Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Membongkar Pesan Utama QS. An-Nisa: 3 Perspektif Semiotika Barthes

pesan utama
Sumber: https://www.khaleejtimes.com

Al-Qur’an seperti yang diketahui mengandung berbagi macam mukjizat yang dapat dilihat dari berbagai aspek. Baik itu dari sisi pemilihan katanya, rangkaian kalimat yang indah, hingga informasi dan berbagai ilmu yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an memiliki keunikan tersendiri apabila dibandingkan dengan teks-teks maupun kitab lainnya. Keunikan yang kemudian mengandung pesan utama ayat.

Keunikan al-Qur’an tersebut telah memikat hati para ilmuwan untuk mengkaji dan menyelami berbagai makna yang terkandung di dalam al-Qu’an. dengan berbagai metode dan pendekatan, al-Qur’an yang dikemas dengan bahasa Arab sebagai bahasa ibu utusan-Nya dapat dianggap sebagai kode maupun symbol yang digunakan Allah Swt dalam menyampaikan ajaran-ajarannya.

Maka berawal dari fakta tersebut, sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri merupakan simbol yang dipilih oleh Allah Swt. Oleh karenanya sebagai sebuah simbol, al-Qur’an sangat mungkin untuk diluaskan kandungan maknanya dengan menggunakan pendekatan semiotika. Dalam ilmu semiotika terdapat beberapa tokoh terkenal yang mendalaminya. Salah satunya adalah Roland Barthes. Teori Barthes untuk menguak pesan utama ayat Al-Qur’an.

Pengertian Semiotika

Secara etimologi, kata semiotik atau semiologi berasal dari akar kata semeion yang berarti tanda, atau seme yang berarti penafsir tanda. Sedangkan secara terminologis, semiotika adalah penyelidikan atas semua bentuk komunikasi yang disampaikan oleh tanda dan berdasarkan sistem tanda. Semiotika juga beranggapan bahwa realita yang terjadi dalam fenomena kebudayaan, masyarakat, sosial adalah sebuah tanda-tanda. Semiotika dalam analisanya ingin mengungkapkan makna tanda yang di dalamnya, termasuk yang tidak tampak ataupun tersembunyi di balik tanda.

Studi semiotika dimaksudkan untuk menelaah berbagai makna yang tersirat dalam sebuah tanda atau menafsirkannya, sehingga diketahui cara mengkonsturksi pesan. Melalui studi semiotik akan senantiasa lahir makna-makna baru selaras dengan perkembangan zaman, karena analisis semiotik dilakukan melalui pembacaan tingkat pertama (kebahasaan) dan pembacaan tingkat kedua (retroaktif). Pembacaan tingkat kedua akan melahirkan makna dan pesan dalam teks secara kekinian, sehingga pemahaman terhadap al-Qur’an diperoleh melalui makna structural, fungsional, semantis, budaya, dan konteks turunnya ayat serta konteks kekinian, bukan sebatas konteks linguistik dan latar belakang historis semata.

Baca Juga  Merawat Kepakaran Perspektif Al-Quran: Tafsir An-Nahl Ayat 43

Studi semiotika dimaksudkan untuk menelaah berbagai makna yang tersirat dalam sebuah tanda atau menafsirkannya, sehingga diketahui cara mengkonsturksi pesan. Semiotika adalah cabang keilmuan modern yang mengkaji sistem tanda. Ilmu ini memandang fenomena sosial dan budaya sebagai sekumpulan tanda-tanda. Al-Qur’an tidak terlepas dari sistem tanda ini, yang mau tidak mau terdapat sistem sosial dan budaya yang dikenal manusia.

Oleh karena itu, semiotika memiliki ranah kajian yang luas. Dalam hal ini semiotika al-Qur’an, yaitu cabang semiotika yang mengkaji tanda-tanda yang ada dalam al-Qur’an, dengan menggunakan konvensi-konvensi yang ada di dalamnya. Sebab al-Qur’an memiliki satuan-satuan dasar yang disebut ayat (tanda). Tanda yang dimaksud bukan hanya berupa kalimat, kata, dan huruf semata, tetapi termasuk totalitas struktur yang menghubungkan masing-masing unsur. Tanda-tanda dalam al-Qur’an memiliki hubungan dialektika antara signifiant (penanda) dan signifie (petanda).

Biografi Roland Barthes

Roland Barthes lahir pada tanggal 12 November 1915 di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Dia berasal dari keluarga kelas menengah yang beragama Protestan. Ayahnya adalah seorang perwira Angkatan laut yang meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara.

Karya-karya Barthes sangat beragam, yaitu dari teori semiotika, esai kritik sastra, tulisan historis, telaah psikobiografis, autobiografi, dan karya-karya yang bersifat pribadi seperti cinta dan fotografi.Pada  tahun 1964, Barthes menerbitkan sebuah buku yang berjudul Critical Essays dan Elements of Semiology. Buku Elements of Semiology memuat empat bab. Bab pertama berisi tentang perbedaan langue dan parole. Selanjutnya, memuat tanda, petanda, penanda, penandaan, dan nilai. Bab ketiga menjelaskan dua poros bahasa, yaitu syntagma dan sistem. Sementara keempat menjelaskan denotasi, konotasi, dan metabahasa.

Baca Juga  Bagaimana Menafsirkan Al-Qur'an dengan Pendekatan Semiotika?

Barthes menggunakan istilah langue dan parole dalam analisis semiotikanya meskipun agak berubah dari kajian Saussure. Pada analisis linguistik, tidak satu pun masuk ke wilayah langue jika belum digunakan dalam ranah parole. Demikian sebaliknya, parole akan mustahil memenuhi fungsi komunikasi bila tidak berasal dari langue.

Pesan Utama: Batasan Poligami

Dalam pembahasan ini, penulis akan mengaplikasikan teori semiotika yang digagas oleh Barthes. Adapun ayat yang dibahas adalah ayat tentang poligami yaitu an-Nisa’ ayat 3, sebagaimana berikut:

﴿وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً

أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ﴾

Selanjutnya secara umum, terdapat dua sistem dalam pengaplikasiannya terhadap ayat al-Qur’an, yaitu sebagaimana berikut:

Sistem Linguistik

Cara kerja sistem linguistik tahap pertama adalah melihat kata mathna, wa thulatha, wa ruba’ dari segi makna denotasinya yang kemudian akan ditemukan makna semiotika tingkat pertama. Menurut at-Tabari kata mathna, wa thulatha, wa ruba’ berarti dua, tiga, atau empat. Sedangkan menurut al-Maraghi, kata mathna, wa thulatha, wa ruba’ berarti dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat. Sebagaimana orang Arab mengatakan dalam pembicaraan mereka. Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa pesan utama mayoritas para ulama mengartikan mathna, wa thulatha, wa ruba’ menjadi penanda. Kemudian petandanya adalah bilangan, sedangkan tandanya adalah batasan diperbolehkannya poligami.

Sistem Mitologi

Cara kerja sistem mitologi tahap kedua adalah melihat kata mathna, wa thulatha, wa ruba’ dari segi makna konotasinya yang kemudian akan ditemukan makna semiotika tingkat kedua. Sebab mikro turunnya ayat tersebut adalah adanya sebuah pria yang ingin menikahi anak angkatnya tanpa membayar mahar sepeser pun, kemudian keinginan tersebut ditolak dan lebih baik menikahi orang lain yang dia cintai dua, tiga, atau empat. Sedangkan makro turunnya adalah karena pada saat itu sedang terjadi perang Uhud yang terjadi di pegunungan Uhud. Menurut sejarah, terdapat 70 orang muslim yang gugur dalam perang tersebut. Kematian para shuhada tersebut menyebabkan banyak janda dan juga anak-anak yatim. Sehingga muncullah sebuah persoalan mengenai pemeliharaan, perlindungan, dan keamanan serta praktik kehidupan para janda dan yatim tersebut.

Baca Juga  Pandangan Islam tentang Polemik Pernikahan Beda Agama

Selanjutnya, dalam bentuk penafsiran, menurut Wahbah az-Zuhaili dalam kitab tafsir al-Munir, kata fankihu pada surat an-Nisa’ ayat 3 adalah bentuk kata perintah yang menyatakan kebolehan. Bentuk perintah tersebut bisa diartikan wajib kalau belum sampai batas maksimal empat istri. Kata mathna, wa thulatha, wa ruba’ dalam ayat tersebut menunjukkan tahapan atau adanya pilihan untuk menikahi dua hingga empat orang istri. Menurut beliau jumlah empat adalah batas maksimal seorang laki-laki masih bisa berbuat adil. Jikalau seseorang menyadari bahwa dirinya tidak mampu berbuat adil terhadap istrinya, maka menikahlah dengan satu orang saja.