Ketika Barat memasuki revolusi industri 2.0, saat pabrik-pabrik besar mengalami efisiensi dalam pembagian peran tenaga kerja, muncul seorang intelektual bernama Erich Fromm. Fromm memiliki latar belakang ilmu psikologi. Ia melalui berbagai tulisannya mengingatkan Barat bahwa revolusi industri mengakibatkan dehumanisasi. Ia memberikan panduan bagi Barat agar melakukan kegiatan industri yang lebih humanis dengan memperhatikan aspek-aspek spiritual, di mana spiritualitas telah dibunuh oleh rekan-rekan intelektualnya yang lain.
Ketika krisis peradaban mencapai puncak sekitar tahun 1968, modernisme Barat melaju ke arah post-modernisme. Pada era ini muncul tokoh intelektual yang tipikalnya mirip dengan Fromm, yaitu Alvin Toffler. Toffler juga memberikan panduan kepada masyarakat yang tengah menghadapi perubahan besar.
Toffler mengingatkan perubahan-perubahan yang tidak lagi linier, di mana mereka akan menemukan keluarga yang tidak selalu terdiri dari perempuan dan laki-laki. Namun, kemungkinan menemukan sepasang laki-laki yang membesarkan anak secara bersama. Toffler menyebutnya sebagai future shock. Kejutan masa depan yang memberikan informasi akan adanya percepatan perubahan sosial dan teknologi yang semakin sulit dihadapi.
Fromm dan Toffler adalah sarjana-sarjana pemandu arah peradaban Barat dalam transformasi dari revolusi industri 2.0 menuju revolusi industri 3.0. Harari, seorang intelektual Yahudi yang sering dibicarakan akhir-akhir ini memiliki tipikal yang kurang lebih sama dengan mereka bertiga. Bedanya, Harari memandu arah peradaban manusia menuju revolusi industri 4.0. Dalam konteks pandemi, ia memberikan komentar-komentar yang cukup menarik.
Dalam sejarah wabah di era pra modern yang digambarkan oleh Harari, masyarakat selalu bergantung sepenuhnya terhadap dewa-dewa, pendeta, dan Tuhan. Mereka menganggap bahwa pandemi diakibatkan oleh dosa-dosa yang mereka lakukan. Mereka sepenuhnya yakin bahwa Tuhan akan menyiksa siapapun yang berdosa dengan pandemi dan membiarkan orang-orang yang berbuat kebaikan. Orang-orang yang mencoba menyelesaikan permasalahan pandemi dengan ilmu pengetahuan dan kemampuan akal disebut sebagai pelaku bid’ah yang membuat Tuhan semakin murka.
Membunuh Kematian
Di sisi lain, manusia pramodern –dan bahkan sampai sekarang— menganggap bahwa kematian adalah keniscayaan. Tidak ada seorang individu pun yang hidup selamanya. Pertanyaannya adalah “kapan ia akan mati?”, bukan “apakah ia akan mati?”. Hal itu dilegitimasi oleh agama. Misalnya, dalam Al-Qur’an Allah mengatakan “kullu nafsin dzaiqotu al-maut”. Bahwa setiap individu yang memiliki nyawa pasti akan merasakan sebuah kematian.
Kematian justru dianggap sebagai titik balik di mana manusia akan mengerti rahasia ilahi. Apakah ada kehidupan sejati, apakah tugas manusia hidup di dunia, dan apa yang ada dibalik tabir dunia. Mereka percaya bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab setelah mereka tidak lagi bernafas. Setelah mereka dikubur di dalam perut bumi atau dibakar habis oleh api.
Sayangnya, manusia modern, khususnya Barat, meyakini bahwa kematian adalah persoalan teknis semata. Seseorang tidak mati karena Tuhan menakdirkan ia untuk mati. Seseorang akan mati karena jantungnya berhenti berdetak, ada virus yang berkembang di paru-parunya, tertabrak truk yang melaju kencang, tenggelam karena banjir, dan masalah-masalah teknis lainnya. Padahal, permasalah teknis selalu menghasilkan solusi teknis.
