Menurut Syekh asy-Sya’rawy dalam kitabnya “Tilka Hiya al-Arzaq” (hal. 41), sebagian besar manusia menyempitkan arti ‘rezeki’ hanya pada sesuatu yang selalu menyibukkan benaknya, yaitu harta benda. Dalam hal ini, beliau tidak menyetujui pendapat tersebut.
Menurut beliau, rezeki adalah segala sesuatu yang bermanfaat. Oleh karenanya, ilmu adalah rezeki dan kemuliaan juga adalah rezeki. Kemudian, masih dalam kitab yanga sama, beliau mengajak pembaca untuk merenungi Firman Allah Swt. surah An-Nahl [16]: 71, yang berbunyi:
وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ فَمَا الَّذِيْنَ فُضِّلُوْا بِرَاۤدِّيْ رِزْقِهِمْ عَلٰى مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيْهِ سَوَاۤءٌۗ اَفَبِنِعْمَةِ اللّٰهِ يَجْحَدُوْنَ
Artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl [16]: 71)
(Tilka Hiya al-Arzaq, hal. 41)
Mengapa Rezeki Setiap Orang Berbeda-beda?
Menurut Syekh Asy-Sya’rawy, masih dalam kitab yang sama (hal. 42), perbedaan rezeki termasuk dalam perkara yang dikehendaki oleh Allah Swt. Dengan demikian, -masih menurut beliau- rezeki, dengan segala bentuknya, tersebar di antara hamba-hamba Allah Swt. Hal inilah yang menjadikan jika seseorang memiliki kelebihan pada salah satu rezeki, dia harus mengembalikan sebagiannya kepada orang lain (dalam bentuk zakat dan lain-lain).
Oleh karena itu, maka benarlah pendapat yang menyatakan bahwa rezeki adalah segala sesuatu yang bermanfaat. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 212, yang berbunyi,
وَاللّٰهُ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: “Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Al-Baqarah [2]: 212)
Menurut Syekh Asy-Sya’rawy, makna dari بِغَيْرِ حِسَابٍ dalam ayat di atas adalah tanpa hitungan atau tanpa batas. ‘Hisab’ atau ‘hitungan’ -lanjut beliau- berkonsekuensi pada penghitung dan yang dihitung. Sedangkan, dalam hal ini, Allah Swt. adalah Dzat yang Maha Pemberi.
Menurut beliau, terkadang Allah Swt. memberi rezeki kepada manusia tidak berdasarkan kadar usahanya, namun memberi rezeki lebih dari apa yang mereka bayangkan. (Tilka Hiya al-Arzaq, hal. 42)
Mengapa Orang yang Tidak Beriman Tetap Diberi Rezeki?
Ketika Allah Swt. memberikan rezeki kepada manusia, tidak ada kekuasaan yang lebih kuat yang akan menanyakan tindakan-Nya, “Ya Allah, kenapa Engkau memberi rezeki?” Hal ini karena, Allah Swt. memberi dengan kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, terkadang Allah Swt. memberi rezeki kepada seorang yang tidak beriman sehingga membuat seorang yang beriman tersebut terkagum-kagum.
Kemudian Syekh Asy-Sya’rawy, masih dalam kitab yang sama (hal. 42-43) memberikan sebuah pertanyaan mengenai mengapa seorang mukmin tidak menganggap bahwa berbagai kebaikan yang berlipat ganda dan ketenteraman jiwa adalah pemberian Allah Swt. kepadanya? Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut beliau, hendaknya seorang mukmin memahami firman Allah yang telah disebutkan di atas,
وَاللّٰهُ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: “Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Al-Baqarah [2]: 212)
Manusia harus memahami bahwa perhitungan itu ada di tangan Allah Swt. kenapa? Jawabannya menurut beliau dapat kita temukan dalam firman-Nya, surah an-Nahl [16]: 96-97, yang berbunyi,
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ ۗ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿ ٩٦﴾ مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿ ٩٧﴾
Artinya: “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (96) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik lakilaki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (97) (An-Nahl [16]: 96-97)
(Tilka Hiya al-Arzaq, hal. 42)
Betapapun kayanya seseorang, harta yang dimilikinya tetap terbatas dan dapat dihitung. Sedangkan apa saja yang dimiliki Allah Swt. tidak terbatas dan tidak terkira banyaknya.
Ketika seseorang sudah memahaminya, dia harus berpegang pada sebuah etika, yaitu bahwa mereka yang menyembah Allah Swt. dengan baik akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari yang mereka usahakan. Perkara ini tidak terbatas pada urusan akhirat saja, akan tetapi juga pada urusan dunia.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.