Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Meneladani Rasulullah Melalui Buku-buku Sirah Nabawi

nabawi
Sumber: tarbiyah.net.

Bagi umat Islam, perjalanan hidup Rasul merupakan sumber utama keteladanan mulia yang harus diikuti dan ditaati. Kepribadian beliau telah menjadi semacam referensi hidup umat. Sosok ideal dalam setiap lingkup kehidupan terkumpul dalam dirinya. Beliau adalah sosok suami sekaligus ayah ideal dalam berumah tangga. Itu sebabnya sejarah hidup Rasulullah Saw. tak pernah habis ditulis dan dikagumi. Keteladanannya selalu hidup sepanjang zaman. Ribuan buku tentang sejarah hidup (sirah) beliau telah ditulis para ulama salaf (terdahulu) maupun khalaf (kontemporer). Penulisan akan terus berlangsung. Karena biografi Rasulullah pesona dan kepribadiannya memang tak pernah mati.

Perkembangan Penulisan Sirah

Dalam literatur Islam kontemporer, penulisan sejarah hidup rasul dikenal dengan istilah sirah nabawiyyah. Sirah menurut bahasa artinya kebiasaan, jalan, cara atau tingkah laku. Sedangkan menurut istilah umum berarti rincian hidup seseorang atau sejarah hidup seseorang. Namun sudah menjadi kesepakatan umat manakala menyebut kata sirah, yang dimaksud adalah sirah nabawiyyah, yaitu sejarah hidup rasulullah Saw. Bahkan kini telah menjadi satu istilah dari disiplin ilmu tersendiri, ilmus sirah. Dahulu para ulama ahli sejarah menggunakan istilah ilmul maghazi was siyar (Dr. Rajih Abdul Hamid al-Kurdi, Syu’aa’ Minas Siratin Nabawiyyah, h. 13).

Orang yang pertama kali mentadwin (menyusun) peristiwa-peristiwa sirah adalah Urwah bin Zubair (92 H) seorang ahli hadits generasi tabi’in, putra sahabat masyhur Zubair bin Awwam. Bersamanya adalah Abban bin Utsman (105 H) putra khalifah Utsman bin Affan ra. dan Wahab bin Munabbih (110 H). Para pengkaji sirah sepakat, merekalah pionir dalam penulisan dan penyusunan sirah.

Langkah generasi pertama ini kemudian dilanjutkan oleh Syurahbil bin Sa’ad (123 H), Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm (135 H) dan salah seorang ulama hadits yang berandil besar dalam kodifikasi hadits, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zuhri (124 H). Beliau termasuk salah seorang anggota tim yang mendapat tugas dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun hadits (Abdus Salam Harun, Tahdzib Sirah Ibn Hisyam, h. 10)

Sebelum itu, riwayat hidup nabi dan para sahabat disampaikan secara syafawi (penuturan lisan) dari mulut ke mulut. Biasanya para sahabat shighar (junior) seringkali bertanya kepada para sahabat kibar (senior) tentang peristiwa-peristiwa yang tidak mereka ikuti bersama nabi. Anak-anak mereka juga tak jarang meminta para orang tuanya untuk menceritakan kehidupannya dalam pertempuran dan peristiwa-peristiwa heroik lainnya bersama nabi. Terkadang penuturan itu disampaikan dalam halaqah-halaqah ilmu, seperti yang dilakukan Ibnu Abbas yang mengkhususkan satu hari untuk kajian maghazi. Menurut riwayat, beliau menjadwal hari-harinya, satu hari untuk kajian fiqh, satu hari tafsir, satu hari maghazi, satu hari untuk sya’ir dan sejarah Arab.

Perhatian mereka yang besar terhadap sejarah hidup rasul dan para pendahulunya juga tercermin dalam ungkapan Ali bin Husen, ia berkata, “Al-Maghazi diajarkan kepada kami seperti diajarkannya surat-surat Al-Quran”. Ini sekaligus menjadi bukti kalau sirah rasulullah terjaga keotentikan dan validitasnya sedari awal. Apalagi Islam memiliki sistem dan tradisi keilmuan yang unik dalam akses data dan informasi, yaitu sistim sanad dan riwayat.

