Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mengenal Abdul Rauf Sinkel: Mufasir Pertama dari Indonesia

Abdul Rauf
Sumber: Tanwir.id

Hadirnya Islam di bumi nusantara diduga sudah ada sejak abad 13, meskipun banyak yang masih berselisih, sekitar abad itulah menurut Azra, Islam datang. Tafsir memegang peran penting dalam memahamkan umat untuk mengenal ajaran Islam. Kajian tafsir yang makin berkembang saat ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari para pendahulunya.

Pengkajian literatur tafsir Indonesia menjadi penting, selain melihat sepak terjang kehadiran Islam, sejarah intelektual Islam lewat kegiatan tafsir-menafsir perlu digali. Selanjutnya dalam tulisan ini berusaha mengenalkan salah satu tokoh mufasir Indonesia, Abdul Rauf Singkel. Adapun karya tafsirnya, Tarjuman al-Mustafid, sampai saat ini dianggap sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa Melayu yang ada. Tafsir ini, menurut Hasjimi, disusun pada masa pemerintahan Safiatuddin

Biografi Abdul Rauf Sinkel

Nama lengkapnya adalah Abd. Rauf bin ali al-Jawi al-Fansuri. Beliau adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkel, di wilayah pantai barat laut Aceh namanya dinisbatkan kepada tempat kelahirannya menjadi Abdul Rauf al-Singkili. Ada juga yang menisbatkan nama beliau dari ayahnya dan dari tempat kelahiran ayahnya yakni al-Fansuri, al-Jawi dan al-Ashi

Tahun kelahiran dari Abdul Rauf Singkel belum diketahui secara pasti, Harun Nasution menyebut bahwa ia lahir sekitar tahun 1001 H/ 1593 M, dan Voerhoove menyebut tahun 1620. Menurut Rinkes, ‘Abd. Rauf diperkirakan lahir pada tahun 1024 H. atau 1615 M., Rinkes menyatakan hal ini setelah ia melakukan kalkulasi berdasarkan waktu kembalinya Abd. Rauf dari Timur Tengah ke Aceh, 1661 M.

Latar belakang keluarganya secara pasti tidak diketahui. Hasjimi menyebut nenek moyang Abd. Rauf berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudra Pasei pada akhir abad ke 13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Sumatra Barat.

Pendapat lain menyebut keluarga ini bersilsilah ke Arab. Syekh Alial-Fanshuri (ayah Abdul Rauf) diperkirakan berasal dari Arab yang kemudian kawin dengan seorang wanita pribumi, dan selanjutnya mereka tinggal di Sinkel.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 28: Mati Lalu Hidup

Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh orang Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 246). Beliau dikenal dengan sebutan gelarnya yang terkenal yaitu Syiah Kuala (dalam bahasa Aceh, Syekh Ulama di Kuala).

Perjalanan Intelektual

Adapun perjalanan intelektual Abdul Rauf bermula dari desa kelahirannya, yaitu Sinkel. Dalam catatan Hasjmi, ayahnya, Syekh Ali al-Fanshuri adalah seorang alim yang mendirikan sebuah madrasah yang didatangi murid-murid dari berbagai tempat di kesultanan Aceh.

Beliau melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Arabia meliputi Doha, Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya ke Makkah sambil menunaikan ibadah haji dan ke Madinah, memakan waktu selama 19 tahun pada sekitar 1052/1642.

Dalam petualangannya ini Abdul Rauf telah berhasil menjalin hubungan selama 19 tahun dengan para ulama besar yang dari mereka dia mempelajari berbagai cabang ilmu agama (tafsir, hadis, fikih, tasawuf tauhid dan akhlak).

Namun demikian, beberapa penulis mencatat, pengaruh paling besar dalam membentuk pola pikir dan pola sikap Abdul Rauf berasal dari gurunya di Madinah. Al-Qusyasyi dan al-Qurani Dari al-Qusyasyi Abd Rauf mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu dalam (bahin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, hingga akhirya ia ditunjuk sebagai imam tarikat Syattariyah dan Qadiriyah.

Dari al-Kurani ia mendapat gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin pengetahuan tasawuf. Setelah mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun Abdul Rauf kembali ke Aceh pada sekitar tahun 1661. Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdul Rauf adalah bahwa ia berperan penting sekali dalam menengahi silang pendapat antara Nuruddin al-Raniri dan Hamzah Fansuri tentang aliran wujudiyyah. Braginsky (1998) telah menguraikan pendekatan Abdul Rauf yang lebih sejuk dan damai terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.

Baca Juga  Wasiat Luqman Al-Hakim; Pendidikan Karakter dalam Al-Qur’an

Dalam pergulatan politiknya, Abdul Rauf diangkat sebagai Qadi al-Malik al-‘Adil (mufti) oleh Sultanah Safiatuddin sekitar tahun 1661-1662 Masihi. Beliau memegang jawatan tersebut sehingga beliau meninggal dunia selama empat era pemerintahan yaitu bermula dengan pemerintahan Sultanah Taj al Alam Safiatuddin Syah (1641-1675M), pemerintahan Nur al-Alam Nakiayatuddin Syah (1675- 1678M), Inayat Syah Zakiyatuddin Syah (1678-1688M) dan era pemerintahan Kamalat Syah (1688-1699M).

Karya-Karya Abdul Rauf Singkel

Adapun karya-karya yang dihasilkan Abdul Rauf tidak terbatas pada satu bidang, sebagian ahli mengatakan karya Abdul Rauf 21 buah. Satu berbentuk tafsir, 2 kitab hadis, 3 buah berupa kitab fikih, dan 15 sisanya merupakan kitab tasawuf. Berikut beberapa karya-karya beliau:

  1. Daqa‘iq al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.
  2. Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
  3. Mirat al-Tulab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu).
  4. Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf).
  5. Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).
  6. Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).
  7. Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
  8. Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa Melayu).
  9. Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
  10. Tarjuman al-Mustafi d bi al-Jawy.
  11. Syarh Latif ‘Ala Arba‘ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).
  12. Al-Mawa‘iz al-Ba‘diah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
  13. Kifayat al-Muhtajin.
  14. Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
  15. Syair Makrifat.
  16. Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).
  17. Majmu al-Masa‘il (Himpunan Pertanyaan).
  18. Syam al-Ma‘rifat (Matahari Penciptaan).
Baca Juga  Mengatasi Anxiety dalam Kurikulum Islam: Resep Qurani

Kontribusinya Dalam Bidang Tafsir

Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf memberikan kontribusi lewat karya berjudul Tarjuman al-Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu Tafsir al-Jalalain.

Karya ini diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin. Kitab ini merupakan kitab tafsir pertama di Nusantara dengan menggunakan bahasa Melayu.

Seperti isi kitab tafsir lainnya, kitab Turjuman al-Mustafid dipisahkan menurut masing-masing surat. Setiap awal surat, sebelum menulis ayat dan terjemahannya, Syekh Abd. Rauf terlebih dahulu memberi penjelasan mengenai surat yang akan dibahas. Keterangan awal ini mencakup jumlah ayat, Makki atau Madani dan keterangan-keterangan tentang keutamaan surat tersebut.

Untuk penjelasan mengenai keutamaan surat tersebut Syekh Abd. Rauf mengutip dari beberapa kitab dengan menyebutkan sumber. Dalam hal ini yang paling banyak dikutip adalah dari Kitab Baidawi.

Abdul Rauf Singkel, ialah mufasir Indonesia yang telah menulis kitab tafsir pertama di Nusantara secara lengkap 30 juz. Kitabnya juga merupakan kitab tafsir berbahasa melayu dalam daftar literatur tafsir. Pengkaji yang konsen dalam bidang ilmu tafsir perlu membuka literatur tafsir di Indonesia sebab ini adalah harta berharga sejarah intelektual di bumi Nusantara.

Kajian tentang tafsir umumnya masih memusatkan perhatian pada karya-karya yang muncul abad 19 ke atas. Jarangnya pengkajian literatur tafsir Indonesia sebelum itu sungguh akan merugikan dan dapat menenggelamkan sejarah intelektual umat Islam di Indonesia. Padahal dalam sejarahnya, dinamika intelektual umat Islam sebelum abad 19 memiliki intensitas yang cukup tinggi.

Wallahu alam bisowab.