Terminologi profetik berasal kata dari “prophet” yang berarti nabi, “prophetic” yang berarti kenabian. Peristilahan profetik ini dipopulerkan oleh dan dari pemikiran Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP); Etika Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial, bahwa ada tiga unsur paradigma profetik dalam konteks Q.S. Ali-Imran ayat 110, meliputi amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan iman billah (transendensi). Ketiga unsur ISP inilah yang dijadikan pijakan sekaligus dikembangkan oleh Mohammad Roqib dalam pemikirian pendidikan profetiknya.
Menurut Kamus
Di sisi lain, profetik berasal dari kata prophet yang berarti Nabi, dan prophetic berarti berkenaan dengan Nabi. Menurut The Grolier International Dictionary, profetik bermakna a person who speaks by divine inspiration or as the interpreter through whom a divinity expresses his will (seseorang yang berbicara dengan ilham Ilahi [firman-Nya] atau sebagai penafsir untuk menjelaskan firman-Nya).
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profetik ini berkenaan dengan kenabian atau ramalan. Sehingga, profetik atau kenabian di sini merujuk pada dua misi. Pertama, seseorang yang menerima wahyu, diberi agama baru, dan diperintahkan; untuk mendakwahkan pada umatnya disebut rasul (messenger). Kedua, seseorang yang menerima wahyu dan tidak diperintahkan untuk mendakwahkannya disebut Nabi (prophet).
Menurut Tokoh
Menurut Ibn Manzur, kata Nabi dinisbatkan pada akar kata al-nubuwah, al-nabawat, dan al-nabi, artinya tanah yang tinggi, jalan. Jamaknya al-anbiya’, artinya jalan yang dijadikan petunjuk dan seseorang dimuliakan karena kemampuannya. Sedangkan Hamdani Adz-Dzakiey menyatakan kenabian itu mengandung makna segala ihwal yang berhubungan dengan seseorang yang telah memperoleh potensi kenabian
Potensi kenabian dapat menginternal dalam diri individu setelah ia mengalami edukasi secara bertahap dan berkelanjutan. Melalui jasmani dan rohaninya secara bersamaan maupun bergantian dengan landasan fiosofi berupa nilai-nilai kenabian yang tertera dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad. Aspek implementasinya pada pola pemikiran reflektif-spekulatif sampai dengan tataran empirik.
Potensi Kenabian
Secara historis, setiap Nabi memiliki potensi untuk mendapatkan wahyu dari Allah. Potensi itu meliputi kesempurnaan fisik (al-misaliyah) melebihi dari yang lain, memiliki nasab atau keturunan yang mulia (syaraf al-nasab). Sehingga tidak ditemukan cacat turunan baik fisik maupun psikisnya, dan ideal dalam kompetensinya sesuai dengan kondisi masa itu. Dengan potensi tersebut, Nabi mampu menyampaikan risalah dan membangun umat dan bangsa sejahtera lahir-batin.
Sedangkan menurut Hamdan Bakran, manusia pada umumnya telah dibekali dengan 4 potensi; pertama, potensi psikoafeksi yang berkaitan dengan rohani, khususnya dengan qalbu, jika dikembangkan menjadi emotional spiritual intelligence. Kedua, potensi psikokognisi yang berkaitan dengan daya akal kerja manusia, jika dikembangkan menjadi intelectual intelligence. Ketiga, potensi psikomotorik yang berhubungan antara jiwa dan fisik yang berkaitan dengan daya perilaku atau budi pekerti atau akhlak, tindakan dan penampilan diri. Jika dikembangkan menjadi adversity intelligence. Keempat, potensi psikosensorik; daya sensor yang lebih populer disebut panca indra, jika diembangkan menjadi perseption intelligence.
Dengan keempat potensi tersebut, jika dikembangkan secara matang dan terarah maka akan terbentuk kepribadian mulia selaku pewaris Nabi (ulama). Karena hanya ulama yang bisa mengembangkan potensi yang dimiliki para Nabi, tanpa memiliki potensi itu, mustahil bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, terutama dalam pendidikan. Akan tetapi, seorang ulama bukanlah seorang Nabi, namun kemampuannya dimuliakan karena pribadinya yang beriman dan berilmu. Sehingga, Nabi memujinya dengan sebutan warasatul anbiya; dikarenakan ia mendakwahkan, mengajarkan ilmu pengetahuan untuk amar makruf, nahi munkar dan iman kepada Allah. Sebagaimana diilustrikan bahwa diantara figur yang paling takut dalam arti tunduk dan taat kepada Allah adalah ulama.
Tugas Kenabian
Agar tugas kenabian tercapai dengan baik, setiap Nabi diberikan sifat mulia berupa; 1) jujur (as-sidq), baik jujur dalam niat, kehendak, perkataan, dan jujur perbuatannya. 2) amanah (al-amanah) dalam segala hal, baik perkataan mapun perbuatannya, dalam hukum dan keputusan. 3) komunikatif (al-tablig), dalam arti selalu menyampaikan ajaran dan kebenaran, ia tidak pernah menyembunyikan apa yang harus disampaikan meskipun terasa pahit. 4) cerdas (al-fatanah), kecerdasan Nabi itu bukan hanya dari aspek intelektual saja, tetap cerdas emosi, spiritual, kinestetik, dan magnetik.
Praktik sifat kenabian pada setiap orang adalah sidq dengan selalu berlaku apa adanya sesuai dengan pengetahuan yang telah diyakini. Amanah dalam mengemban segala tanggungjawab, tabligh dengan pandai dan tepat dalam menyampaikan informasi; fatanah dengan mampu memahami segala bentuk problematika beserta penyelesainnya.
Kemudian, setiap Nabi memiliki misi utama yang harus dipahami dan dijalankan oleh ulama selaku pewaris para Nabi. Misi tersebut berupa menyampaikan sekaligus menjelaskan ajaran-ajaran-Nya, menjadi hakim dalam setiap permasalahan yang dirasakan oleh umatnya. Serta menjadikan diri sebagai contoh pengamatan atau panutan bagi umat sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan sunnah.
Kesimpulan
Dari kesekian misi tersebut, jika diimplementasikan dalam konteks pendidikan Nabi, ia diharuskan mempunyai pemahaman serta cara yang efektif-efisien dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an dan sunnah. Sebagai materi pendidikan kepada umat (peserta didik), menjadi fasilitator untuk membenarkan jika terjadi kesalahpahaman dalam menjalankan nilai-nilai Al-Qur’an dan sunnah. Serta memberikan teladan dalam mengamalkan nilai Al-Qur’an dan sunnah terlebih dahulu sebelum disampaikannya kepada umat (peserta didik).
Penyunting: Ahmed Zaranggi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.