Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Membaca Perang Iran dan Israel dari Perspektif Tafsir

Perang Iran Melawan Israel
Sumber: janoubia.com

Akhir-akhir ini, dunia menjadi heboh dengan peperangan yang dahsyat antara Israel dan Iran. Roket yang mereka luncurkan menyebabkan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Menurut laporan tempo.co (17/06/2025), korban serangan roket ke Israel berjumlah 38 orang, 18 tewas dan 200 terluka. Adapun korban dari pihak Iran berjumlah 224 orang tewas dan 1.1481 orang terluka.

Iran dan Israel merupakan dua negara yang memiliki kekuatan militer yang cukup kuat. Keduanya juga memiliki nuklir yang tentu saja berpotensi membahayakan lingkungan dan keamanan digunakan sebagai senjata. Menurut laporan Global Fair Power 2025, Israel menempati urutan ke-15 sebagai negara dengan kekuatan militer tertinggi, sedangkan Iran menempati urutan ke-16. Hal ini bisa kita lihat dari laporan aljazeeramubasher.net (18/06/2025). Berdasarkan laporan tersebut, Iran menyerang Israel dengan 400 roket, sedangkan Iran sekitar 1800 roket balistik.

Akar Ketegangan Iran dan Israel

Ketegangan antara Iran dan Israel berakar dari serangan Israel yang menyasar fasilitas pengembangan nuklir dan beberapa situs lainnya di Iran. Serangan ini menewaskan beberapa komandan IRGC (Iranian Revolutionary Guard Corps) dan ilmuwan Iran. Hal tersebut diperparah dengan pembalasan terhadap Israel akibat kegagalan gencatan senjata antara Hamas dan Israel sebagai bentuk standing position. Padahal, Iran sendiri merupakan sekutu dekat Hamas dan kelompok al-Muqawwama. Gencatan tersebut gagal karena usaha dari pihak Israel.

Selain sebab di atas, ketegangan antara kedua negara tersebut juga tak lepas dari dukungan Iran kepada berbagai kelompok perlawanan lainnya di Palestina. Contohnya ialah Palestine Islamic Jihad Group, Popular Resistance Front, Abu Ali Moustapha Brigade, dan sebagainya.

Sumbu perlawanan Iran tak berhenti di situ. Tewasnya komandan militer Iran akibat Mossad dan kematian pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh di Tehran, turut memicu sumbu perlawanan negara ini. Bahkan, kematian pemimpin Hezbollah di Lebanon, Hassan Nasrallah, yang merupakan sekutu dekat Iran, makin memastikan alasan terjadinya perang antara kedua negara tersebut.

Baca Juga  Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Bagi Kaum Lemah

Iran adalah negara yang sejak tahun 1979 menerapkan sistem teokrasi. Sistem ini populer dengan sebutan velayat-e faqih. Sistem tersebut menjadikan seorang imam sebagai pemimpin absolut negara. Hal tersebut membuat kekuasaan mutlak harus diberikan kepada seorang marja’ (tingkatan tertinggi ulama Syiah). Konsep ini menjadi populer di tangan Khomeini pasca keberhasilan Revolusi Islam Iran. Pada revolusi tersebut, ia berhasil menjatuhkan Shah Reza Pahlevi dari tampuk kekuasaan. Hal ini berimplikasi pada terwujudnya perubahan sistem pemerintahan dari Kerajaan ke republik berasaskan Islam.

Khomeini: Pemimpin Iran dan Ancaman Baru bagi Barat

Naiknya Khomeini sebagai pemimpin tertinggi menjadi ancaman baru bagi Barat, salah satunya  Amerika. Hal ini ditandai dengan penyergapan Kedutaan Besar Amerika di Iran oleh Demonstran dan Pasukan Garda Revolusi. Hal ini tentu berpengaruh bagi Israel, yang menurut Khomeini, harus dihapus dari peta dunia. Khomeini juga menganggap Amerika dan Britania Raya sebagai penyebab segala kerusakan dan penjajahan. Bahkan, ia tidak segan menyebut Amerika sebagai syaitan al-akbar.

Sikap Khomeini inilah yang akhirnya juga dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Ali Khamenei. Hal ini membuat banyak kelompok perlawanan di Palestina berafiliasi dengan Iran sebagai sekutu sekaligus supplier utama persenjataan. Begitu juga dengan kelompok-kelompok Syiah di Lebanon, Iraq dan Yaman.

