Persinggungan tafsir dan takwil menuai berbagai pro dan kontra. Istilah takwil yang dinilai politis kemudian bergeser ke tafsir sebagai istilah baku untuk penjelasan atas ayat Al-Qur’an. Sementara di sisi lain terdapat istilah yang lebih populer digunakan Al-Qur’an; tadabbur. Bagaimana dinamika tadabur Al-Qur’an di era kontemporer?
Sebelum itu, tadabur di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 4 kali dengan objek (maf’ūl bih) Al-Qur’an. Istilah ini seharusnya lebih populer digunakan dalam mendekati Al-Qur’an. Ketimbang istilah tafsir dan takwil sebagaimana kitab-kitab yang telah beredar.
Bangkitnya Kajian Tadabur Al-Qur’an
Terlepas dari pergeseran dari takwil ke tafsir, gaung tadabur Al-Qur’an mulai terdengar di akhir abad 20 dengan karya Abdurrahmān Habannakah (1425 H/2004 H). Ia menulis kaidah tadabur (Qawā’id at-Tadabbur al-Amṡal) dalam satu kitab, kemudian menerapkannya dalam karya yang ia sebut dengan tafsīr tadabburī (Ma’ārijut Tafakkur Wa Daqāiqut Tadabbur).
Karya Habannakah disinyalir sebagai karya pertama yang menghidupkan kembali konsep tadabur dalam mendekati dan memahami Al-Qur’an. Sepanjang karya tentang penjelasan Al-Qur’an, belum saya temukan kitab yang menggunakan judul “Tadabbur” kecuali karya seorang Sufi Andalusia bernama Ibn Barrajān (536 H/1141 M); Tanbīh al-Afhām litadabbur Al-Qur’an.
Di bagian penutup, Habannakah menuliskan sebuah harapan:
“Saya berharap dapat memberikan kaidah yang memandu para pelaku tadabur (mutadabbirīn) dan serangkaian kaidah ini menjadi pondasi pembuka bagi bangunan “ilmu tadabbur” yang diridai Allah.”
Sistematisasi Konsep Tadabbur
Tak berselang lama, di tahun 2002, Salmān Umar As-Sunaidī melakukan semacam “strukturisasi” tadabbur Al-Qur’an. Karyanya yang berjudul Tadabbur Al-Qur’an membahas tadabur lebih kompleks. Mulai dari urgensi, pengaruh, keterkaitan dengan makna, levelitas, relasi pembaca dan Al-Qur’an hingga bentuk dan cara bertadabur.
Kitab ini ditulis secara ilmiah; memuat catatan kaki beserta referensi kitab ternama. Mulai dari dua kitab induk ulumul Qur’an: Al-Itqān dan Al-Burhān, hingga Mukadiah fi ushul Tafsir Ibn Taimiyyah dan Tafsir Ibn Kaṡīr. Namun, menariknya, kitab kaidah tadabur Habannakah tidak dikutip sama sekali.
Pada bagian mukadimah, Salmān mengurai kebutuhan atas tadabur sebagai “internalisasi” nilai Al-Qur’an sebagaimana oleh pendahulu. Sebelum pembahasan utama, ia menjelaskan sedikit tadabur Al-Qur’an dari sisi etimologi dan terminologi para ulama. Kemudian menjelaskan secara ringkas term yang terkait seperti fahm, fiqh, fikr, tafakkur, taammul, tadzakkur, bashirah, istibshar dan I’tibar.
Metode Tadabbur Al-Qur’an
Dua tahun kemudian, Hikmat bin Basyīr Yāsīn menulis buku manhaj tadabbur (2004). Disebut sebagai metode karena -boleh jadi- memuat berbagai bentuk tadabbur. Saya menemukan kitab ini tidak tersusun secara rapih dalam bab yang sistematis.
Namun, di mukadimah, Hikmat menjelaskan bahwa tadabur adalah cara terbaik dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Lantas bagaimana caranya? Pertanyaan inilah yang kemudian dijawab melalui isi buku yang ia tulis.
Terdapat sekitar 15 bentuk dan cara dalam mengamalkan tadabur. Seluruh metode dijelaskan dengan menghadirkan dalil seperti ayat, hadis atau praktik para pendahulu. Mulai metode tadabur dengan membaca Al-Qur’an yang baik dan benar; tadabbur dengan tasbih, syukur, zikir, kisah, perumpamaan dan hukum.
Kitab ini bisa menjadi alternatif untuk menguatkan keilmuan tadabur Al-Qur’an. Tadabur bisa dilakukan seluruh orang dengan cara dan level masing-masing pelaku.
Catatan Reflektif
Kajian tadabur Al-Qur’an menemukan gaungnya di era kontemporer. Boleh jadi hal ini menjadi alternatif pendekatan setelah tafsir dan takwil. Setelah memeorleh pemahaman Al-Qur’an, kemudian beranjak menuju penghayatan dan pengamalan dalam hidup.
Gema tadabbur Al-Qur’an di era kontemporer terlihat setelah 3 kitab perintis di atas. Saya mencatat setidaknya terdapat 30 kitab dalam rentang 15 tahun (2006-2021). Kalau boleh saya petakan, terdapat tiga bentuk: bentuk konseptual, metodologi dan produk tadabur.
Dari sisi wilayah produksi, sebagain besar karya diterbitkan di kota Riyad, Arab Saudi. Sebagian kecil di Baghdad, Suriah, Beirut, Kuwait, Jakarta dan Yogyakarta. Letak geografis boleh jadi merefleksikan kepentingan politik dan ideologi dalam menyemarakkan tadabbur Al-Qur’an.
***
Di Indonesia, buku-buku tadabur Al-Qur’an yang beredar banyak ditulis oleh ulama lulusan Arab Saudi. Bahkan, karya tadabur ulama Saudi secara personal dan komunal sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Fakta ini menjadi kajian menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.
Berikut buku yang berkaitan dengan tadabur Al-Qur’an yang ditulis di Indonesia:
- Konsep Tadabbur Al-Qur’an, Abas Asyafah, Bandung, 2014 M.
- Tadabbur Al-Qur’an: Panduan hidup bersama Al-Qur’an juz 29-30, Bachtiar Nasir Depok, 2016 M.
- Tadabbur Qur’an Di Akhir Zaman: Membumikan Kalam Ilahi Di Zaman Tak Bertepi, Fahmi Salim, Yogyakarta, 2017 M.
- Tadabur Juz Amma, Saiful Bahri, Jakarta, 2019 M.
- Mushaf Al-Qur’an: Tadabbur Maiyah Padangbulan, Cak Nun, Cak Fuad, 2021 M.
Semarak kajian tadabur di era kontemporer semoga menjadi angin segar bagi pengkaji Al-Qur’an. Di tengah gemerlap kehidupan, perlu kiranya mendekati Al-Qur’an lebih mesra dengan tadabur. Tidak hanya membaca dan memahami, tapi menghayati dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Waallahua’lam.[]
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.