Hidup dalam dunia politik yang menduduki kursi kekuasaan selalu dilanda berbagai masalah yang sifatnya internal dan eksternal. Salah satunya di sektor pengangkatan keluarga sendiri untuk menduduki jabatan yang tinggi, yaitu Nepotisme. Pasalnya, hal semacam ini sudah melekat sejak zaman dahulu. Misalnya, diangkatnya khalifah Utsman Bin Affan yang diisukan mengangkat keluarganya sendiri sebagai bagian dari pemerintahan.
Makna Nepotisme
Salah satu permasalahan politik di atas, menjadi tolok ukur konvensional atas sebutan kata yang berasal dari bahasa Latin “Nepos” atau “Nepotis” yang memiliki arti keponakan. Bahkan, dari kata tersebut melahirkan sebuah istilah yang bernama Nepotisme. Berdasarkan istilah ini, secara makna, Nepotisme diartikan sebagai suatu praktik yang mengangkat seseorang atau lebih dari keluarga (dekat) menjadi pegawai pemerintahan. Atau dapat diartikan sebagai perlakuan istimewa yang diberikan kepada keluarga dekatnya dengan maksud untuk menjunjung nama keluarga. Serta menambah penghasilan keluarga, atau alat untuk membantu menegakkan suatu organisasi politik.
Nyatanya, mengingat membludaknya kekuatan politikus busuk berbasiskan nasab, justru malah membawa potensi suatu negara akan sulitnya menghasilkan negarawan yang berkualitas. Hal ini disebabkan para penguasa yang tidak mampu mengurus rakyatnya dan hilangnya kesadaran diri yang dimiliki rakyat itu sendiri. Sehingga, negara pun menjadi tidak makmur.
Konteks di Indonesia Saat Pandemi
Ketidakmampuan ini menunjukkan adanya potensi perbuatan Nepotisme, lebih-lebih berkompeten. Terlebih dengan adanya pandemi seperti ini, justru menjadi peluang bagi para pejabat untuk mengangkat keluarga dan sanak saudara mereka sendiri untuk menduduki kursi jabatan dalam pemerintahan.
Hal ini dikarenakan adanya keputusan pemerintah yang melarang adanya kerumunan di tempat umum. Maka dari itu, sistem kekeluargaanlah yang lebih dipentingkan terlebih dahulu dengan dalih mengutamakan keamanan negara agar virus ini tidak menyebar.
Berdasarkan uraian diatas, maka muncullah sebuah pertanyaan bolehkah menerapkan sistem Nepotisme menurut Al-Qur’an? Terutama di tengah pandemi ini? Lalu seperti apakah tolak ukur kekeluargaan yang boleh diangkat untuk menduduki kursi pemerintahan di tengah pandemi?
Analisis Kriteria Nepotisme dalam Islam
Al-Qur’an sebagi kitab suci umat Islam, tidak hanya mengandung informasi terkait ibadah dan muamalah saja. Akan tetapi juga memberikan informasi sejarah, ilmu pengetahuan, sosial, dan politik.
Al-Qur’an mengisyaratkan adanya perbuatan Nepotisme dalam beberapa surah, diantaranya Q.S al-Nisa’ ayat 135, Q.S al-Maidah ayat 8, Q.S al-A’raf ayat 142, Q.S Thaha ayat 29-32, dan Q.S al-Nahl ayat 90.
Doa Nabi Ibrahim
Hal ini bermakna bahwa Nepotisme sudah ada sejak zaman dahulu. Salah satu contoh perbuatan Nepotisme dapat dilihat dari doa Nabi Ibrahim as kepada Allah agar menjadikan keturunannya sebagai Imam. Hal ini termaktub dalam Firman Allah Q.S al-Baqarah ayat 124 yang berbunyi:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.
Dengan demikian, firman Tuhan di atas mengarah kepada sesuatu yang berhubungan dengan unsur Nepotisme. Tuhan menyatakan bahwa keluarga Nabi Ibrahim as akan dijadikan imam, akan tetapi bukan seluruhnya, melainkan hanya keluarga yang tidak zalim itulah yang akan menjadi imam.
Kisah Nabi Musa
Selain dalam Q.S al-Baqarah ayat 124 diatas, Allah SWT juga mengisyaratkan ciri-ciri Nepotisme yang diperbolehkan dalam Islam, yaitu sebagaimana kisah Nabi Musa dalam Q.S al-A’raf ayat 142 yang berbunyi:
Artinya: “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Berdasarkan ayat ini, ciri-ciri Nepotisme yang diperbolehkan ialah dengan mengangkat keluarga yang benar-benar memiliki bidang keahlian sesuai dengan jabatan yang ia pegang. Selain ahli, orang tersebut juga harus merupakan seseorang yang paham dalam urusan agama dan hukum agar tidak terjadi kerusakan atau ketidak adilan terhadap rakyat.
Di samping itu, Allah juga berfirman dalam Q.S an-Nisa’ ayat 58 yang memerintahkan manusia untuk memberikan amanah kepada ahlinya yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kriteria Nepotisme Yang Diperbolehkan
Dari ayat di atas, kita bisa melihat bahwa sebagai hamba Allah, manusia dilarang bersikap curang dalam menentukan suatu keputusan hukum. Meskipun berasal dari keluarga sendiri. Akan tetapi, perbuatan Nepotisme diperbolehkan dengan syarat seseorang tersebut memiliki sifat adil dan amanah. Maka dari itu, pengangkatan seseorang berdasarkan kemampuan diperbolehkan dalam Islam meskipun berasal dari keluarga sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pandemi yang mewabah di seluruh dunia saat ini dapat memicu peningkatan kasus Nepotisme, terutama di Indonesia.
Menurut mereka, Nepotisme di tengah pandemi adalah salah satu cara terbaik yang dapat digunakan untuk mengatur negara saat ini. Karena mereka menganggap akan lebih mudah untuk mengurus negara jika mereka berada dalam satu wilayah atau lingkungan yang sama. Yaitu dengan keluarga dan kerabat mereka sendiri.
Berdasarkan ayat-ayat dan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam menyetujui adanya perbuatan Nepotisme. Namun, dengan berbagai syarat yang harus diperhatikan. Di antaranya adalah tidak memiliki sifat zalim, memiliki bidang keahlian sesuai dengan jabatan yang ia pegang. Serta amanah, adil, dan paham dalam urusan agama serta hukum. Agar tidak terjadi kerusakan atau ketidakadilan terhadap rakyat.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.