Jika kita berdiskusi dengan penganut syiah maupun membaca referensi tentang syiah baik yang ditulis oleh orang syiah maupun di luar syiah, tentunya akan selalu merujuk pada satu peristiwa yang disebut sebagai peristiwa karbala. Peristiwa tersebut yaitu tragedi pembunuhan cucu Nabi Muhammad SAW bernama Husen bin yang juga anak dari imam ali berserta 72 pengikutnya dan keluarganya oleh pasukan muawiyah pimpinan Yazid.
Memahami Syiah
Meskipun peristiwa ini senantiasi diperdebatkan namun satu realitas objektif yang tidak bisa kita tolak, peristiwa ini benar-benar terjadi dan karena peristiwa inilah tensi antara syiah dan sunni selalu saja muncul , baik dalam konteks politik maupun agama. Sampai dengan hari ini, tempat terjadi peristiwa itu yang kini terletak di negara irak selalu didatangi oleh penganut syiah dari seluruh, mereka menamakan perayaannya sebagai ashura dengan ritual yang sangat ekstrim seperti menyakiti diri, tapi sebenarnya tidak semua penganut syiah melakukan tindakan yang sama.
Peristiwa karbala ini, kemudian oleh Syed Akbar hyder dalam bukunya berjudul “ Sayyedeh Zaynah :The conqueror of Damascus and Beyond telah membuat kelompok syiah menjadi terhina sekaligus tersudut. Apalagi para tawanan dari peristiwa itu adalah wanita dan anak-anak, ke semua tawanan itu kemudian termasuk imam as-sajjad dibawa ke Damsyik ( Damaskus, Suriah) untuk dipersembahkan kepada yazid ibn muawiyah. Mereka dibawa bersama-sama dengan kepala Hussein sebagai tofi persembahan buat Yazid.
Setelah peristiwa bersejarah itu, kelompok syiah apapun alirannya dan di manapun mereka berada mulai melekatkan identitasnya dengan peristiwa itu, bagi mereka, peristiwa itu menandakan bahwa mereka berada pada jalan yang benar. Di samping mereka meyakini peristiwa ini sebagai takdir yang lebih awal ditetapkan dan dijanjikan oleh Allah SWT kepada mereka. Malah ada anggapan dikalangan orang syiah, menurut Lesley Hezleton dalam bukunya After the prophet : the epic story of the shia and sunni split in islam sebagai penerusan tradisi penderitaan yang dialami oleh keluarga Nabi Muhammad S.A.W.
Sampai dengan hari ini, peristiwa karbala menjadi semangat zaman bagi para penganut syiah. Bahkan dalam syair yang dituliskah oleh Sana’I disebutkan jika dunia ini penuh dengan martir, namun di mana kemartiran yang seperti husein di karbala ,bahkan oleh Sayyid Muhammad Husain Fadhullah yang dikutip oleh deeb (2005) peristiwa karbala itu sebagai:
“ Kemampuan untuk berdiri melawan penindasan, pendirian seperti itu harus memenuhi hati dan pikiran kita setiap kali kita menghadapi penindasan dan kekuatan arogan, baik di negara-negara muslim atau di seluruh dunia. Oleh karena itu jangan terjebak pada tragedi air mata ataupun hanya memukul diri kita sendiri dengan pedang atau rantai, karena peristiwa karbala bukan romantisasi masa lalu tapi adalah api juang yang harus selalu di turunkan .. karena pedang harus diangkat melawan musuh seperti yang diajarkan oleh imam (as) ”.
Teori Mnemonik
Berdasarkan skema ini, kemudian peristiwa karbala menjadi orientasi perjuangan kelompok syiah. Fischer dalam bukunya tentang iran : from religious dispute to revolution, membentuk apa yang kemudian olehnya disebut sebagai paradigma karbala, karena di kehidupan sehari-hari mereka memasukkan peristiwa ini di segenap aspek kehidupan dan pemikiran mereka.
Maka, kemudian kelompok syiah dikenal sebagai kelompok mnemonik karena senatiasa membangun identitas secara keseluruhan dengan berorientasi pada suatu event bersejerah. Karena itu perjuangan mereka selalu berkesinambungan pada setiap masa. Dalam konteks Iran contohnya bagaimana kita bisa melihat perjuangan penegakan kepemimpian politik dan agama oleh kelompok syiah senantiasa diteruskan dari mulai era Abbasiyah, Buyid, Fatimid, Safavid, Qajar, Pahlevi, hingga terbentuklah apa yang dinamakan republik islam iran pada tahun 1979.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply