“Dan Dialah (Allāh) yang menjadikan orang tertawa dan menangis,” (QS. an-Najm : 43)
Duhai para pembaca yang budiman, pernahkah kita merasa berada diposisi dengan kejenuhan tingkat akut? Atau merasakan kebahagiaan yang teramat sangat sehingga secara tidak sadar kita meluapkannya dengan tangisan?
Itulah manusia dengan tangisan manusia bisa mengekspresikan kebahagiaan atau kesedihan yang sedang ia rasakan. Tak wajar bahkan ketika manusia terlahir kedunia ia hanya menggunakan tangisan sebagai sarana komunikasi seorang anak ke orang tuanya.
Menangis Adalah Fitrah Manusia
Menangis adalah tabiat dasar dan fitrah manusia dan merupakan respons alami manusia untuk meluapkan emosi, termasuk kesedihan, kehilangan, rasa frustasi hingga kegembiraan. Allāh ciptakan manusia tertawa dan menangis, sebagaimana firman Allāh Ta’ālā :
وأنّه هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى
“Dan Dialah (Allāh) yang menjadikan orang tertawa dan menangis,” (QS. an-Najm : 43)
‘Atho’ menafsirkan,
أفرح وأحزن ؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء
“Allāh menjadikannya gembira dan sedih. Karena kegembiraan itu melahirkan tawa sedangkan kesedihan melahirkan tangisan”. [Tafsir al-Qurthubi 17/11]
Menangis merupakan bukti yang menunjukkan ketakwaan hati, ketinggian jiwa, kesucian sanubari dan kelembutan perasaan. Menangis karena Allah dalam kesendirian adalah cermin keimanan, karena tangisan ini tidak bisa dikarang-karang, mata airnya adalah iman dalam hati.
Menangis karena Allah terjadi manakala seorang hamba melihat kelalaian pada dirinya, atau merasa takut akan kesudahannya yang buruk… dan inilah tangisan yang paling mulia
والبكاء من خشية الله تعالى أصدق بكاء تردد في النفوس ، وأقوى مترجم عن القلوب الوجلة الخائفة .
Tangisan yang Disenangi Allah
Tangisan yang berasal dari rasa takut kepada Allāh adalah tangisan yang paling tulus yang menggaung di dalam jiwa serta penerjemah (pengungkap) terkuat isi hati yang takut.
Para Nabi dan orang-orang shalih menangis karena Allah, Allah berfirman,
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Q.S Maryam: 58)
Kehidupan di dunia ini tidaklah disikapi dengan bercanda terus dan tertawa terus. Apalagi kehidupan di dunia ini hanya sementara dan merupakan tempat menanam bekal untuk kehidupan akhirat yang selamanya.
Apakah bisa kita menanam bekal dengan terus-menerus bercanda dan tertawa? Tak jarang kita lebih sering menangis hanya karena menonton film sedih namun jarang sekali bagi kita untuk bisa menangis lkarena mengingat akan dosa- dosa yang sudah kita perbuat.
Bahkan jika kita memikirkan nasib kita yang belum pasti apakah masuk neraka atau surga, kita akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Maka sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim untuk memperbanyak menangisi dan mensedikitkan tertawa.
Al hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
“Seorang hamba berbuat dosa lalu dia bertaubat dan minta ampun, maka Allah ta’ala pun mengampuninya. Akan tetapi Allah ta’ala tidak menghapus dosa tersebut dari catatan amalnya sebelum hamba tersebut menghadap Allah ta’ala dan Allah akan minta pertanggung jawaban dari dosa tersebut.”
Serta merta Al Hasan rahimahullah menangis sejadi-jadinya, lalu dia berkata :
“Seandainya kita tidak menangis kecuali karena malu (kepada-Nya) pada situasi itu, tentu sudah sepantasnya bagi kita untuk menangis”. Jamiul Ulum Wal Hikam (453)
Dan hal apa yang membuat seseorang itu sulit untuk menangis karena Allah, maka jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena banyaknya dosa dan aib yang sudah di kerjakan.
Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata:
«ما جفت الدموع إلا لقساوة القلوب، وما قست القلوب إلا لكثرة الذنوب، وما كثرت الذنوب إلا من كثرة العيوب»
“Tidaklah air mata kering kecuali karena kerasnya hati, tidaklah hati mengeras kecuali karena banyaknya dosa, dan tidaklah dosa semakin banyak kecuali karena banyaknya aib.” Syu’abul Iman, no. 6828
Wallahu Ta’ala A’lam…
Leave a Reply