Dari sinilah muncul sebuah istilah baru untuk mendefinisikan proxy Iran dengan sebutan ‘The Axis of Evil’ sebagai sebuah ancaman besar bagi Barat dan Israel. Bahkan, beberapa negara Arab, seperti Saudi, UEA, dan Bahrain juga terancam akibat ketakutan atas meluasnya pengaruh revolusi Khomeini.

Menghayati Makna Keadilan dalam Al-Qur’an

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan. Bahkan, Al-Qur’an menyebut kata ‘adlun sebanyak 28 kali. Adapun muradif (red: sinonim) dari kata ‘adlun, yaitu qisth, Al-Qur’an menyebutnya sebanyak 25 kali. Hal tersebut tentu menunjukan perhatian Allah terhadap keadilan karena begitu banyak ayat-ayat yang berbicara seputar keadilan. Salah satu ayat yang berbicara tentang keadilan adalah surah al-Maidah: 8.

Baca Juga  Membaca Al-Qur'an Layaknya Taman Bunga

Adapun kata qisth di dalam ayat ini, menurut al-Mawardi, bermakna berbuat adil di kala menjadi saksi untuk menegakkan hukum. Ibn al-Arabi di dalam Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat tersebut bermakna:

Barang siapa yang menegakkan keadilan karena Allah, maka segala amal dan kesaksiannya menjadi adil. Dan barang siapa yang menegakkan keadilan dengan adil, maka kesaksian dan perbuatannya untuk Allah.

Penjelasan tersebut juga tersokong dengan pendapat Ibnul Qayyim dalam i’lam al-muwaqi’in. Beliau berpendapat bahwa wahyu Allah yang turun melalui para Rasul-Nya dan kitab-Nya bertujuan agar manusia berbuat adil ketika menegakkan hukum di muka bumi. Sayyid Quthb juga berpendapat bahwa Islam sebagai agama keadilan bermakna menegakkan kesamarataan manusia di segala lini kehidupan.

Amien Rais berpendapat Agama Islam adalah agama keadilan, hal ini bermakna bahwasanya setiap muslim harus menjadikan setiap kezaliman sebagai musuh besar karena, Islam mengajarkan keadilan kebenaran serta menolak setiap bentuk kezaliman. Tentu saja hal ini selaras dengan firman Allah di antaranya didalam surah al-an’am ayat 144 Allah mengancam orang-orang yang berbuat kezaliman dengan tidak diberikan hidayah.

Antara Al-Qur’an dan Iran: Keberpihakan kepada Keadilan

Lalu, mengapa penulis menghubungkan fenomena ini dengan tafsir tentang keadilan dan keberpihakan Al-Quran kepada keadilan? Tentu saja karena peperangan yang kita saksikan saat ini adalah peperangan melawan kezaliman. Palestina, yang sejak 1948 tidak dapat menikmati kemerdekaan hingga saat ini, tentu layak disebut sebagai bangsa yang terzalimi. Apa yang Iran lakukan tidak lain sebagai bentuk pengamalan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu berdiri tegak melawan kaum yang gemar berbuat lalim.

Namun, bagaimanapun juga peperangan merupakan jalan terakhir untuk mewujudkan sebuah perdamaian. Watak manusia yang sudah tergambarkan dalam Al-Qur’an, yaitu suka berbuat kerusakan, sangat tergambarkan pada kelakuan kaum Zionis yang suka mengobarkan peperangan.

Baca Juga  Mengenal Makna Al-Qur'an sebagai Kalamullah

Penulis teringat dengan pernyataan Buya Syafi’i yang menyatakan bahwa perdamaian di bumi Palestina dapat terwujud hanya dengan memindahkan Israel ke langit. Di dalam pernyataannya yang lain, Buya berpendapat bahwa bahasa yang Israel gunakan bukanlah bahasa perdamaian. Maka, jalan yang Iran tempuh bukanlah sebagai sesuatu yang salah terlebih yang dihadapi Iran adalah kaum yang tabiatnya memang suka berbuat kerusakan dan tidak mengenal Bahasa perdamaian.

Editor: Dzaki Kusumaning SM