Penulisan sirah mulai mencapai masa kualitatif dengan lahirnya karya besar Muhammad bin Ishaq (152 H) yang merupakan salah seorang murid Az-Zuhri. Pendekar dalam bidang maghazi ini diakui telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan penulisan sirah generasi berikutnya. Terlepas dari pro kontra para ahli hadits berkenaan riwayat-riwayat yang digunakannya. Namun kontribusinya ini telah membuka babak baru penulisan sirah. Sangat disyangkan karya besar beliau ini tidak sampai kepada kita.

Selanjutnya karya-karya di bidang sirah dan sejarah secara umum mulai bermunculan. Adalah Abu Muhammad Abdul Malik (218 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Hisyam yang kemudian melanjutkan karya pendahulunya Ibnu Ishaq. Bukunya As-Sirah an-Nabawiyyah merupakan revisi dari karya Ibnu Ishaq, di mana Ibnu Hisyam membuang cerita-cerita israiliyyat dan sya’ir-sya’ir yang tidak perlu serta melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dengan beberapa penambahan.

Selain Ibnu Hisyam tercatat nama-nama besar lainnya seperti Muhammad bin Umar Al Waqidi (207 H) dengan karyanya berjudul Maghazi al-Waqidi, Muhammad bin Sa’ad (230 H) kitabnya berjudul At-Thabaqat Al-Kubra. Kemudian Ibnu Jarir At-Thabari (310 H) seorang ulama tafsir terkemuka dengan karya sejarahnya Tarikhur Rusul wal Muluk. Lalu Ibnu Hazm Azh-Zhahiri (456 H) melalui karyanya berjudul Jawami’us Sirah.

Tidak ketinggalan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (751 H) juga tercatat dalam deretan para penulis sirah. Pakar penyakit-penyakit hati ini menulis sebuah kitab berjudul Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad. Karyanya ini memang cenderung fikih oriented dan lebih layak sebagai kitab fikih. Meski demikian di dalamnya memuat syamail, adab dan maghazi.

Sebelumnya Ibnul Atsir Al-Jazari (632 H) seorang sejarawan terpercaya menulis Al-Kamil fit Tarikh. Sebuah buku sejarah umum yang salah satu bagiannya memuat tentang sirah. Kemudian juga Al-Hafizh Ibnu Katsir (774 H) yang lebih dikenal lewat kitab tafsirnya, juga menulis tentang sejarah secara umum lewat karya agungnya yang monumental Al-Bidayah Wan-Nihayah dan buku kecil berjudul Al-Fushul fi Sirah Ar-Rasul.

Baca Juga  Tafsir Q.S Al-Hajj Ayat 39: Alasan Peperangan Nabi Muhammad Saw

Buku-buku Sirah Kontemporer

Buku-buku sirah kontemporer umumnya lebih fokus pada pelajaran dan ‘ibrah yang dapat diambil. Namun penulisannya tetap mengacu pada kitab-kitab salaf (terdahulu). Oleh karena itu buku-buku yang muncul adalah buku-buku kajian yang lebih dikenal dengan sebutan fiqhussirah (pemahaman sirah).

Beberapa buku sirah yang masuk kategori ini misalnya; As-Sirah An-Nabawiyyah Durus Wa ‘Ibar karya Dr. Musthafa As-Siba’i. Fiqhus Sirah karya Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi. Atau buku Fiqhus Sirah-nya Munir Muhammad Al-Ghadhban, Al-Manhaj Al-Haraki Lis Sirah An-Nabawiyyah yang menjadi referensi wajib para aktivis pergerakan. Ada juga buku Fiqhus Sirah yang ditulis oleh Dr. Muhammad Al-Ghazali dan As-Sirah An-Nabawiyyah karya Abul Hasan Ali An-Nadwi.

