Citra perempuan pada media yang menampilkan wajah dan bentuk tubuh perempuan sebagai daya tarik, menggambarkan perempuan sebagai simbol seks. Sosok perempuan dalam media massa seperti itu tentu menunjukkan stereotipe yang merugikan. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa sadar telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal. Yakni dunia objek, dunia citra, dan dunia komoditas.
Bias gender sebagai persoalan. Iklan-iklan yang ada mendiskriminasi perempuan melalui citra, visual dan teks-teksnya. Pencitraan yang paling menonjol dan menjadi sumber perdebatan berbagai kalangan adalah citra peraduan. Di mana elemen seksualitas perempuan ditonjolkan ketika ia menjadi pembawa pesan.
Di dalam media, perempuan dan tubuhnya digunakan di dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan konstruksi sosial. Tubuh perempuan yang diumbar sedemikian rupa menjadi komoditas. Seksualitas perempuan dikomodifikasi. Tubuh perempuan merupakan nilai jual (selling point) bagi produk itu. Bila perempuan mampu berada dalam posisi subjek utuh, bukan sekedar objek, maka ia akan memiliki kemerdekaan.
Stereotipe Terhadap Perempuan
Stereotipe memproyeksikan pola pikir masyarakat pada perempuan. Kalangan feminis pasca-modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan dibesarkan oleh industri media. Pendekatan feminis-strukturalis Simone de Beauvoir telah mengilhami Ortner dalam menilai bahwa subordinasi perempuan adalah dampak dan fungsi khas mereka di masyarakat. Perempuan dianggap sebagai pengasuh dan orang yang membesarkan anak. Perempuan selalu di identifikasi pada ranah domestik.
Stereotipe yang melekat pada perempuan kemudian menimbulkan sejumlah persoalan baru di masyarakat. Misalnya, perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Stereotipe inilah yang melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan industri media kita merupakan propagandis terdepan dalam mengkampanyekan stereotipe tersebut.
Pada masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas. Misalnya: salesgirl, covergirl dan modelgirl. Menurut Guy Debord, masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas. Dalam masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas.
Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia populer. Lalu meraih popularitas, mengejar gaya hidup, dan mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan seperti itu, dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada media massa.
Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Mengharapkan setara dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu adalah cita-cita dan perjuangan.
Peranan Media dalam Menciptakan Citra Perempuan
Dalam media di Indonesia, stereotipe tentang perempuan melekat dalam berbagai tayangan. Mulai dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita. Gambaran tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron. Tayangan infotainment memprogandakan pasangan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan perempuan.
Hal lainnya adalah status cantik yang melekat dalam industri media televisi. Siapa saja yang tampil menjadi selebritas di televisi harus selalu cantik. Jika tak cantik, maka seorang perempuan akan mendapatkan ejekan tak seksi, kurang putih, mukanya kurang menjual, kalah pamor dari perempuan cantik lainnya.
Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di media, namun telah menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televisi. Ia juga terjadi di ruang redaksi di media cetak maupun radio. Bahkan, kecantikan dapat membuat perempuan membenci tubuhnya. Para perempuan membenci wajahnya yang kurang cantik, kakinya yang kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu gemuk.
Akhirnya, perempuan mengubah diri agar tubuhnya menjadi yang diinginkan industri. Karena prasyarat cantik inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan nilai seseorang. Yaitu dengan simbol-simbol, signifikasi, representasi dan semua bentuk citra. Kriteria inilah yang sering dilabelkan pada seseorang atau kelompok tertentu.
Dalam masyarakat tontonan, setiap sisi kehidupan menjadi komoditas, termasuk tubuh wanita. Tubuh sebagai suatu komoditas yang mempunyai peran yang sangat sentral. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia
Dalam konteks perempuan dan gender, media dapat digunakan sebagai bekal untuk masuk dalam arena perjuangan tanda, dimana perempuan harus mampu merebut makna. Hal ini perlu dilakukan agar yang berhubungan dengan perempuan tidak lagi ditempatkan dalam posisi marjinal terus menerus.
Dengan demikian, perjuangan gender adalah perjuangan mengubah relasi memandang dan dipandang. Artinya, perempuan harus lebih mengarah pada political subject daripada political object karena dengan demikian ia punya komitmen atas perubahan yang lebih baik bagi dunia dan peletakan sejarahnya sendiri.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.