Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Membantah Asumsi Negatif Syi’ah tentang Pemikiran Ar-Razi

ar-razi
Sumber: https://www.idntimes.com/

Berbicara tentang ranah filsafat, berarti membicarakan tentang refleksi terhadap persoalan-persoalan mengenai makna kehidupan. Filsafat bukanlah suatu hal yang abstrak, seperti debu yang hanya bisa mengawang-awang. Filsafat berangkat dari pergulatan hidup manusia di dunia, maka suatu refleksinya terkait erat dengan darah dan usaha manusia nyata. 

 Pada hakikatnya manusia tidak terlepas dari ranah filsafat, karna sebagai makhluk yang berakal kita dituntut untuk berfikir dengan kritis. Namun bersikap dengan kritis itu juga harus secara clear and distinctly, maksudnya semua hal harus dipandang dengan benar secara transparan dan jelas sehingga bisa terfilterisasi.   

Jikalau kita pernah membaca buku karangan al-Kindi yang berjudul al-Falsafah al-Ula, bagaimana dalam sejarahnya beliau berusaha untuk meyakinkan bangsa Arab yang sebagian terlalu tekstual dan menganggap bahwa agama hanya sekumpulan dogma. Sehingga rata-rata mereka menolak kegiatan filosofis.

Namun luar biasanya kepiawaian al-Kindi dengan metode dialetikanya, beliau mengajukan pertanyaan yang sangat mudah “Apakah filsafat itu dibutuhkan atau tidak?”. Kemudian sebagian ada yang menjawab bahwa filsafat dibutuhkan, kemudian al-Kindi menyuruh mereka mempelajari filsafat lebih dalam lagi, tanpa harus menanyakan alasan kenapa filsafat dibutuhkan.

Selanjutnya, ada sebagian penentang kegiatan filosofis, mereka dengan lantangnya mengatakan tidak perlu untuk mempelajari filsafat, kemudian al-Kindi menanyakan apa alasannya, kemudian mereka menjelaskan dengan versi yang berbeda-beda, dan disinilah al-Kindi mengatakan bahwa kamu sudah berfilsafat!

Kenapa? Karna memang sejatinya kita berargumen saja itu sudah termasuk kedalam kegiatan filosofis atau berfilsafat. Maka untuk apa kita diberi suatu akal secara cuma-cuma oleh Allah SWT, jikalau tidak kita gunakan dengan semestinya. Kita lihat saja bahwa di dalam al-Qur’an berapa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan hambanya untuk berfikir, mentadabburi dan lain sebagainya.

Baca Juga  Fragmentasi Tafsir Abid Al-Jabiri Berbasis Kronologi

Kalau kita pernah menyelami ilmu al-Qur’an tentan akal, dalam kata ‘Aql saja terulang didalam al-Qur’an sebanyak 49 kali, contohnya dalam bentuk kata ta’qilun atau ya’qilun. Kata kerja ta’qilun itu ditemukan sebanyak 24 kali dan kata kerja ya’qilun itu ditemukan didalam al-Qur’an sebanyak 22 kali. Sedangkan, kata kerja ’aqala, na’qilu, dan ya’qilu masing-masing terdapat  satu kali.

Berangkat dari fakta tersebut, kalau kita pernah membaca tentang pemikiran filsafatnya Ar-Razi, kita akan disuguhi dengan karya beliau yang berjudul al-Thibb al-Ruhani. Memang karya tersebut memberikan penghargaan tertinggi pada suatu akal, ini sangat menarik kalau kita bahas sekaligus mematahkan anggapan kaum yang terlalu terikat dengan kumpulan dogma.

Ar-Razi dan Pandangannya Terhadap Akal

Siapa yang tidak mengenal salah satu filsuf muslim yang termasyhur sesudah al-Kindi ini, beliau dikenal dengan Ar-Razi. Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar ar-Razi, beliau hidup sepanjang tahun 250-313 H/ 64-925 M. Ar-Razi tumbuh dan wafat di Rayy, suatu tempat diwilayah Persia. Namun demikian, beliau pernah hidup berpindah-pindah kota. Pada masa Islam mencapai zaman The Golden Age, ar-Razi merupakan dokter yang terkenal sekaligus filsuf terbesar yang lahir dari rahim sejarah zaman tersebut.

Dalam tarikhnya, beliau bahkan pernah menulis tidak kurang dari 20.000 lembar kertas dalam setahun. Bahkan dikabarkan karya tulisnya mencapai 232 tulisan yang kebanyakan memuat tema kedokteran. Namun ada suatu karya beliau tentang pemikiran filsafatnya  yang berjudul al-Thibb al-Ruhani. Dalam buku tersebut, akal merupakan karunia terbesar Tuhan bagi manusia. Bahkan berkat akal manusia bisa dikatakan lebih muliah daripada binatang, sehingga dapat mengetahui dan memahami sesuatu, memperbaiki kehidupan, mencapai cita-cita, dan bahkan mengetahui tuhan.

Baca Juga  Salik: Menempuh Jalan Ruhani dengan Ilmu

Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa akal wajib dihargai dan tidak boleh dilecehkan; ia harus dijadikan hakim bagi segala bentuk problematika dalam kehidupan. Namun karena memang sikap Ar-razi yang bagi sebagian orang terlalu menghargai akal, tidak heran muncul berbagai asumsi negatif bahwa ar-Razi mengingkari eksistensi wahyu. Ini merupakan asumsi negatif yang dicetuskan oleh salah satu tokoh Syi’ah yaitu Imamiyah, yang kebetulan beliau hidup sezaman dengan ar-Razi, namun Imamiyah memusuhi beliau.

Membantah Penyematan Tokoh Syi’ah

Dalam pandangan yang Imamiyah lontarkan, bahwa ar-Razi merupakan seorang yang menganggap bahwa para nabi membawa kehancuran, dan pemikiran beliau membuat kebencian dikalangan umat manusia terutama muslim. Namun itu hanya sebatas asumsi negatif beliau, karna memang jikalau benar informasi dari Imamiyah tersebut, maka tidak mungkin jika ar-Razi masih dapat disebut sebagai filsuf muslim sekaligus dokternya umat Islam.

Di samping itu, kalau kita melihat dan mencoba mempertimbangkan pemikiran ar-Razi tentang karyanya yang berjudul al-Thibb al-Ruhani, kita pasti memahami bahwa penghargaan terhadap akal juga dibarengi dengan penghargaan beliau terhadap agama beserta nabi. Dibuktikan dengan ungkapan beliau yang mengatakan bahwa mengendalikan hawa nafsu adalah wajib dalam pandangan rasio, orang berakal, dan semua agama. Sehingga wajib bagi manusia yang baik, utama dan sempurna dalam menunaikan apa yang diajarkan agama dengan benar; ia juga tidak sepatutnya menakuti kematian karna agama yang benar telah menjanjikan kemenangan, ketentraman dan kenikmatan yang tak berkesudahan. (Ar-Razi, al-Thibb al-Ruhani).

Kemudian banyak karya beliau yang memang sangat menghargai kedudukan agama dan para nabi, seperti contoh dikarya beliau yang berjudul Bar al-Sa’ah dan sirr al-Asrar. Semua itu menunjukkan bahwa ar-Razi benar-benar seorang filsuf Muslim.

Baca Juga  Al-Ghazali: Dari Berkarya Hingga Mengkritik (1)

Editor: An-Najmi Fikri R