Karya sirah kontemporer lainnya adalah Ar-Rahiqul Makhtum yang telah mengantarkan penulisnya Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dari Jami’ah Salafiyyah India memenangkan lomba penulisan sirah yang digelar Rabithah ‘Alam Islami. Karya ini menyisihkan 170 karya lainnya yang ditulis dalam beragam bahasa, Arab, Urdu, Inggris, Perancis dan Husawiyyah (bahasa Afrika).

Selain itu terdapat buku sirah karya tokoh pergerakan Sa’id Hawa, seorang da’i yang buku-bukunya di era 80-90-an begitu akrab dengan dunia aktivis da’wah. Sebut misalnya buku Allah, Ar-Rasul, seri Al-Islam dan Jundullah. Buku sirah beliau berjudul Al-Asas fis Sunnah yang disusunnya tidak lama setelah beliau menyelesaikan kitab tafsirnya Al-Asas fit Tafsir.

Ada juga buku sirah yang fokus pada data lokasi dan letak geografis. Misalnya buku Al-Athlas At-Tarikhi Li Sirah Ar-Rasul wa Ghazwah Ar-Rasul karya Dr. Sami bin Abdullah al-Maghluts. Buku ini terbilang unik karena setiap peristiwa dilengkapi peta, dokumentasi sejarah dan diagram. Dengan metode tersebut penulisnya berharap bisa membawa pembaca menapaktilasi jejak-jejak sejarah rasulullah Saw. sehingga serasa turut menjelajahi lokasi masing-masing peristiwa.

Baca Juga  Tazkiyatun Nafs Sebagai Solusi Krisis Identitas

Buku Sirah Ulama Indonesia

Bagaimana dengan buku-buku sirah karya ulama Indonesia? Buku-buku tersebut hasil karya ulama lokal jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Paling tidak ada dua nama yang bisa dicatat, Prof. Hamka dan KH. Moenawwar Khalil. Buku Hamka berjudul Sejarah Umat Islam yang dirampungkannya dalam waktu lebih dari 20 tahun. Terdiri dari empat jilid dan merupakan buku sejarah Islam secara umum, perkembangannya dari abad ke abad serta penyebarannya ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Salah satu bagian buku tersebut adalah tentang sirah nabi.

Sedangkan buku KH. Moenawwar Khalil berudul Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. terdiri dari delapan jilid. Buku tersebut telah mengalami beberapa kali cetak ulang sejak cetakan pertamanya pada tahun 1936. Sampai saat ini belum ada buku sirah berbahasa Indonesia yang ditulis panjang lebar dan terperinci seperti yang ditulis beliau.

Yang menarik, almarhum panglima besar Jenderal Soedirman ternyata pengagum buku ini. Dalam sebuah kesempatan, bapak tentara nasional ini secara jujur mengungkapkan kepada KH. Moenawwar -seperti yang ditulis dalam kata pengantarnya cetakan kedua-

“Saya telah berkali-kali membaca, mempelajari dan memperhatikan buku tarikh nabi Muhammad karangan saudara. Saya selama ini belum pernah membaca buku riwayat hidup nabi Muhammad yang sepanjang itu, terutama riwayat peperangan yang dipimpin oleh beliau sendiri, selain dari buku karangan saudara.”

Selanjutnya Jenderal Besar ini berkata, “Buku tarikh karangan saudara itulah yang seringkali saya baca dan saya perhatikan dalam saat yang terluang selama saya memimpin angkatan perang Republik Indonesia untuk melawan Belanda sekarang ini.”

Ternyata dibalik ketangguhan dan semangat pantang menyerah sang jenderal ada tokoh teladan yang menjadi sumber inspirasi semangat juangnya. Bacaan dan telaahnya terhadap buku sirah nabi Muhammad telah mengajarinya bagaimana menjadi seorang pemimpin. Inilah barangkali faktor yang telah membuatnya tetap bertahan di medan perang walau dalam kondisi sakit dan harus ditandu.
Wallahu a’lam bishawab.

Baca Juga  Menerawang Tafsir Al-Qur’an Secara Futuristik

Editor: An-Najmi Fikri R