

Baca Juga  Lima Faedah Puasa Syawal Usai Ramadhan

Inilah yang salah satu menjadi keresahan kita atas kehadiran media sosial. Kita jadi tak menghargai seorang pakar, ahli, professor, ulama dan orang-orang berilmu. Semua ingin merasa setara dan berhak berbicara atas segala isu kendatipun di luar kemampuan dan kapasitas. Karena itu, dalam mengurai masalah, kita bisa sejenak merefleksikan salah satu ayat dalam Al-Qur’an, yakni surah al-Isra ayat 31.

Dalam ayat ini Tuhan dengan tegas memperingatkan, “wa la taqfu ma laisa bihi ‘ilm (janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui)”. Perintah Al-Qur’an sangat jelas, jika kamu ingin selamat, maka jangan sekali-kali memasuki sesuatu yang bukan ranahmu.

***

Kesadaran inilah yang raib dari kita. Kita merasa bahwa semua isu dan bidang adalah ranah kita. Makanya tak heran, jika sedang berselancar di media sosial, kita akan menemukan jenis-jenis orang semacam ini. Ketika bermain medsos, mereka sering tak pandang bulu dan asal hantam. Ulama yang kredibel dan telah lama belajar agama di pondok pesantren, bisa didebat oleh mereka. Bahkan mereka bisa punya tolak ukur untuk menilai ulama ini benar atau tidak.

Marwah ulama seketika runtuh di mata orang-orang bebal dan merasa paham atas segala sesuatu ini. Tak cuma ulama, ahli-ahli di bidang lain juga mendapat perlakuan yang sama. Entah itu ahli politik, ekonomi, kedokteran dan semacamnya. Media sosial telah menjadi wahana yang menakutkan dan menyeramkan. Data-data objektif yang mereka sajikan bisa tak berarti apa-apa. Apalagi jika di benak mereka, meminjam bahasa Gadamer, telah tersimpan pra-pemahaman atau sesuatu yang sebelumnya telah diyakininya benar.

Pra-pemahaman yang ada di benak mereka akan memberontak jika disodorkan pandangan yang berbeda dan kontradiksi. Sebab yang mereka yakini bahwa pendapat merekalah yang benar. Segala yang berbeda dengan yang diyakininya pasti salah. Ia telah terjebak pada fanatisme buta.

Baca Juga  Tahun Baru : Mahasiswa Ilmu Tafsir dan Hadits Harus Apa?

Apalagi saat-saat momentum politik kemarin. Tak peduli apa yang disampaikan oleh televisi, media, pengamat dan segala macamnya. Mereka hanya akan mendukung berita yang mengakomodasi kepentingan mereka dan menyerang siapa saja yang tak sepaham.

Mungkin di satu sisi sikap bebal dan membantah ini baik. Karena akan melatih seseorang menjadi kritis. Mereka jadi tak gampang percaya. Namun sering kali gugatan mereka atas sesuatu, bukan didorong atas sikap kritis yang berpaku pada “benar” dan “salah”. Sebaliknya, dalam bersikap mereka sering kali didorong oleh sikap fanatisme buta yang ukurannya pada like and dislike, suka atau tidak suka.

***

Sudah barang tentu, sikap semacam itu adalah contoh konkrit yang sikap yang melampaui batas. Padahal agama dengan terang dan tegas mengutuk sikap ini. Karena sebagaimana ditegaskan berulang kali, sikap tidak mengenal batas inilah yang akan mempercepat kehancuran suatu kaum dan bangsa.

Dan tanda-tanda menuju kehancuran itu dengan sangat gampang kita dapati saat ini, yakni bangsa kita menjadi mudah diprovokasi, dekat dengan kebodohan dan tidak memiliki penghargaan yang layak atas ilmu pengetahuan. Jika tidak segera diperbaiki, maka kita tinggal hanya menunggu waktu.

Penyunting: Bukhari  

Dr. Desri Arwen, M.Pd
Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Banten