(Telaah Tafsir Transformatif Kuntowijoyo Atas Qs. Ali Imron: 110)Kemajuan teknologi menyebabkan massifikasi mobilitas sosial, industrialisasi, dan akselerasi informasi Namun, di balik itu, berbagai krisis moral menimpa manusia modern. Sekularisme, hedonisme, materialisme dan birokratisasi telah menimbulkan perbagai penindasan struktural, objektivasi manusia, kesenjangan sosial dan aleniasi diri dalam masyarakat Indonesia dewasa ini.
Dalam peradaban industri, agama dianggap sebagai penghalang kemajuan. Sikap freudianistik yang menganggap agama hanya ilusi dan pola pikir marxistis yang mengasumsikan agama sebagai candu kini mengjangkiti dalam pikiran publik. Munculnya tindakan kriminal, intoleransi, teror dan kerusuhan di Indonedia tidak lepas dari persoalan kekumuhan spiritual dalam diri manusia modern Indonesia.
Teknologi telah mereduksi kemanusiaan. Kini manusia menjadi barang (objek) mekanik semata tanpa kesadaran. Kuntowijoyo (2018: 308) melihat bahwa agama dapat mengangkat kembali derajat kemanusiaan yang sudah hilang tanpa harus menafikan fungsi vital teknologi bagi kesejahteraan. Di tengah industrialisasi, etika agama akan membebaskan manusia dari sekat kelas (borjuis-proletar, kawula-priyayi, dan sebagainya) karena agama berpijak pada solidaritas nilai bukan pada solidaritas materil.
Merespon persoalan di atas, Kuntowijoyo melakukan sebuah terobosan intelektual dengan mengajukan paradigma Islam profetik sebagai alternatif. Ia menafsirkan QS. Ali Imron ayat 110 secara transformatif agar Islam selalu kontesktual dengan kebutuhan zaman. Di sisi lain, agar umat Islam dapat mengambil peran dalam menentunkan arah sejarah umat manusia. Selama ini, kaum muslim hanya diombang-ambing oleh arus pemikiran Barat dan tidak memiliki landasan epistemologinya sendiri.
Agar umat Islam tidak kehilangan akar pijakannya, umat harus melihat realitas dan meresponnya melalui tabir simbol, konsep, budaya, agama dan persetujuan masyarakat, sebab realitas tidak pernah dilihat secara langsung (Kuntowijoyo 2006: 02). Misalnya, peradaban Barat melihat kehidupan ini melalui kacamata materialisme—yang menjelma agama baru di masa keemasan teknologi. Untuk itu, kaum muslim tidak perlu khawatir untuk membaca realitas ini melalui kacamata wahyu (al-Qur’ah) selama diterjemahkan ke dalam kategori-kategori objektif (objektivikasi Islam).
Epistemologi dan Asas Islam Profetik
Berbeda dengan Islamisasi pengetahuan, paradigma Islam profetik bergerak dari teks (wahyu) ke konteks. Di sisi lain, ISP menekankan integralisasi wahyu dan akal sebagai sumber ilmu, pengilmuan Islam yang mengarah pada objektivikasi agar Islam lebih kontekstual dan bersifat egaliter dalam merespon persoalan umat. Paradigma ini berorientasi membumikan visi Islam sebagai rahmat untuk alam semesta (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107) yang menjadi kesadaran objektif untuk berlaku adil kepada seluruh manusia, lingkungan dan alam semesta (Kuntowijoyo, 2006: 55 & 61).
Dalam membangun epistemologi keislamannya, Kuntowijoyo melakukan penafsiran tranformatif terhadap QS. Ali Imron: 110.
Kuntum khaira ummatin ukhrijat linna si ta’muru na bil ma’ru fi wa tanhauna ‘anil munkari wa tu’minu>na billahi. (QS. Ali Imran [03]: 110)
(Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang kebajikan, dan mencegah dari kemungkaran, dan beriman kepada Allah)
Menurut Kuntowijoyo, ayat di atas menyiratkan empat hal. Pertama, konsep umat terbaik harus selalu diperjuangkan oleh umat Islam. Predikat tersebut tidak diberikan secara otomatissebagaimana gelar “Bangsa Pilihan” bagi umat Yahudi. Kedua, Aktivisme sejarah. Ukhrijat linnas yang berarti umat Islam harus terlibat dalam membangun peradaban dan sejarah manusia. Ketiga, pentingnya kesadaran nilai bahwa nilai-nilai ilahiah (amar ma’ruf, nahi munkar, dan iman) menjadi landasan aktivisme Islam. Peranan kesadaran dalam kehidupan (superstructure) yang membedakan dengan etika materialistik marxisme. Keempat, etika profetik. Artinya aktivitas keilmuan, politik, budaya dan sosial harus berpijak asas amar ma’ruf yang berarti humanisasi, nahi munkar yang berarti liberasi manusia dari segala bentuk penindasan dan iman billahi yang berarti transendensi (Kuntowijoyo, 2006: 54, 2017: 316).
