Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mencari Bahagia dalam Ketaatan Beragama

ketaatan
Sumber: freepik.com

Dalam definisinya yang paling umum, taat diartikan sebagai imtitsāl al-awāmir wa-jtināb an-nawāhi. Menjalankan segala apa yang diperintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebagai seorang hamba, sudah menjadi kewajiban bagi setiap manusia untuk mematuhi apa yang dititahkan Sang Khaliq padanya (wa mā khalaqtu al-jinna wa al-insa illā li ya’budūn).

The Name of The Rose

Seorang filsuf berkebangsaan Italia Umberto Eco (1932-2016) pernah menulis sebuah novel berjudul Il Nome Della Rosa (The Name of The Rose). Novel ini menarik karena berlatar Italia abad ke-14 M. Sebagaimana jamak diketahui, abad ke-14 merupakan abad transisi bagi bangsa Eropa; dari zaman kegelapan menuju zaman pencerahan. Dan salah satu negara yang memulai transisi itu adalah Italia.

Latar utama novel ini terjadi di sebuah biara, atau lebih spesifik lagi di dalam perpustakaan. Eco dengan apik menceriterakan bagaimana pustakawan-intelektual Eropa dengan semangat makantar-kantar menerjemahkan dan menulis karya dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari teologi, seni, politik, dan sebagainya. Sebuah iklim keilmuan yang dulu juga pernah dilakukan oleh umat Islam pada era Daulah Abbasiyah di sebuah tempat bernama Bait Al-Hikmah.

Akan tetapi, di balik sisi positif itu, novel ini sebenarnya berkisah tentang penyelidikan atas suatu rangkaian kejadian tragis di dalam biara. Berturut-turut selama tujuh hari, penghuni biara terus dihebohkan dengan kehadiran mayat yang tidak diketahui jejak pembunuhnya. Seorang eks-inkuisitor bernama William dan novis bernama Adso bertugas mengurai benang kejadian yang kusut itu.

Menghujat Tawa, Menabung Dosa

Singkat cerita, melalui metode penalaran abduksi, dalang di balik kejadian tragis itu terungkap. Adalah Jorge, seorang pustakawan ‘saleh’ yang dengan tega –meskipun bukan dengan tangannya sendiri—menghabisi nyawa rekan pustakwan lainnya. Kebenciannya yang meluap atas filsafat, seni, dan (terutama) tawa menjadi sebab utama. Menurutnya, tawa adalah bentuk kelemahan dan ketololan manusia.

Baca Juga  Hubungan Timbal Balik Antarumat Beragama dalam Al-Qur'an

Dengan cara apapun, Jorge berusaha melindungi buku yang ia anggap mematikan dari sentuhan orang lain, karena berisi hal-hal yang baginya tidak senonoh. Diceritakan bahwa buku itu adalah Poetics karya Aristoteles. Cinta butanya terhadap ‘kebenaran’ membuatnya salah menafsirkan antara mana ajaran Tuhan dan mana bisikan setan.

Jorge menyadari bahwa ia telah melakukan perbuatan salah dan dosa, tapi pada waktu yang bersamaan ia juga mengkalim dirinya sekadar sebagai ‘alat’ Tuhan. Di satu sisi ia menyatakan, “dia yang telah membunuh akan menanggung beban dosanya di hadapan Tuhan, tetapi hanya karena ia pasrah dijadikan sarana keputusan Tuhan” (hlm. 465). Tapi di sisi lain ia menyangkal, “Aku tidak membunuh siapapun. Masing-masing meninggal menurut nasibnya karena dosa-dosanya. Aku hanya suatu alat”. Ia melanjutkan, “Tuhan akan mengampuniku, karena Dia tahu bahwa aku bertindak demi kemuliaan-Nya” (hlm. 584).

Berbahagia dalam Ketaatan

Apa yang dilakukan Jorge dalam kisah tersebut menunjukkan bahwa dorongan nafsu dalam diri manusia selalu mengajak kepada hal-hal buruk, meskipun seringkali dirinya tidak sadar bahwa ia sedang menuruti nafsu gilanya itu. Dorongan nafsu itulah yang, misalnya, menggiring persepsi manusia ke pemahaman bahwa tawa –atau lebih luas kebahagiaan dan kesenangan—berbanding terbalik dengan ketaatan kepada Allah. Persepsi itulah yang membuat agama terasa berat dan kaku, padahal sejatinya tidak.

Dalam kitab Zabur termuat sebuah ajaran bahwa seorang yang berakal semestinya tidak disibukkan oleh sesuatu kecuali tiga hal; pertama, membekali dirinya untuk kembali ke tempat asalnya (tazawwudu li ma’ādin), yakni dengan memperbanyak amal saleh; kedua, berusaha untuk membiayai kehidupannya di dunia (mu’natun li ma’āsyin) dengan bekerja, dan; ketiga, mencari kesenangan dengan cara yang halal (thalabu ladzdzatin bi halālin).

Baca Juga  Hakikat Bahagia Perspektif Ilmu Tasawuf dan Tafsir Modern

Poin ketiga di atas menarik; bahwa seorang yang berakal semestinya mampu mencari kesenangan dengan hal-hal yang diperbolehkan dalam koridor aturan Tuhan. Yang itu berarti bahwa ajaran Tuhan tidak sekaku itu, apalagi sampai dikesankan atau dianggap memutus mata rantai kebahagiaan dan kesenangan.

Dalam QS. al-A’raf [7]: 156 Allah swt. berfirman, rahmatī wasi’at kulla syai’ (rahmat-Ku [Allah] melingkupi segala sesuatu). Dalam QS. al-An’am [6]: 12 dipertegas, kataba ‘ala nafsihī ar-rahmah (Dia telah menetapkan pada diri-Nya sifat rahmah). Dua ayat tersebut dikuatkan dengan hadits riwayat al-Bukhari yang menyebut bahwa rahmat Allah mendahului murka-Nya (inna rahmatī sabaqat ghadhabī).

Mengubah Persepsi

Persoalannya adalah tidak sedikit orang yang merasa terbebani dengan segala aturan Allah Swt. sehingga seringkali ketaatan dianggap sebagai sebuah beban. Kenapa harus begini? Kenapa mesti begitu? Sebenarnya, problem utamanya ada di persepsi. Ketaatan semestinya jangan dijadikan sebagai sebuah masalah atau beban, tapi harus dinikmati.

Persoalan lainnya, tidak sedikit yang menganggap bahwa hukum Tuhan harus dijalankan bagaimanapun caranya, bahkan jika harus melakukan tindakan yang berseberangan dengan ajaran Tuhan itu sendiri. Persepsi semacam ini tentu kurang tepat. Adalah benar bahwa nahi munkar itu wajib, tapi ulama sepakat bahwa ia wajib selama tidak berpotensi melahirkan kemunkaran atau madharat yang lebih besar.

Kita sering menyaksikan –atau mungkin secara tidak sadar menjadi bagian dari—orang-orang yang mempunyai persepsi demikian. Yakni menjadi orang yang tidak dapat menikmati ketaatan, atau sebaliknya menjadi orang yang malah melahirkan madharat yang lebih besar dengan dalih nahi munkar. Bagi diri pribadi, dampak negatifnya adalah agama dianggap sebagai beban, sedangkan bagi publik luas, agama dianggap sebagai problem sosial. Dua persepsi itu tentu berseberangan dengan substansi agama, yakni sebagai rahmat dan menjadi rahmat bagi semesta.

Baca Juga  Tafsir Resolusi Konflik: Mengapa Umat Beragama Selalu Berkonflik?

Editor: An-Najmi Fikri R