Dengan demikian, usaha untuk memperpanjang usia manusia, bahkan sampai usia yang tidak terbatas, bukan isapan jempol semata. Aubrey de Grey, seorang pakar proses dan gejala penuaan dan Ray Kurzweil, peraih US National Medal of Technology and Innovation tahun 1999 ditunjuk menjadi direktur rekayasa di Google. Pada tahun 2013, Google meluncurkan anak perusahaan bernama Calico yang misinya adalah “mengatasi kematian”. Dalam hal ini, Harari menulis:
“Pada 2009, Google menetapkan pemercaya sejati imortalitas lainnya, Bill Maris, untuk memimpin perusahaan pengelola investasi Google Venture. Dalam sebuah wawancara pada Januari 2015, Maris mengatakan, “Jika Anda Tanya saya hari ini apakah mungkin hidup sampai 500 tahun, jawabannya adalah ya.” Maris menopang kata-kata beraninya dengan banyak uang tunai. Google Ventures menginvestasikan 34 persen dari portofolionya yang bernilai $2 miliar pada sejumlah start-up yang menekuni “sains kehidupan”. Termasuk beberapa proyek ambisius pemanjangan usia. Dengan menggunakan sebuah analogi sepak bola Amerika, Maris menjelaskan bahwa dalam perang melawan kematian, “Kami tidak berusaha memenangi beberapa meter. Kami berusaha memenangi pertandingan.” Mengapa? “Karena,” kata Maris, “lebih baik hidup daripada mati.”
Immortalitas
Peter Thiel, pendiri Paypal, juga mengaku bahwa ia ingin hidup selamanya. Menurutnya, ada tiga pendekatan dalam kematian, yaitu menerima, mengingkari, atau melawan. Sebagian besar masyarakat akan mengingkari atau menerima kematian. Namun, ia memilih untuk melawan kematian. Menurut Harari, manusia akan dapat mengatasi kematian pada 2200. Sebagian yang lebih optimis meyakini proyek ini akan selesai pada 2100.
Menurut Grey dan Kurzweil, di masa depan, setiap 10 tahun kita akan pergi ke klinik dan menerima perawatan yang tidak hanya mengobati penyakit, tetapi juga meregenerasi lembaran sel, memperbaiki tangan, mata, serta otak. Sebelum tiba masa perawatan berikutnya, para dokter sudah menemukan bertumpuk-tumpuk obat dan kemajuan baru. Menurut Kurzweil, jika ada orang yang mencapai tahun 2045, ia akan hidup selamanya.
Hal ini menjadi mungkin mengingat banyak hal. Harari menyampaikan data bahwa usia harapan hidup manusia selalu meningkat setiap dekade. Data yang jauh lebih mencengangkan disampaikan oleh Steven Pinker dalam bukunya yang berjudul Enlightenment Now: Membela Nalar, Sains, Humanisme, dan Kemajuan.
Dewasa ini, masih ada sebagian masyarakat di Indonesia yang menganggap vaksin sebagai konspirasi Amerika untuk melemahkan umat Islam. Mereka juga tidak percaya dengan obat-obatan ilmiah yang diberikan oleh dokter dan lebih percaya terhadap pengobatan klasik seperti bekam, habbatussauda’, dan lain-lain. Kepercayaan terhadap thibb an-nabawi (pengobatan nabawi) sebenarnya bukan masalah. Hal yang menjadi masalah adalah ketika mereka menolak produk dunia kesehatan modern.
Harari menyebut bahwa pahlawan hari ini adalah mereka yang menggunakan baju putih yang berada di laboratorium untuk memecahkan masalah-masalah kesehatan manusia. Pinker melengkapi argumen ini dengan mengatakan bahwa ternyata pahlawan-pahlawan utama kemanusiaan ini tidak banyak diapresiasi oleh masyarakat dunia.
Realitas Peradaban Islam
Sayangnya, dunia Islam, sebagai kelompok yang tersubordinatkan dalam peradaban global, selalu menjadi objek dari industrialisasi dan modernisasi yang dilakukan oleh Barat. Sehingga, mau tidak mau, dunia Islam akan terdampak oleh setiap yang dilakukan oleh Barat, lebih-lebih selama dunia Islam belum mampu berdikari.
Sayangnya lagi, penafsiran terhadap ayat suci Alquran belum menyentuh aspek-aspek yang orang Barat sudah kerjakan. Belum banyak sarjana muslim yang mampu menjawab narasi-narasi yang disampaikan oleh futurolog Barat, yang itu akan berdampak pada dunia Islam.
Bagaimana Alquran menjawab orang-orang Barat yang ingin membunuh kematian? Pertanyaan tersebut hanya salah satu dari sekian banyak pertanyaan yang mendesak untuk dijawab oleh sarjana muslim, agar Alquran tetap hidup dan menjadi spirit di zaman yang mengerikan ini.
Leave a Reply