Dari interpretasi tersebut, Kuntowijoyo mengajukan sebuah alternatif paradigmatik yakni pergeseran gerakan Islam dari etika idealistik ke etika profetik (2018: 143). Selama ini, para dai-dai Islam hanya gencar menyuarakan spirit amar ma’ruf semata tetapi enggan menyuara nahi munkar dan al-iman billahi. Etika profetik Kuntowijoyo ini merujuk pada aktivisme Nabi Muhammad Saw. bahwa gerakan Islam tidak melulu memperbaiki akhlak, tetapi juga harus berpihak kepada lapisan lemah dan kaum tertindas. Harapannya, umat Islam mencari inspirasi normatifnya dalam Islam dalam merespon isu-isu intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan.
Implementasi Gagasan Kuntowijoyo
Lalu, bagaimana aktualisasi cita-cita profetik dari QS. Ali Imron, ayat 110 di atas? Secara implementatif, etika profetik dapat diejawatahkan dalam aktivitas sosial, keilmuan, politik, dan kebudayaan umat Islam. Dalam ranah sosial dan kebudayaan, Islam menegaskan kepada umatnya untuk bersikap moderat/ummatan wasathan (QS. Al-Baqarah: 143). Artinya, umat Islam harus terbuka dan selektif dalam menanggapi realitas yang plural. Di tengah maraknya sekularisasi ini, umat Islam harus berdiri pada titik keseimbangan antara dunia dan akhirat, akal dan wahyu, kesalehan individual dan kesalehan sosial, dan sebagainya.
Secara progresif, umat perlu merumuskan teologi buruh. Dalam agenda politiknya, umat harus menghadirkan narasi agama yang berpihak kepada kemanusiaan. Pemerataan kesejahteraan dapat terjadi melalui pemihakan umat Islam kepada kelas-kelas yang terancam (Kuntowijoyo, 2017: 87). Dalam QS. An-Nisa’: 75, jelas bahwa politik Islam harus berpihak kepada kaum mustad’afiin (tertindas) sebagai aktualisasi perjuangan fii sabilillah. Mengapa demikian? Sebab Islam bukan sekedar agama akal (ilmu), melainkan juga agama amal. Untuk itu, al-Qur’an melarang tegas kepada pemeluknya untuk berbuat zalim, intoleran, diskriminatif dan keras.
Dalam kerja keilmuan, umat Islam harus pede untuk mengaktualisasikan Islam sebagai ilmu (kategori objektif). Pengilmuan Islam menghasilkan ilmu-ilmu integralistik (wahyu dan akal) sehingga ilmu-ilmu tersebut lepas dari nilainya yakni membangun kemanusiaan. Munculnya konsep ekonomi Islam, psikologi Islam, pendidikan Islam dan terapi Islam adalah bukti konkrit dari penerjemahan Islam ke dalam ilmu.
Hal ini tidak berarti pengilmuan Islam bersikap ekslusif terhadap khazanah barat yang sudah mapan. Ilmu-ilmu integralistik melihat khazanah barat secara kritis, tidak taken for grantend. Membumikan nilai-nilai objektif agama dalam konteks kemajuan teknologi hari ini akan menghilangkan praktik dominasi, penindasan struktural dan neo-feodalisme. Dengan demikian, civic religion (agama sipil) akan tumbuh sumbur dalam masyarakat.
Nilai-nilai universal agama akan membentuk keyakinan bersama bahwa nilai-nilai Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial adalah prinsip-prinsip yang harus senantiasa diaktualisasikan. Nilai-nilai tersebut merupakan perasan saripati ajaran Islam dan agama lainnya (objektivikasi agama).
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply